Ketika Guru Belajar Menjadi Kehadiran yang Dirindukan

oleh -181 x dibaca
Andi Hamrianto

Oleh: Andi Hamrianto

Guru MIN 8 Bone 

Ada kisah yang ditulis bukan oleh tangan manusia, tetapi oleh kehendak Tuhan dan kesabaran hidup. Kisah saya dimulai dari sebuah rumah sederhana, tempat saya tumbuh sebagai anak yatim tanpa sosok ayah untuk memegang tangan saya, namun dengan kasih sayang ibu, saudara, dan kerabat yang menutupi setiap kekurangan dengan ketulusan yang tak terhingga. Dalam kesunyian masa kecil itu, saya menyimpan satu doa yang terus saya ulang-ulang setiap malam: “Ya Allah, jadikan aku seorang guru.”

Saya tidak memiliki apa-apa selain tekad, doa ibu, dan harapan yang saya peluk erat. Tapi Tuhan, dengan cara-Nya yang lembut, mengantarkan saya ke jalan yang sejak kecil sudah saya impikan. Dua puluh tahun lamanya saya diberi kesempatan berdiri di ruang kelas, berdiri di depan ratusan murid dari berbagai angkatan anak-anak dengan tawa yang berbeda, dengan karakter yang berwarna, dengan masalah kecil yang mereka bawa, dan dengan harapan besar yang mereka simpan diam-diam. Ada yang ceria, ada yang pendiam, ada yang penuh semangat, ada yang masih belajar percaya diri. Mereka semua mengajarkan saya bahwa setiap anak adalah dunia yang perlu dibaca, bukan dihakimi.

Dua dekade itu bukan sekadar waktu. Itu adalah pengabdian, cinta, luka yang sembuh, dan kebahagiaan yang tidak pernah bisa dihitung. Saya tidak hanya mengajar mereka membaca, berhitung, atau memahami pelajaran. Saya belajar memahami hati mereka, belajar menatap masa depan melalui mata polos mereka, belajar menjadi dewasa bersama mereka. Dari mereka saya belajar bahwa guru bukan hanya profesi guru adalah amanah, tempat yang dirindukan, sosok yang dicari ketika mereka bingung, tangan yang mereka harapkan untuk menuntun ketika mereka takut.

BACA JUGA:  UNM sebagai Pusat Kajian Penurunan Angka Kemiskinan di ASEAN di Era Orde Baru

Namun perjalanan saya tidak pernah berdiri sendiri. Ada ibunda saya yang diam-diam berdoa setiap malam agar saya kuat menghadapi dunia. Ada saudara dan kerabat yang tidak pernah berhenti memberi semangat. Ada istri saya penopang terbesar hidup saya dan dua jagoan kecil yang menjadi alasan saya selalu ingin pulang dengan cerita baik. Mereka adalah rumah, tempat saya menemukan kembali semangat jika hari terasa berat.

Ada pula rekan-rekan guru yang setiap hari berbagi perjuangan di balik pintu kelas, saling menopang dalam diam, saling menguatkan dalam tawa. Ada kepala madrasah, sosok ibu yang bijak yang pernah membawa saya berdiri bersamanya menerima penghargaan tingkat kabupaten. Momen itu mungkin kecil bagi sebagian orang, tetapi bagi saya itu adalah kebanggaan besar yang tidak akan pernah saya lupakan. Itu adalah validasi bahwa langkah kecil saya selama ini dilihat dan dihargai.

BACA JUGA:  Artificial Intelligence dan Masa Depan Pendidikan : Siapa yang harus Beradaptasi?

Dan tentu saja, saya tidak bisa melupakan orang tua murid mereka yang mempercayakan harta paling berharga dalam hidupnya kepada saya. Dari dukungan, kepercayaan, dan doa mereka, saya merasakan bahwa pekerjaan ini bukan hanya tugas, tetapi ibadah. Tanpa mereka, saya hanyalah guru di dalam kelas. Dengan mereka, saya menjadi bagian dari keluarga besar yang tumbuh bersama.

Masyarakat setempat pun hadir seperti keluarga kedua. Mereka yang melihat saya sejak awal, menyapa dengan ketulusan, memberi ruang untuk saya berbuat baik, bahkan ikut bangga ketika madrasah meraih prestasi. Ada kekuatan yang tidak terlihat, tetapi selalu terasa dari keberadaan mereka.

Namun hidup adalah perjalanan panjang yang penuh bab. Ketika Allah memperalihkan tugas saya ke ruang pengabdian yang lain, saya menerima keputusan itu dengan hati yang tunduk. Saya tidak lagi berdiri di depan kelas, tetapi Allah mengalihkan langkah saya tanpa sedikit pun mengurangi rasa syukur saya. Tidak ada alasan manusiawi di balik perpindahan itu, semata-mata karena Allah menghendakinya. Dan saya yakin, jika Tuhan menggeser arah langkah saya, tentu Ia sedang mempersiapkan rencana yang lebih baik dari yang bisa saya bayangkan.

Meski demikian, satu hal tidak akan pernah berubah: saya ingin tetap menjadi guru yang dirindukan oleh murid-muridnya. Bukan karena saya sempurna, saya jauh dari itu. Tetapi karena saya berharap, setelah dua dekade, ada sedikit jejak kebaikan yang tertinggal dalam diri mereka. Jika suatu hari mereka dewasa, menatap masa kecil mereka, lalu berkata dalam hati, “Saya pernah punya guru bernama Pak Andi, dan kehadirannya berarti bagi saya,” maka itulah hadiah terbesar dalam hidup saya.

BACA JUGA:  Bone Pasca Konflik Pajak: Antara Keadilan Fiskal dan Luka Sosial

Kepada para guru di luar sana, izinkan kisah ini menjadi pengingat kecil: apapun latar belakang kita—anak yatim, keluarga sederhana, penuh keterbatasan—jangan pernah berhenti bermimpi. Jangan pernah kehilangan harapan. Karena profesi ini tidak hanya tentang mengajar; ini tentang membentuk masa depan. Jadilah cahaya yang paling lembut, paling sabar, paling ikhlas. Jadilah guru yang kelak dirindukan, bukan karena ilmunya banyak, tetapi karena hatinya hadir.

Perjalanan saya adalah perjalanan panjang yang penuh warna. Warna perjuangan, warna syukur, warna cinta, warna pengabdian… dan warna takdir yang Allah lukiskan dengan sempurna. Jika hari ini saya melangkah ke tugas baru, itu bukan akhir dari kisah saya sebagai guru. Itu hanya bab baru dari buku yang sama.

Dan selama hidup masih memberi ruang untuk bernapas, saya akan selalu mengingat satu hal:

Menjadi guru adalah doa yang dikabulkan Allah. Menjadi guru yang dirindukan adalah anugerah yang harus diperjuangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.