Idul Adha: Momentum Mengendalikan Hawa Nafsu dan Memuliakan Akal

oleh -7,583 x dibaca

Oleh: Muhammad Asriady 

Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Al-Ikhlas Ujung Bone

——————————————-

Hari Raya Idul Adha bukan sekadar momentum ibadah kurban dan mengenang keteladanan Nabi Ibrahim AS. Jutaan umat Muslim memenuhi panggilan Ilahi untuk berhaji, namun sebagian lainnya harus tertunda karena visa Furoda yang tak kunjung terbit. Semua itu adalah bagian dari ketentuan Ilahi sekaligus menjadi waktu reflektif bagi umat Islam untuk merenungi kembali hakikat penciptaannya. Sang maestro tasawuf terkemuka, Imam Al-Ghazali, menjelaskan bahwa makhluk ciptaan Allah Swt terbagi ke dalam empat golongan, berdasarkan kombinasi antara akal dan hawa nafsu yang dimilikinya:

Malaikat, yang diberikan akal tetapi tidak memiliki hawa nafsu.

Hewan, yang memiliki hawa nafsu namun tidak dikaruniai akal.

Benda mati, tidak memiliki akal maupun hawa nafsu.

Manusia, yang dianugerahi keduanya: akal dan hawa nafsu.

Dari keempat makhluk ini, manusia adalah ciptaan yang paling sempurna. Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Tin ayat 4:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Terjemahnya:

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Ayat tersebut menunjukkan keistimewaan manusia sebagai makhluk pilihan yang dibekali dengan potensi akal dan hawa nafsu. Namun, potensi ini juga mengandung risiko. Ketika akal gagal mengendalikan hawa nafsu, manusia dapat jatuh ke dalam kehinaan, sebagaimana firman-Nya dalam lanjutan ayat tersebut:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

Terjemahnya:

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.

Imam Al-Ghazali memberikan pandangan bahwa ayat di atas dapat dikaitkan dengan pandangan tentang hakikat manusia, tingkatan nafsu, serta tujuan penciptaan manusia.

Kondisi fisik manusia yang melemah di usia tua, seperti kembali menjadi kanak-kanak

Manusia adalah makhluk jasmani dan ruhani. Dalam karya seperti Ihya’ Ulumuddin, ia menggambarkan kehidupan manusia sebagai perjalanan menuju kesempurnaan ruhani. Namun, tubuh manusia pada akhirnya mengalami kelemahan fisik sebagai bagian dari siklus alami.

BACA JUGA:  HMI Restoratif: Menerapkan Prinsip-Prinsip Rekonsiliasi Untuk Memperkuat Kader dan Organisasi

Al-Ghazali memandang bahwa ketergantungan manusia pada jasad adalah keterbatasan, dan ketika manusia menua hingga kehilangan kekuatan, maka itu adalah peringatan dari Allah bahwa yang sejati bukanlah kekuatan fisik, melainkan penguatan akal dan jiwa. Maka, meski tubuh melemah, seseorang tetap bisa mulia jika jiwanya terus meningkat dan tidak terikat pada dunia semata.

Kembalinya manusia kepada kehinaan, yakni neraka, akibat perbuatan buruknya Manusia menjadi hina bukan karena kelemahan fisik, tetapi karena mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal serta petunjuk ilahi. Jika manusia tidak menggunakan potensi akalnya untuk mengenal Allah dan mengendalikan nafsu, maka ia jatuh lebih rendah dari binatang.

Kehinaan ini, menurut Al-Ghazali, adalah kerusakan spiritual yang berujung pada hukuman akhirat (neraka). Ia menjelaskan bahwa manusia yang lebih mengedepankan hawa nafsu (nafsu ammarah) akan terseret dalam keburukan akhlak, yang menjadi penyebab utama jatuh ke dalam kehinaan dunia dan akhirat.

Dikembalikannya ruh ke tempat asal, yakni tanah Pandangan ini terkait dengan kesementaraan kehidupan dunia dan prinsip bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dalam filsafat Al-Ghazali, dunia hanyalah tempat persinggahan, dan kematian adalah pintu menuju kehidupan sejati di akhirat.

Ketika ruh kembali ke tanah, itu bukan sekadar fenomena biologis, tetapi simbol keterputusan dari kesenangan dunia. Ruh yang tidak dipersiapkan dengan iman dan amal saleh akan tersesat, namun ruh yang suci akan naik ke derajat yang lebih tinggi, bukan sekadar kembali ke tanah, tetapi menuju Allah.Imam Al-Ghazali sangat menekankan bahwa manusia dapat menjadi makhluk termulia atau terhina, tergantung pada dominasi akal atau nafsu. Ayat diatas menunjukkan konsekuensi spiritual dan eksistensial jika manusia gagal memanfaatkan anugerah akal dan tidak menjadikan hidup sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (2): SOLUSI PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK USAHA MIKRO DAN KECIL

Idul Adha menjadi waktu yang tepat untuk merenungi pengorbanan ego, dan bagaimana kita bisa mengangkat derajat diri bukan dengan kekuatan duniawi, tapi dengan penyucian jiwa dan kedekatan kepada Allah SWT.

Allah Swt memberikan harapan dalam ayat selanjutnya:

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

Terjemahnya:

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka bagi mereka pahala yang tidak ada putus-putusnya.

Mengendalikan Nafsu, Memuliakan Akal

BerIdul Adha bukan sekadar menyembelih hewan kurban, tetapi juga simbol dari penyembelihan hawa nafsu. Keteladanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS mengajarkan bahwa pengorbanan sejati adalah ketika manusia rela mengalahkan keinginan duniawi demi tunduk pada kehendak Ilahi. Imam Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumuddin, menegaskan pentingnya mengendalikan nafsu dan menggunakan akal sebagai pemandu jiwa.

Trisula Nafsu Menurut Imam Al-Ghazali

Nafsu Ammārah (النفس الأمّارة بالسوء)

Nafsu ini adalah tingkatan paling rendah, yang selalu condong pada syahwat, egoisme, dan dorongan duniawi. Nafsu ammarah adalah penyebab manusia mudah terjerumus pada maksiat dan kemungkaran. Bila akal tidak berfungsi sebagai pengontrol, nafsu ini akan mendominasi, menjadikan manusia lebih rendah daripada binatang.

2. Nafsu Lawwāmah (النفس اللوّامة)

Ini adalah tingkatan kesadaran diri. Nafsu lawwamah mencerminkan hati yang mulai sadar saat melakukan kesalahan, merasa bersalah, dan ingin kembali kepada kebaikan. Nafsu ini menunjukkan bahwa akal sudah mulai aktif, tetapi masih berjuang dalam tarik-menarik antara bisikan kebaikan dan keburukan. Orang yang memiliki nafsu lawwamah biasanya berada di fase taubat dan introspeksi.

BACA JUGA:  Menembus Batas: Tantangan dan Hambatan Jurusan ATPH SMKN 5 Bone dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0"

3. Nafsu Mutmainnah (النفس المطمئنة)

Ini adalah tingkatan nafsu tertinggi. Nafsu mutmainnah adalah jiwa yang telah menemukan ketenangan dalam ketaatan kepada Allah, terbebas dari gejolak syahwat dan ego. Nafsu ini menjadi tujuan ideal manusia menurut Imam Al-Ghazali ketika akal sepenuhnya membimbing nafsu dan hati telah mantap dalam keimanan. Jiwa semacam ini layak untuk mendapat ridha Allah dan surga-Nya.

Memuliakan Akal

Akal menurut Imam Al-Ghazali adalah cahaya dari Allah Swt yang membedakan manusia dari makhluk lain. Namun akal baru berfungsi sempurna bila didampingi dengan iman dan ilmu yang benar. Ketika akal menguasai nafsu dan disinari oleh wahyu, maka ia akan membawa manusia pada puncak kemuliaan. Tapi jika akal ditundukkan oleh nafsu, maka ia bisa digunakan untuk membenarkan keburukan dan justru menyesatkan.

Manusia yang mulia bukanlah yang sekadar menggunakan akalnya, tetapi yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dengan akal sehat dan iman. Akal harus menjadi kompas yang menuntun nafsu, bukan sebaliknya.

Mari di Hari Raya Idul Adha 1446 H ini kita memperkuat tekad untuk menumbuhkan nafsu mutmainnah dalam diri, dengan memperbanyak ilmu, memperdalam iman, serta memperbaiki amal. Jangan hanya merasa pintar, tetapi pintarlah dalam merasa yang peka terhadap bisikan hati dan petunjuk Ilahi.

Selamat bagi yang berkurban unta, sapi, maupun kambing Semoga setiap tetes darah kurban menjadi saksi atas usaha kita menaklukkan ego dan mendekat kepada Allah SWT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.