Merintis Takdir

oleh -193 x dibaca

Penulis : Affandy,S.Sos. (Wartawan Tribun Bone)

Takdir sering kali dipahami sebagai garis nasib yang sudah ditentukan sejak manusia lahir. Ia dianggap mutlak, tidak bisa diubah, dan tinggal dijalani apa adanya. Namun bila kita renungkan lebih dalam, takdir juga berwajah lain, ia tidak datang sekaligus, melainkan terbentuk dari jejak langkah kecil yang kita ukir setiap hari. Dalam arti inilah, sesungguhnya kita semua tengah merintis takdir.

Ingatlah kembali masa usia tujuh tahun, saat pertama kali duduk di bangku sekolah dasar. Kita belajar mengeja huruf, menghitung angka, hingga mulai mengenal disiplin sederhana. Bagi sebagian orang, itu sekadar rutinitas masa kanak-kanak. Tetapi sesungguhnya, di situlah kita mulai menapaki jalan panjang yang akan menentukan wajah masa depan. Dari pintu kelas yang sederhana itu, takdir kita mulai dirintis.

Perjalanan berikutnya hadir silih berganti: putih-merah, putih-biru, putih-abu, hingga duduk di bangku kuliah. Semua fase itu bukan sekadar jenjang pendidikan, melainkan ruang pembentukan diri. Di sana kita bukan hanya berhadapan dengan teori, melainkan juga pilihan hidup: tekun atau malas, bersungguh-sungguh atau sekadar ikut arus, memilih teman yang memotivasi atau justru menjerumuskan. Satu keputusan kecil kadang sudah cukup menggeser arah, apakah kita tengah merintis takdir keberhasilan atau justru menyiapkan jalan menuju kegagalan.

Takdir sejatinya tersembunyi dalam kebiasaan sehari-hari. Menjaga pola makan lewat diet sehat, rajin berolahraga, patuh minum obat saat sakit, serta tekun beribadah, semua itu adalah bagian dari merintis takdir baik. Sebaliknya, lalai menjaga tubuh, abai pada kesehatan, malas beribadah, dan terbiasa menunda pekerjaan juga merupakan proses merintis takdir—hanya saja jalurnya menuju arah yang kelam: tubuh rapuh, pikiran kusut, dan kesempatan hidup perlahan terkikis.

BACA JUGA:  Pajak Membebani Rakyat, Islam Punya Solusi

Sejarah dan pemikiran besar pun mengajarkan hal yang sama. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa manusia hidup di antara ikhtiar dan tawakkal: kita wajib berusaha sembari berserah. Aristoteles menyebut setiap tindakan membawa konsekuensi. Buya Hamka mengingatkan, hidup adalah kerja, bukan hanya menerima. Sementara Tan Malaka lewat Madilog menegaskan pentingnya berpikir rasional dan bekerja keras, karena tanpa itu, takdir bangsa hanya akan berhenti di angan-angan.

Dalam konteks bangsa, kita bisa menengok sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sejak muda, beliau gemar membaca, berpikir kritis, dan terbuka terhadap perbedaan. Kebiasaan itu membentuknya menjadi tokoh humanis yang disegani. Gus Dur menunjukkan bahwa takdir kepemimpinan dan kemanusiaannya tidak datang tiba-tiba, melainkan dirintis dari disiplin intelektual, keberanian bersikap, serta konsistensi membela yang lemah. Dari jejak hidupnya, kita belajar bahwa merintis takdir baik berarti menanam benih kebiasaan luhur jauh sebelum hasilnya terlihat.

Nilai ini juga berpadu indah dengan kearifan lokal Bugis-Makassar yakni sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakainge (saling mengingatkan). Tiga falsafah itu adalah penuntun agar proses merintis takdir tidak terjebak pada kesalahan langkah. Dengan saling mengingatkan dan menghargai, kita tidak dibiarkan jatuh dalam kelalaian yang menuntun pada takdir buruk.

BACA JUGA:  Menembus Batas: Tantangan dan Hambatan Jurusan ATPH SMKN 5 Bone dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0"

Sejatinya, seorang presiden bersama jajaran pemerintah pun tengah merintis takdir, bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi rakyat yang dipimpinnya. Setiap kebijakan yang lahir, setiap keputusan yang diambil, akan menjadi tapak sejarah yang menentukan arah bangsa. Di sanalah letak tanggung jawab besar seorang pemimpin: merintis takdir yang menyejahterakan, memuliakan, dan mengangkat derajat rakyatnya. Karena pada akhirnya, takdir baik atau buruk sebuah negeri sangat erat dengan kebijakan dan karakter pemimpinnya. Dengan begitu, rakyat pun tidak boleh berpangku tangan, melainkan turut menyinergikan usaha itu, sebab dalam diri kita masing-masing juga ada takdir yang terus dirintis.

Merintis takdir juga bisa hadir dari hal yang paling sederhana. Bahkan bekerja dengan cangkul di ladang sejatinya adalah ikhtiar merintis takdir. Dari satu gerakan mencangkul, ada takdir kesehatan yang ikut dirintis bila tekniknya mendekati gerak olahraga, menguatkan tubuh sekaligus menjaga vitalitas. Di sisi lain, ada pula takdir ekonomi yang sedang dibangun, sebab tanah yang diolah dengan benar akan berbuah hasil panen melimpah.

Contoh itu menunjukkan bahwa setiap pekerjaan—betapapun sederhana—mengandung makna yang lebih dalam. Bahwa merintis takdir bukan perkara menunggu keajaiban besar, melainkan kesediaan untuk menenun hari-hari dengan kerja, doa, dan ketekunan.

BACA JUGA:  Pajak Bumi dan Bangunan: Warisan Kolonialisme

Sekali lagi, jangan sampai kita terlena. Hidup adalah perjalanan panjang, dan setiap langkah hari ini menentukan ke mana kaki kita tiba esok. Apakah di tujuan yang membanggakan, atau di persimpangan yang menyesakkan? Jawabannya ada pada pilihan kita sekarang. Sebab hukum sebab-akibat tak pernah ingkar, dan takdir senantiasa lahir dari jejak yang kita rintis dengan sadar.

Tidak ada kata terlambat. Bila hari ini kita berada dalam posisi takdir yang buruk, ingatlah bahwa setiap detik dari 1×24 jam adalah bagian dari takdir yang masih bisa kita arahkan. Mari terus bergerak merintis takdir yang baik. Jangan lengah, apakah langkah kita menuju cahaya atau justru kegelapan. Setiap pribadi memikul tanggung jawab, agar kelak kita mampu memberi andil dalam merintis takdir anak cucu, bahkan takdir orang banyak secara massal.

Karena kalau kita lalai maka kita tengah mempercepat takdir Takdir Mubram, sebaliknya kalau kita tarus berbenah dan intropkesi diri kita tengah mengatur dan merintis takdir mu’allag.

Akhir kata: lawanlah takdir burukmu, teruskanlah takdir baikmu. Sebab hukum sebab-akibat tak pernah ingkar, dan ajaran agama selalu berpesan agar kita berperilaku baik serta mengamalkan akhlak terpuji dengan begitu kita telah merintis Takdir yang mu’allag, takdir mu’allag baik dan buruknya terpulang dari kita sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.