Penulis: Amrullah Andi Faisal (Kolumnis Publik di Sinjai)
Pendahuluan
Ketika kerakusan industri bertemu kelalaian negara, rakyat kembali jadi korban. Kontaminasi Caesium-137 di Cikande bukan kecelakaan. Ini buah dari sistem yang abai pada nilai halal dan haram. Kasus kontaminasi radioaktif Caesium-137 di kawasan industri Cikande, Serang, membuka borok tata kelola industri di bawah sistem sekuler. Pemerintah kembali gagal mencegah bencana ekologis. Solusi Islam menawarkan paradigma pengawasan berbasis halal-thayyib untuk melindungi manusia dan lingkungan secara menyeluruh.
Pembahasan
Ledakan berita tentang temuan radioaktif Caesium-137 di kawasan industri Modern Cikande, Serang, mengguncang negeri ini. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) memastikan, dari hasil pemeriksaan 3–8 Oktober 2025, 22 pabrik logam positif terkontaminasi bahan radioaktif. Zat berbahaya ini, yang biasanya dipakai dalam peralatan industri dan medis, memiliki masa paruh 30 tahun. Artinya, bila tak ditangani tuntas, racunnya akan tetap hidup bahkan setelah satu generasi berlalu, mewariskan ancaman kanker dan mutasi genetik kepada anak-cucu kita.
Kasus ini mengingatkan pada insiden serupa di Tangerang lima tahun silam, yang juga melibatkan Caesium-137. Artinya, negeri ini tak belajar. Regulasi hanya hidup di kertas, mati di pelabuhan. Logam masuk dengan mudah, izin inspeksi tersendat oleh birokrasi dan kepentingan dagang. Inilah pengulangan tragedi yang seharusnya bisa dicegah.
Di lapangan, sejumlah pekerja mengeluhkan gejala mual, pusing, dan iritasi kulit. Namun sebagian pabrik tetap beroperasi. Bagi mereka, waktu adalah uang, bukan keselamatan. Padahal menurut World Nuclear Association (2025), paparan radioaktif satu sievert saja, sudah bisa memicu kerusakan jaringan tubuh secara akut. Kalau paparan ini berulang, risikonya meningkat menjadi kanker dan mutasi genetik. Inilah potret buruh di negeri kapitalistik. Tubuhnya yang letih menjadi perisai hidup, bagi keuntungan segelintir elite industri.
Negara tampil seperti pemadam kebakaran. Datang setelah api membesar, setelah berita tersebar ke media internasional seperti Reuters dan AP News. Sebelum itu, senyap. Padahal, ribuan pekerja di Cikande bekerja di tengah udara dan debu yang berpotensi membawa partikel radioaktif. Sungguh, kita sedang menyaksikan tragedi pengawasan yang hanya bergerak jika ada sorotan kamera. Birokrasi seolah tersandera oleh kepentingan para pemilik modal.
Sistem ekonomi liberal telah lama mengorbankan keselamatan rakyat di altar investasi. Segalanya diukur dengan logika manfaat. Jika untung lebih besar dari risiko, maka risiko dianggap layak ditanggung. Inilah akar masalahnya. Paradigma sekuler yang menyingkirkan moral dan syariah dari ruang publik. Pemerintah menilai bahaya bukan dari segi halal-haram, tapi dari sisi kerugian ekonomi. Padahal di sisi Allah, nyawa satu manusia lebih berharga dari seluruh dunia dan isinya. Sudah saatnya kita melihat bahaya ini sebagai dosa sosial dan kejahatan syar’i, bukan hanya kerugian statistik.
Maka solusi tak cukup berhenti pada revisi aturan atau penambahan alat deteksi. Itu penting, tapi hanya tambalan. Akar persoalan ada pada ideologi pengelolaan negeri. Islam memandang keselamatan manusia sebagai amanah, bukan statistik. Dalam sistem Islam, pengawasan industri bukan soal izin usaha, melainkan kewajiban syar’i untuk menjaga jiwa dan lingkungan. Semua kegiatan produksi wajib memenuhi prinsip halal-thayyib, yaitu tidak membahayakan manusia maupun alam.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, menempatkan keselamatan rakyat di atas kepentingan modal. Negara akan menunjuk ahli nuklir yang amanah dan berilmu untuk mengawasi bahan radioaktif. Setiap pelanggaran yang menimbulkan kerusakan publik akan dihukum tegas atas dasar bahaya yang dilarang syariat. Allah telah memperingatkan: “Dan janganlah kamu menimbulkan kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS Al A’raf: 56).
Selama sistem sekuler-kapitalis masih berkuasa, kasus seperti Cikande hanyalah satu dari banyak luka yang akan terus berdarah. Rakyat akan tetap jadi korban, sementara penguasa sibuk menghitung laba dan kerugian. Pengawasan yang lemah adalah pintu bagi kehancuran. Keselamatan publik bukan barang dagangan. Saatnya negeri ini berhenti menambal sistem rusak. Saatnya kembali kepada hukum Allah yang memuliakan manusia dan menjaga bumi dari kehancuran.
Penutup
Cikande bukan sekadar tragedi industri, melainkan cermin dari kerusakan paradigma. Negeri ini tak akan pernah benar-benar aman selama keselamatan manusia diukur dengan angka, bukan dengan iman. Hanya Islam yang mampu menutup siklus kelalaian ini. Bukan dengan reaksi politik, tetapi dengan ketaatan utuh pada syariat.







