Keseimbangan: Dasar Psikologis Hukum

oleh -2,263 x dibaca
Prof. Dr. A. Nuzul

Penulis : Prof. Dr. A. Nuzul 

Guru Besar Ilmu Hukum IAIN Bone

AHLI Psikologi atau Psikolog menemukan bahwa, di dalam diri manusia terdapat tiga hasrat, berupa hasrat individualistis (egoistis atau otomistis); hasrat kolektivitas (trans personal atau organis); serta hasrat pengatur atau bersifat mengatur (desire to regulate). Pada hasrat yang terakhir ini dapat disebut bertujuan keinginan untuk menjaga keseimbangan (balancis) dalam hidup bersosial ataupun bermasyarakat.

Ketiga hasrat ini berinteraksi berebut untuk mendapat tempat dalam diri manusia dan kelompok manusia. Bahkan secara ekstrem antara hasrat individualistis dengan hasrat kolektivitas saling berebut kepentingan yang bertentangan. Secara kejiwaan kedua hasrat ini berambisi, berusaha saling mengalahkan atau melumpuhkan satu dengan lainnya. Akan tetapi satu keniscayaan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian, karena itu manusia selain disebut sebagai makhluk individu atau individual disire atau personasl longing ia pun disebut sebagai makhluk sosial atau zoon politikon). Karena itu manusia atau kelompok individu takkan mungkin hidup tanpa hasrat.

Hasrat kolektivitas masyarakat dan hasrat kesadaran diri setiap indiuvidu tidak harus ditiadakan. Manusia dan masyarakat selalu terdiri atas individu-individu. Jika suatu masyarakat yang anggota-anggotanya meniadakan “akunya”, bukanlah suatu masyarakat normal, dan dipastikan tidak mungkin ada dalam kenyataan. Sehingga faktanya dalam hidup ini, pada suatu ketika, jika titik beratnya ada pada kolektivitas, seperti dalam keinginan bersama untuk sejahtera, keinginan bersama mempertahankan atau menjaga keutuhan negara, dst. Namun pada saat yang sama juga muncul pula titik berat pada individualitas, misalnya berupa perlindungan HAM, kebebesan memilih dan menentukan calon pemimpinnya, bahkan setiap individu berhak menentukan agama dan kepercayaannya.

Fakta lebih dalam lagi, tidak ada masyarakat tanpa kekuatan yang bersifat individualistis, begitu pula sebaliknya, tidak ada individu yang tidak mempunyai hasrat kemasyarakatan (keinginan untuk bersama, berkumpul, keinginan berhubungan/berkomunikasi dengan yang lainnya). Tiada seorangpun manusia yang mampu hidup tanpa bantuan dari orang lain, olehnya itu, dalam kehidupan pula diperlukan pengejawantahan hasrat yang ketiga yaitu hasrat pengatur (desire to regulate)” atau hasrat untuk menyeimbangkan dengan melalui pengendalian pada kedua hasrat lainnya yang sering kali bertentangan itu. Antara hasrat individualistis dengan hasrat kolektivitas sepatutnya terkendali atau terkontrol membawa keteraturan hidup.

BACA JUGA:  Pendidikan Awal Kanak-Kanak: Mendukung Anak Pekerja Migran di Malaysia

Dalam konteks bernegara, ada nation/staats (bangsa/negara) yang membangun kekuatannya melalui kecendrungannya pada penghargaan hak-hak individu yang lebih dominan, seperti pada negara barat, misalnya Amerika Serikat dengan masyarakat individualitasnya. Ada juga negara yang membangun kekuatannya melalui kecenderungan penghargaan pada sifat kolektivitasnya, seperti pada negara Uni Soviet dengan masyarakat sosialisnya. Kedua blok negara dan masyarakat seperti ini, cenderung ingin mendominasi satu dari yang lainnya, sehingga menunjukkan adanya ketidak seimbangan dalam memposisikan individu maupun masyarakat.

Akan tetapi pada negara atau bangsa yang berusaha selalu ingin menempatkan hak-hak individu dan hak-hak masayarakat secara seimbang (balancis), sama kuatnya di depan negara, atau dihadapan penguasa, seperti negara Indonesia dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika, sifat kekeluargaannya mengndalkan kesatuan dan persatuan, beridiologi Pancasila sebagai perekat individu dan masyarakat. Maka dapatlah dikatakan masyarakat pancasilais, kecenderungannya memelihara dan mengatur hasrat individual dan kolektivitas secara seimbang dalam situasi manapun di atas norma hukum.

Keinginan untuk hidup teratur adalah manivestasi sebagai hasrat ketiga dalam diri manusia, untuk menjaga keseimbangan dalam bersosialisasi hidup. Hasrat yang bersifat mengatur bertujuan menjaga dan memelihara agar hasrat individualistis (egoistis) dan hasrat kolektivitas (inter personal) tetap terjaga secara normal sehingga eksistensi individu dan masyarakat tetap terus terpelihara atau terjaga.

Sekalipun terus diterpa arus globalisasi dan kehidupan hedoisme, hasrat bersifat pengatur atau penyeimbang ini secara terus menerus berkeseimbangan, ada dalam diri manusia,. Karenanya manusia selalu memerlukan norma atau “pedoman” berupa ketentuan-ketentuan hidup baik tertulis dibuat oleh negara (staat) maupun tidak tertulis yang lahir dari jiwa bangsa (volkgeits) dan kesadaran bersama sebagai anggota masyarakat.

Norma atau pedoman berkehidupan itu yang selanjutnya disebut hukum atau peraturan atau ketentuan dalam berkehidupan, berfungsi untuk menjaga dan membatasi dominasi berlebihan dari hasrat individualistis maupun hasrat kolektivitas, begitu pula sebaliknya karena dominasi berlebihan dari salah satunya, akan merugikan individu maupun masyarakat. Seakalipun ada adagium yang mengatakan kepentingan umun lebih diutamkan dari pada kepentingan orang perseorangan.

Sejatinya hasrat individualistis dan hasrat kolektivitas sangat diperlukan manusia individu dan kelompok manusia atau disebut masyarakat. Individu memerlukan perjuangan dalam menemukan jati diri, harga diri, maupun kualitas diri, dan dilakukannya dengan menggunakan hasrat individualitasnya (personalnya). Manusia individu berusaha, bertindak atau berjuang dengan “egois”-nya” atau “aku”-nya. Begitu pula dengan hasrat kolektivitas (masyarakat), diperlukan pada kepentingan kebersamaan, membentuk kehidupan bersama, persatuan, serta cinta kasih sesama.

BACA JUGA:  Bone Pasca Konflik Pajak: Antara Keadilan Fiskal dan Luka Sosial

Apabila melulu hanya mementingkan hasrat kolektivitas, maka kepentingan individu bisa binasa, eksistensi diri juga terabaikan, individu akan menjadi terkebelakang, rendah diri, bahkan bisa hilang harga dirinya. Begitupula jika hasrat individu terlalu dominan, maka kepentingan sosial atau kolektivitas bisa menjadi terpecah belah, kedamaian, keteraturan, ketertiban, maupun persatuan sulit ditemukan di dalamnya. Oleh karenanya mengatur keseimbangan antara hasrat individualiatas dengan hasrat kolektivitas sangat diperlukan, agar kehidupan individu bersama kelompok masyarakat terus terpelihara, tidak harus saling mengorbankan karena hanya akan mengorbankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demontrasi, unjuk rasa, atau penyampaian aspirasi yang marak akahir akhir ini merupakan bagian yang diatur, dibenartkan oleh konstitusi negara, tidak boleh dilarang. Namun negara melalui penguasa perlu mengaturnya melalui peraturan perundang-undangan, agar keteraturan tidak menjadi korban kebrutalan. Itulah sebabnya mengapa penyampaian aspirasi oleh individu dan masyarakat dilarang merusak, termasuk tidak boleh disusupi provokasi, bertindak anarkis, menjarah, serta tindakan lainnya yang bertentangan dengan ketentuan.

Jika hasrat keegoan individual tidak lagi mengenal batas-batas etika, moral maupun rasa malu, maka semua aturan hidup individu dan aturan berkelompok akan dilabraknya, menjadi kebal rasa, dan kebal muka, bagaikan kulit badak jawa yang tidak lagi bisa membedakan yang mana duri, dan yang mana bulu; tidak lagi bisa merasakan perbedaannya, kapan musim dingin dan kapan musim panas.

Jika sudah kebal rasa dan kebal muka, maka tidak lagi mampu membedakan mana yang halal dan mana yang haram; mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak pantas dikerjakan; mana perilaku yang melanggar aturan dan mana yang sesuai aturan. Jika individu sudah kebal rasa dan kebal muka, maka apa saja cerita, bisik-bisik, cawe-cawe bahkan teriakan orang lain untuk mencelahnya, sudah tidak ada lagi manfaat dan pengaruhnya terhadap yang bersangkutan, apalagi untuk menghentikan perbuatan dan pekerjaan busuknya. Maka ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa, seorang penjahat selain melanggar hukum, yang bersangkutan juga tidak memiliki rasa kesopanan dan rasa kesusilaan.

BACA JUGA:  Menyambut Idul Kurban: Menyelami Makrifat, Hakikat, Tarekat, dan Syariat dalam Ibadah Kurban

Untuk menguatkan bekerjanya hasrat ketiga (hasrat pengatur/keseimbangan), maka diperlukan keterlibatan negara melalui pembuatan “norma hukum”. Norma hukum tiada lain adalah produk negara atau penguasa untuk rakyatnya (individu dan masyarakat). Hukum adalah bagian integral dari kehidupan manusia, dan hukum mencegah individu terisolir dari individu (manusia) lainnya, sehingga adagium menyebutkan di mana ada kumpulan manusia maka di situ ada hukumnya (ubi sosietas ibi ius). Hakikat dari hukum adalah mendistribuysikan antara hak dan kewajiban bagi manusia.

Ibaratnya norma hukum adalah tali yang menghubungkan secara kuat antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, atau alat yang paling sempurna dalam membuat keseimbangan hak dasar individu dan hak sosial masyarakat. Ke duanya merupakan keniscayaan dalam diri manusia dan masyarakat yang harusnya terus hidup bertumbuh.

Namun untuk terpeliharanya secara baik pada kedua hasrat yang disebutkan di atas, diperlukanlah hasrat ketiga, yang bersifat mengatur dan menjaga keseimbangan (restitution integrum). Hasrat dalam mengatur keseimbangan, selain harus terus tercipta dari dalam kesadaran individu maupoun dari masyaratak, namun yang paling bertanggung jawab menjaganya negara atau penguasa melalui tata kelola dari negara dan perangkat penguasanya, termasuk sarana yang harus digunakan, yakni berupa hukum dan perundang-undangan. Ketiga hasrat di atas hendaknya saling menopang untuk mencapai tujuan negara yakni mensejahterakan, demokratisasi, berkeadilan dan berkepastian. Dalam kajian teori hukum, ketiga hasrat di atas menjadi dasar psychology dari hukum, dan itulah sebabnya mengapa hukum harus selalu ada dalam kehidupan nyata bagi umat manusia.

Karena pentingnya hasrat mengatur dari negara, maka melalui penguasa, negara harus hadir dalam setiap langkah dan gerakan pembangunan, kesejahteraan dan demokratisasi untuk kebaikan individu maupun kelompok,untuk pemenuhan kebutuhan rohani, maupun kebutuhan jasmani. Penguasa mewakili negara menjalankan fungsi-fungsinya untuk melayani kepentingan individu dan publik, ia tidak boleh berbuat kesewenangan apalagi bertindak tidak adil terhadap rakyatnya. Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.