Oleh: Prof. Syaparuddin
Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah
————————————
QURBAN bukan hanya ritual ibadah yang berorientasi spiritual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang sangat kuat. Dalam Islam, penyembelihan hewan qurban pada Hari Raya Iduladha merupakan simbol pengorbanan dan ketundukan kepada Allah. Namun, jika dilihat lebih dalam, praktik ini membawa implikasi yang luas terhadap tatanan sosial-ekonomi masyarakat. Qurban menjadi sarana untuk menyalurkan kekayaan secara merata kepada masyarakat, terutama kepada mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah mengonsumsi daging dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, qurban menjadi titik temu antara ibadah individual dengan manfaat sosial yang kolektif.
Qurban merupakan salah satu ibadah yang secara langsung berimplikasi pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Setiap tahun, terutama menjelang Hari Raya Iduladha, terjadi lonjakan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan di berbagai sektor. Para peternak lokal mulai mempersiapkan ternaknya jauh-jauh hari untuk memenuhi permintaan pasar qurban, sementara para pedagang dan perantara ternak melihat momen ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan pendapatan. Di sinilah tampak jelas bahwa qurban bukan hanya ibadah ritual, melainkan juga penggerak ekonomi yang bersifat partisipatif dan inklusif, melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang ekonomi.
Para peternak lokal, terutama yang berada di daerah terpencil atau pedesaan, menjadi pihak yang sangat diuntungkan dari tingginya permintaan hewan qurban. Dalam banyak kasus, hewan ternak yang mereka pelihara selama berbulan-bulan atau bahkan setahun penuh akhirnya terjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan pada hari-hari biasa. Pendapatan dari penjualan hewan qurban ini bisa menjadi sumber modal baru untuk memulai siklus produksi berikutnya atau untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, qurban menjadi peluang ekonomi tahunan yang berharga, terutama bagi peternak skala kecil yang seringkali tidak memiliki akses luas ke pasar.
Selain peternak, sektor transportasi dan logistik juga mendapatkan manfaat dari praktik qurban. Pengangkutan hewan ternak dari daerah ke pusat-pusat kota atau lokasi penyembelihan memerlukan jasa kendaraan khusus dan tenaga kerja tambahan. Aktivitas ini menciptakan lapangan kerja temporer dan meningkatkan perputaran uang di sektor logistik. Para sopir, kernet, hingga pengepak hewan hidup terlibat secara langsung, menjadikan momen qurban sebagai kesempatan untuk menambah penghasilan. Dalam konteks ini, qurban ikut menopang sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Proses penyembelihan hewan qurban juga melibatkan banyak tenaga kerja, mulai dari penyembelih profesional (jagal), pengulitan, pemotongan daging, hingga pengemasan dan pendistribusian kepada mustahik. Aktivitas ini menciptakan permintaan terhadap keterampilan teknis sekaligus memperkuat ekonomi lokal. Bahkan, di beberapa tempat, kegiatan pemotongan hewan dilakukan dalam skala besar yang menyerupai industri kecil, memperkerjakan puluhan orang dalam waktu yang singkat. Jika dikelola secara efisien, kegiatan ini dapat memberikan efek ekonomi berganda di lingkungan sekitarnya.
Manfaat ekonomi qurban tidak berhenti pada penyediaan hewan dan proses penyembelihan saja. Distribusi daging qurban kepada masyarakat juga membuka peluang lain, seperti jasa pengemasan daging, penyimpanan dalam cold storage, dan bahkan produksi olahan makanan jika pengelolaannya dilakukan secara modern. Misalnya, di beberapa kota besar, daging qurban diolah menjadi rendang kemasan, kornet, atau abon yang memiliki masa simpan lebih lama. Upaya ini tidak hanya memperpanjang manfaat konsumsi, tetapi juga membuka peluang usaha baru yang berbasis pada nilai tambah.
Apabila praktik qurban dikelola oleh lembaga keagamaan, koperasi, atau badan usaha milik masyarakat secara profesional, maka potensi penguatan ekonomi lokal akan semakin terasa. Melalui model kemitraan antara peternak, pelaku distribusi, dan pengolah produk, siklus qurban bisa menjadi bagian dari pembangunan ekonomi berkelanjutan. Koperasi peternak qurban misalnya, dapat mengatur siklus produksi, memastikan kualitas ternak, dan menjamin harga yang kompetitif. Model ini tidak hanya melindungi peternak dari fluktuasi harga pasar, tetapi juga menjaga keberlanjutan pasokan ternak dari tahun ke tahun.
Qurban juga bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat sistem ketahanan pangan berbasis komunitas. Dengan mengintegrasikan kegiatan qurban ke dalam sistem agribisnis dan peternakan lokal, masyarakat tidak hanya mendapatkan manfaat sesaat dari distribusi daging, tetapi juga membangun sistem ekonomi yang mandiri. Proses ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga keuangan syariah, dan lembaga zakat yang dapat menjadi katalisator dalam penguatan ekosistem ekonomi qurban. Ketika semua pihak bersinergi, maka qurban akan menjadi bagian dari transformasi ekonomi yang berbasis nilai dan berorientasi pada kebermanfaatan sosial.
Distribusi daging qurban bukan hanya sekadar pembagian makanan, tetapi merupakan pengejawantahan nyata dari prinsip keadilan sosial yang menjadi inti ajaran Islam. Dalam masyarakat yang masih menghadapi ketimpangan ekonomi dan akses terhadap sumber daya yang belum merata, qurban hadir sebagai intervensi sosial yang strategis. Pada saat sebagian masyarakat mampu berqurban, daging yang disalurkan kepada fakir miskin menjadi jembatan yang mengurangi kesenjangan antara kelas ekonomi. Bagi sebagian orang miskin, daging bukanlah konsumsi sehari-hari, melainkan sesuatu yang mewah dan jarang mereka nikmati. Oleh karena itu, distribusi daging qurban memberikan nilai lebih yang tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga psikologis, karena mereka merasa diperhatikan dan diikutsertakan dalam kebahagiaan kolektif.
Praktik qurban juga menunjukkan bagaimana ajaran Islam tidak hanya berorientasi pada vertikalitas hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga horizontalitas relasi antarsesama manusia. Dengan membagikan daging kepada orang-orang yang membutuhkan, qurban mengikis egoisme sosial dan membangun kepedulian terhadap kelompok yang rentan. Ajaran ini mengarahkan umat Muslim untuk tidak hanya memperhatikan ibadah ritual, tetapi juga menjadikannya sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Dalam konteks ini, qurban adalah mekanisme spiritual yang berpadu dengan empati dan tanggung jawab sosial.
Lebih dari sekadar pembagian daging, pelaksanaan qurban melibatkan komunitas secara menyeluruh. Proses mulai dari pemilihan hewan, penyembelihan, hingga pendistribusian daging hampir selalu melibatkan masyarakat sekitar. Keterlibatan ini menciptakan interaksi sosial yang sehat dan memperkuat rasa solidaritas. Gotong royong yang muncul dalam pelaksanaan qurban menjadi bukti bahwa ibadah ini mampu menghidupkan nilai-nilai sosial yang sangat relevan untuk memperkuat kohesi di tengah masyarakat yang semakin individualistik. Dalam hal ini, qurban bukan hanya ritual tahunan, tetapi juga sarana rekonstruksi nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Kohesi sosial yang terbentuk melalui qurban sangat penting dalam menjaga kestabilan dan harmoni sosial. Ketika masyarakat merasa saling terhubung, saling membantu, dan berbagi dalam momen-momen penting seperti Iduladha, maka tercipta rasa memiliki terhadap satu sama lain. Ini akan mengurangi potensi konflik sosial yang biasanya dipicu oleh kecemburuan atau ketimpangan ekonomi. Dengan demikian, qurban turut serta menjaga integritas sosial masyarakat, yang menjadi pondasi penting dalam pembangunan bangsa yang adil dan makmur.
Dalam masyarakat urban yang sering kali dipenuhi kesenjangan tajam antara kelas ekonomi, praktik qurban menghadirkan semacam jembatan moral yang menghubungkan kelompok mapan dengan mereka yang termarjinalkan. Melalui lembaga-lembaga pengelola qurban yang terpercaya, distribusi daging bisa menyentuh titik-titik rawan kemiskinan di perkotaan maupun pedesaan. Di sinilah qurban mengambil peran sebagai alat redistribusi sumber daya yang dilakukan secara sukarela, namun memiliki dampak sosial yang signifikan. Ini menegaskan bahwa Islam telah lama menawarkan mekanisme berbagi yang mampu mengatasi ketimpangan sosial secara elegan dan manusiawi.
Aspek penting lainnya dari distribusi qurban adalah munculnya rasa percaya dan keterlibatan antarwarga dalam kegiatan keagamaan dan sosial. Ketika masyarakat melihat bahwa hasil qurban dikelola secara adil dan transparan, kepercayaan terhadap institusi sosial dan keagamaan pun meningkat. Ini merupakan modal sosial yang sangat penting dalam membangun partisipasi aktif masyarakat dalam program-program pembangunan lainnya, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dengan kepercayaan yang tinggi, semangat kolaborasi untuk mengatasi masalah bersama pun menjadi lebih mudah terwujud.
Pelaksanaan qurban yang adil dan merata juga memberikan pelajaran penting tentang konsep kesetaraan dalam Islam. Tidak ada hierarki dalam pembagian daging qurban: semua mustahik, tanpa memandang status sosial, berhak menerima bagian yang layak. Hal ini menumbuhkan kesadaran bahwa dalam pandangan agama, semua manusia memiliki hak untuk hidup layak dan bermartabat. Pesan kesetaraan ini sangat penting untuk terus digaungkan, terutama di tengah masyarakat yang masih sering terbelah oleh perbedaan kelas, ekonomi, dan akses terhadap pelayanan publik.
Pada skala makro, qurban sesungguhnya menyimpan potensi besar sebagai penggerak ekonomi sosial, namun hingga kini belum dimaksimalkan secara strategis. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, menyaksikan penyembelihan jutaan hewan qurban setiap tahunnya. Aktivitas ini menyerap tenaga kerja, menggerakkan sektor peternakan, dan menciptakan arus barang dan jasa yang signifikan. Sayangnya, perputaran ekonomi ini masih bersifat lokal, musiman, dan kurang terhubung dengan sistem ekonomi nasional yang lebih luas. Tanpa desain kebijakan yang sistematis dan integratif, potensi besar tersebut berisiko terfragmentasi dan kurang berkelanjutan.
Jika pelaksanaan qurban dimasukkan dalam kerangka ekonomi nasional dengan pendekatan pembangunan yang partisipatif, dampaknya bisa sangat luas. Misalnya, pengelolaan hewan qurban yang melibatkan pesantren sebagai pusat pemberdayaan masyarakat bisa memperkuat basis ekonomi umat di akar rumput. Pesantren tidak hanya dapat berperan sebagai agen distribusi, tetapi juga sebagai pusat pelatihan peternakan, manajemen qurban, dan pengolahan hasil samping. Ini bisa membentuk ekosistem ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada ritual keagamaan, tetapi juga pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, sinergi dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) membuka peluang untuk menciptakan sirkulasi ekonomi yang berakar dari potensi lokal. BUMDes dapat diberdayakan untuk menjadi aktor utama dalam pengadaan, distribusi, dan logistik qurban, sekaligus memastikan bahwa keuntungan ekonomi tetap berputar di dalam desa. Hal ini akan menghidupkan ekonomi pedesaan dan mengurangi ketergantungan pada pasar luar. Lebih jauh, keterlibatan BUMDes dalam program qurban juga dapat mendorong terciptanya lapangan kerja baru serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola kegiatan ekonomi secara profesional.
Koperasi peternakan juga memiliki peran strategis dalam mendorong efektivitas ekonomi qurban. Dengan pendekatan koperatif, para peternak dapat mengakses pasar secara lebih luas, meningkatkan kualitas hewan ternak, dan menstabilkan harga. Koperasi juga bisa menjadi penghubung antara peternak dan institusi keagamaan atau lembaga amil qurban, sehingga tercipta hubungan dagang yang lebih adil dan transparan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan peternak, tetapi juga menciptakan standar kualitas dan manajemen qurban yang lebih profesional dan berkelanjutan.
Pengembangan UMKM pengolahan daging menjadi aspek penting dalam upaya memperluas manfaat qurban. Daging qurban yang selama ini hanya dibagikan dalam bentuk mentah, dapat diolah menjadi produk olahan bernilai tambah seperti rendang, abon, atau kornet. Produk ini dapat memiliki masa simpan lebih panjang, mudah disalurkan ke wilayah-wilayah rawan pangan, dan bahkan berpotensi diekspor. UMKM pengolahan daging yang terhubung dengan program qurban akan menghidupkan industri kreatif berbasis pangan dan mendorong ekonomi lokal agar lebih dinamis dan inovatif.
Lebih jauh, pengelolaan qurban secara sistematis akan membuka ruang bagi hadirnya regulasi dan standarisasi nasional. Hal ini penting agar seluruh aktivitas yang terkait dengan qurban—dari pembibitan hewan, transportasi, pemotongan, hingga distribusi—memiliki standar mutu, kehalalan, dan keamanan pangan yang terjamin. Dengan adanya regulasi yang kuat, praktik qurban akan lebih efisien, transparan, dan mampu memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi bagi semua pemangku kepentingan. Pemerintah, dalam hal ini, dapat berperan sebagai fasilitator sekaligus regulator untuk memastikan sistem qurban nasional berjalan optimal.
Tantangan utama dalam mewujudkan sistem ekonomi qurban yang terintegrasi adalah sinergi antar-lembaga dan perubahan pola pikir masyarakat. Diperlukan edukasi, pelatihan, serta kemauan untuk bergerak dari pendekatan yang bersifat ritual semata ke arah pendekatan produktif dan strategis. Peran akademisi, lembaga keagamaan, dan tokoh masyarakat sangat penting dalam memberikan narasi baru mengenai potensi qurban sebagai kekuatan ekonomi sosial. Dengan pendekatan kolaboratif, pelaksanaan qurban bisa bertransformasi menjadi motor pemberdayaan yang terus bergerak sepanjang tahun, tidak berhenti hanya pada momentum Iduladha.
Qurban sesungguhnya merupakan refleksi konkret dari nilai-nilai spiritual yang memiliki potensi besar untuk ditransformasikan ke dalam kerangka pengembangan ekonomi berbasis etika. Di tengah arus globalisasi dan dominasi kapitalisme yang kerap mengabaikan dimensi moral, qurban hadir sebagai pengingat bahwa ekonomi tidak melulu soal akumulasi kekayaan, tetapi juga menyangkut pengorbanan, keikhlasan, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini bersumber dari ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk mengedepankan kebermanfaatan bersama, bukan sekadar keuntungan individual. Dalam konteks ini, qurban dapat dijadikan sebagai model ekonomi spiritual yang memadukan antara akuntabilitas materiil dan kepekaan moral.
Di balik ritual penyembelihan hewan qurban, tersimpan ajaran mendalam tentang pentingnya berbagi dan merelakan sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan orang lain. Sikap ikhlas dan semangat berkorban inilah yang menjadi roh utama dari ekonomi qurban. Dalam praktiknya, setiap pelaku ekonomi dalam rantai nilai qurban diajak untuk tidak hanya mengejar margin keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan aspek keberkahan dan manfaat sosial. Pola pikir ini sejalan dengan prinsip ekonomi syariah yang menolak eksploitasi dan spekulasi, serta menekankan pada transaksi yang adil, transparan, dan memberi maslahat.
Oleh karena itu, ekonomi qurban bisa menjadi laboratorium nyata bagi implementasi ekonomi Islam yang berkeadilan. Nilai spiritual yang tertanam dalam ibadah qurban dapat memengaruhi etika bisnis, membentuk relasi ekonomi yang berbasiskan kepercayaan dan saling menolong. Di sisi lain, konsumen muslim juga mulai memiliki kesadaran bahwa konsumsi bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga tentang dampak sosial dari pilihan ekonomi yang mereka buat. Dengan demikian, ekosistem qurban memberikan peluang besar untuk menanamkan kesadaran ekonomi etis dan transformatif dalam masyarakat.
Lebih jauh, ekonomi qurban juga dapat memperkuat karakter pelaku usaha Muslim, terutama dalam hal integritas dan tanggung jawab sosial. Dalam proses pengelolaan qurban—mulai dari pengadaan hewan, pemotongan, distribusi hingga pengawasan dana—dibutuhkan akuntabilitas dan profesionalisme yang tinggi agar kepercayaan publik tetap terjaga. Jika ini dilakukan secara konsisten, maka ekonomi qurban dapat mendorong terbentuknya sistem ekonomi umat yang mandiri dan kredibel, tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga unggul dalam integritas moral.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap sistem ekonomi konvensional yang kerap menciptakan ketimpangan dan krisis multidimensional, qurban bisa menjadi contoh kecil dari sistem alternatif yang mengedepankan etika dan nilai spiritual. Prinsip tawakal dan qanaah dalam ajaran Islam menjadi penyaring alami dari nafsu keserakahan, sementara konsep barakah menjadi indikator sukses yang berbeda dari logika kapitalistik. Dengan mengarusutamakan nilai-nilai ini dalam manajemen qurban, masyarakat secara perlahan dapat dibentuk untuk menjalankan kegiatan ekonomi yang lebih manusiawi dan adil.
Potensi qurban sebagai gerakan ekonomi berbasis spiritual juga dapat dikembangkan melalui edukasi dan dakwah yang lebih luas. Lembaga keagamaan, perguruan tinggi Islam, dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menyosialisasikan paradigma ini. Narasi qurban tidak hanya disampaikan sebagai ritual ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan ekonomi yang bermakna. Pengetahuan tentang manajemen, kewirausahaan, dan tanggung jawab sosial bisa dikemas dalam konteks qurban, sehingga masyarakat lebih mudah menerima dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pendekatan yang lebih strategis, pelaksanaan qurban bisa menjadi gerakan ekonomi sosial yang melibatkan partisipasi luas masyarakat, dari kalangan elite hingga akar rumput. Partisipasi kolektif ini tidak hanya memperkuat jaringan sosial dan rasa kebersamaan, tetapi juga membentuk basis ekonomi umat yang kokoh dan berkelanjutan. Qurban mengajarkan bahwa ekonomi bukan hanya soal transaksional, melainkan relasional—yakni relasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam.
Dengan pendekatan yang lebih inovatif dan sistemik, qurban tidak hanya dapat diposisikan sebagai ritual keagamaan tahunan, tetapi juga sebagai instrumen pembangunan ekonomi umat yang strategis. Tantangan ketahanan pangan dan kesejahteraan peternak lokal, yang selama ini menjadi isu krusial, dapat dijawab melalui integrasi praktik qurban ke dalam program-program ekonomi kerakyatan. Salah satu bentuk konkret dari integrasi ini adalah pengembangan koperasi peternak yang fokus pada penyediaan hewan qurban secara berkelanjutan. Koperasi ini tidak hanya menyediakan akses pasar yang stabil bagi peternak kecil, tetapi juga meningkatkan daya tawar dan kemandirian mereka dalam ekosistem agribisnis.
Ketika koperasi peternak lokal disinergikan dengan lembaga zakat, wakaf, dan filantropi Islam lainnya, terbentuklah sebuah mata rantai ekonomi yang bukan hanya berorientasi pada keuntungan finansial, tetapi juga pada keadilan sosial dan pemberdayaan umat. Dana zakat, infaq, dan wakaf dapat digunakan sebagai modal usaha produktif yang membantu peternak dalam pembiakan ternak, pengelolaan pakan, serta peningkatan kualitas produksi. Dengan demikian, qurban tidak lagi menjadi beban biaya tahunan, tetapi justru menjadi peluang penguatan ekonomi umat yang berbasis nilai dan keadilan.
Selain memperkuat sektor hulu, potensi ekonomi qurban juga bisa diperluas ke sektor hilir melalui pengolahan daging qurban menjadi berbagai produk olahan. Produk seperti abon, dendeng, rendang instan, dan sosis halal dapat dikembangkan melalui kemitraan dengan UMKM lokal atau industri kreatif berbasis pangan. Hal ini tidak hanya memperpanjang umur konsumsi daging qurban, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi yang dapat dinikmati lebih luas oleh masyarakat. Inovasi ini memungkinkan manfaat qurban dirasakan tidak hanya pada hari-hari besar keagamaan, tetapi sepanjang tahun.
Strategi ini juga mendorong terciptanya lapangan kerja baru di sektor pengolahan, distribusi, dan pemasaran produk hasil qurban. Anak-anak muda yang memiliki latar belakang di bidang teknologi pangan, pemasaran digital, dan manajemen usaha bisa dilibatkan dalam mengembangkan ekosistem ini, sehingga qurban menjadi medium pemberdayaan generasi muda yang produktif dan bernilai tambah. Kegiatan qurban tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang musiman, melainkan sebagai potensi ekonomi berkelanjutan yang menyerap tenaga kerja dan mendorong inovasi.
Aspek keberlanjutan juga sangat penting untuk diperhatikan. Jika pengelolaan qurban dilakukan secara sistemik dan profesional, maka akan muncul efek jangka panjang terhadap kemandirian pangan masyarakat, khususnya protein hewani. Dalam konteks ini, qurban bisa menjadi bagian dari strategi nasional ketahanan pangan, dengan menjadikan peternakan rakyat sebagai tulang punggung pasokan daging halal yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan agenda pembangunan nasional yang menekankan pentingnya kedaulatan pangan dan penguatan ekonomi lokal.
Lebih dari itu, keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan qurban—baik pemerintah, swasta, lembaga keagamaan, maupun masyarakat sipil—dapat memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam membangun model ekonomi berbasis solidaritas. Qurban menjadi ruang bersama di mana nilai religius dan kepentingan sosial ekonomi bisa bertemu dalam satu sistem yang adil, produktif, dan bermartabat. Kolaborasi ini sangat penting dalam menciptakan transformasi ekonomi yang tidak eksklusif, tetapi inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Penting juga untuk mendorong digitalisasi dalam pengelolaan qurban agar sistemnya lebih transparan, akuntabel, dan efisien. Platform digital bisa digunakan untuk mendata peternak, memantau distribusi hewan, mengelola transaksi keuangan, hingga mendistribusikan produk olahan secara online. Dengan dukungan teknologi, qurban akan semakin menjangkau masyarakat luas dan memperluas manfaatnya ke wilayah-wilayah yang selama ini sulit dijangkau oleh distribusi manual.
Pada akhirnya, qurban adalah refleksi dari prinsip Islam yang holistik, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan sosial dan ekonomi antar manusia. Menjadikan qurban sebagai pilar ekonomi sosial berarti menjadikannya sebagai instrumen untuk menebar manfaat dan merawat solidaritas, yang menjadi dasar kokohnya masyarakat yang adil dan sejahtera. Ketika ibadah qurban dikelola dengan baik dan penuh kesadaran sosial, maka ia tidak hanya menjadi pengorbanan pribadi, tetapi juga kontribusi nyata bagi transformasi sosial dan pembangunan ekonomi yang inklusif.







