Oleh: Prof. Syaparuddin
Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah
___________________________________
FIDYAH dalam Islam bukan hanya sekadar kewajiban ibadah yang harus ditunaikan oleh mereka yang tidak mampu menjalankan puasa karena alasan-alasan syar’i seperti usia lanjut, sakit menahun, atau kondisi permanen lainnya. Ia adalah bentuk ketaatan yang menyimpan nilai-nilai sosial yang sangat mendalam, yang jika dikaji lebih lanjut, menyingkap jalinan erat antara ibadah ritual dan dimensi sosial kemanusiaan. Dalam konteks kehidupan modern saat ini, makna sosial dari fidyah justru semakin relevan, karena ia menawarkan jalan spiritual yang menyentuh aspek kemanusiaan—yakni empati dan kepedulian terhadap sesama, terutama kaum dhuafa.
Dalam pelaksanaan fidyah, seseorang yang tidak dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadan diwajibkan memberi makan kepada orang miskin sebagai ganti dari puasa yang tidak bisa ditunaikannya. Perintah ini secara eksplisit tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 184 yang berbunyi: “…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” Ayat ini tidak hanya menjadi dalil kewajiban, melainkan juga menjadi titik tolak dari gagasan besar Islam dalam menyeimbangkan ibadah individual dengan kesejahteraan sosial.
Makna ibadah dalam Islam sesungguhnya tidak pernah berdiri sendiri dalam ruang sempit ritualistik belaka. Islam bukan hanya agama yang menuntut ketaatan formal dalam bentuk rukun dan syariat, tetapi juga menekankan esensi dari setiap ibadah sebagai sarana penyucian jiwa dan pembentukan karakter yang mulia. Setiap bentuk ibadah, sekecil apapun, mengandung nilai-nilai mendalam yang melibatkan hubungan manusia dengan Tuhannya sekaligus hubungan dengan sesama. Dalam perspektif ini, ibadah bukan hanya sekadar kegiatan spiritual, tetapi juga menjadi jalan untuk mengasah sensitivitas sosial dan memperkuat komitmen terhadap kebaikan universal.
Dalam Islam, dimensi ibadah terbagi menjadi dua aspek penting: hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia). Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena kualitas hubungan seorang hamba dengan Tuhannya tercermin pula dalam sikap dan perilakunya terhadap orang lain. Ibadah yang benar menurut Islam adalah yang mampu membentuk pribadi yang jujur, dermawan, penyayang, dan bertanggung jawab sosial. Dengan kata lain, seseorang yang tekun beribadah tetapi abai terhadap sesama sejatinya belum sepenuhnya memahami hakikat ibadah.
Fidyah adalah salah satu bentuk ibadah yang dengan sangat jelas menunjukkan keterkaitan erat antara dimensi spiritual dan sosial. Ia bukan hanya sekadar pengganti bagi puasa yang tidak dapat dijalankan karena alasan tertentu, tetapi juga sebuah manifestasi empati dan solidaritas. Ketika seseorang membayar fidyah, ia tidak hanya sedang menunaikan kewajiban agamanya kepada Allah, tetapi juga sedang berpartisipasi aktif dalam mengatasi masalah kelaparan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan ibadah dalam Islam: spiritualitas yang berdampak sosial.
Lebih dari sekadar menggugurkan kewajiban, fidyah mengajarkan bahwa setiap kekurangan dalam ibadah yang bersifat personal dapat dikompensasi dengan kebaikan yang bersifat sosial. Dalam konteks ini, Islam memberikan ruang bagi umatnya untuk tetap bermanfaat bagi sesama meskipun dalam kondisi yang terbatas. Seorang lansia yang tidak mampu berpuasa, misalnya, tetap bisa menjadi jalan kebaikan dengan memberi makan kepada orang miskin. Nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial menjadi fondasi dari pelaksanaan fidyah, yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya berbagi dan saling peduli.
Konsep ini sangat relevan dalam membangun masyarakat yang adil dan berkeadilan. Jika ibadah dipahami hanya sebagai urusan personal antara individu dan Tuhan, maka akan tercipta jurang pemisah antara spiritualitas dan kehidupan sosial. Namun dengan pemahaman Islam yang holistik, ibadah selalu memiliki fungsi ganda: mendekatkan diri kepada Allah sekaligus memperkuat solidaritas sosial. Fidyah menjadi contoh konkret bagaimana ibadah dapat menjelma menjadi solusi atas persoalan-persoalan kemanusiaan yang nyata.
Dalam praktiknya, fidyah juga melatih kepekaan sosial seorang Muslim. Ia belajar untuk menengok ke sekeliling, mencari mereka yang membutuhkan, dan menyentuh mereka dengan ketulusan. Ini bukan hanya tentang memenuhi ketentuan fikih, tetapi tentang membangun kedekatan emosional dengan saudara-saudara seiman yang hidup dalam keterbatasan. Rasa empati yang muncul dari praktik fidyah perlahan-lahan akan membentuk karakter peduli dalam diri seorang Muslim, menjadikannya pribadi yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga aktif dalam memberi manfaat.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memang tidak pernah memisahkan antara nilai-nilai ibadah dan nilai-nilai sosial. Justru kekuatan Islam terletak pada kemampuannya mengintegrasikan keduanya dalam satu kesatuan yang utuh. Fidyah mengajarkan kepada kita bahwa ketidakmampuan dalam menjalankan satu bentuk ibadah tidak berarti kehilangan kesempatan untuk memperoleh pahala dan memberikan kebaikan. Allah membuka jalan lain melalui amal sosial agar setiap Muslim tetap bisa berkontribusi, menebar kebaikan, dan menyemai keberkahan dalam hidup orang lain.
Lebih jauh lagi, fidyah mencerminkan sebuah kesadaran spiritual yang konkret, bukan sekadar simbolik atau formalitas ritual. Ketika seseorang membayar fidyah karena tidak mampu menjalankan puasa, ia sesungguhnya sedang menegaskan nilai-nilai tanggung jawab yang melekat dalam ajaran Islam. Ia sadar bahwa meskipun tubuhnya tak mampu berpuasa, ruh dan akalnya tetap terlibat aktif dalam upaya mengimplementasikan nilai ibadah secara sosial. Kesadaran ini menjadi titik penting dalam memahami bahwa ibadah tidak hanya berada dalam tataran personal, melainkan juga menyentuh sisi kolektif dan sosial.
Tindakan membayar fidyah merupakan bentuk tanggung jawab moral terhadap komunitas. Dalam tradisi Islam, setiap individu memiliki peran dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang seimbang dan harmonis. Ketika seseorang mengganti puasanya dengan memberi makan orang miskin, ia berkontribusi langsung pada pemenuhan hak-hak dasar sesama manusia. Ini adalah pengamalan konkret dari prinsip Islam bahwa setiap harta, waktu, dan kemampuan yang dimiliki seorang Muslim harus dapat memberikan manfaat bagi orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.
Fidyah juga memperlihatkan bahwa Islam menolak bentuk ibadah yang bersifat egoistik dan eksklusif. Islam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk mencari keselamatan individual di akhirat, melainkan juga mendorong terciptanya kehidupan dunia yang adil dan penuh kasih. Dalam hal ini, fidyah menjadi media untuk mengintegrasikan kepentingan individu dengan kebutuhan sosial. Ibadah tidak boleh menjadi tameng untuk mengabaikan penderitaan orang lain, justru harus menjadi pintu masuk bagi tumbuhnya empati dan solidaritas.
Seseorang yang membayar fidyah dengan penuh kesadaran spiritual telah melampaui sekadar ketaatan formal kepada syariat. Ia sedang membentuk kepribadian yang bertanggung jawab dan peka terhadap realitas sosial di sekitarnya. Fidyah bukan hanya soal membayar sejumlah uang atau makanan kepada fakir miskin, melainkan tentang membangun ikatan sosial yang erat dan memperkuat fondasi kebersamaan di tengah masyarakat. Melalui ibadah ini, umat Islam dilatih untuk tidak abai terhadap ketimpangan dan kelaparan yang masih banyak dijumpai di lingkungan sekitar.
Dalam konteks ini, fidyah menjadi bentuk konkret dari keadilan sosial yang diajarkan dalam Islam. Ia membuka peluang bagi semua orang, termasuk yang secara fisik lemah, untuk tetap aktif berkontribusi pada kesejahteraan bersama. Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk merasa terpinggirkan dalam amal kebajikan hanya karena keterbatasan fisik. Allah, melalui syariat-Nya, memberikan ruang luas untuk tetap beribadah secara sosial dan moral, sehingga semua orang memiliki kesempatan yang setara untuk memperoleh ridha-Nya.
Lebih dari itu, fidyah juga menyadarkan umat Islam akan pentingnya pemenuhan hak-hak dasar manusia, seperti makanan dan keamanan hidup. Dalam masyarakat modern yang kompleks, bentuk-bentuk kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap pangan masih menjadi persoalan besar. Fidyah menjadi salah satu cara untuk membumikan ajaran Islam secara praktis dan menjawab kebutuhan mendesak masyarakat yang terpinggirkan. Dengan demikian, fidyah bukan sekadar pelengkap ibadah puasa, tetapi bagian dari sistem Islam yang berorientasi pada keadilan sosial.
Nilai universal dari fidyah sejalan dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu tujuan syariat Islam yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal ini, fidyah berperan dalam melindungi jiwa dan kehidupan orang-orang miskin dengan memberikan akses terhadap kebutuhan paling dasar. Praktik ini menjadi contoh nyata bagaimana ajaran agama bisa bertransformasi menjadi instrumen sosial yang menyelamatkan dan memberdayakan. Fidyah memperlihatkan bahwa spiritualitas Islam tidak berhenti pada relasi vertikal dengan Tuhan, tetapi harus menemukan bentuk nyatanya dalam relasi horizontal dengan sesama.
Makna empati dalam konsep fidyah begitu dalam dan menyentuh sisi kemanusiaan dari ibadah. Fidyah bukan hanya menggantikan puasa yang tidak bisa dilakukan karena alasan tertentu, tetapi menjadi sebuah jembatan batin antara si pemberi dan penerima. Ketika seseorang dengan penuh kesadaran memberikan makanan kepada orang miskin sebagai bentuk fidyah, ia sesungguhnya sedang melakukan refleksi batin—mengenali keterbatasan dirinya, sekaligus membuka mata terhadap keterbatasan orang lain. Dalam proses ini, ibadah yang awalnya bersifat individual berubah menjadi aksi sosial yang sarat dengan nilai kasih sayang.
Empati yang dibangun dari praktik fidyah bukan hadir secara instan, melainkan melalui pemahaman yang mendalam atas penderitaan orang lain. Seseorang yang merogoh kantongnya untuk memberi makan orang miskin, diiringi dengan kesadaran spiritual, akan mulai membayangkan kehidupan mereka yang serba kekurangan. Ia mungkin mulai merenung tentang bagaimana rasanya berpuasa bukan karena perintah agama, tetapi karena memang tidak ada makanan yang bisa dikonsumsi. Inilah titik awal tumbuhnya empati sejati: merasakan yang tak dialami langsung, namun dipahami melalui hati dan keikhlasan.
Dalam masyarakat yang semakin individualistis, kehadiran nilai empati menjadi sesuatu yang sangat penting. Fidyah memberi ruang bagi umat Islam untuk kembali melihat dan merasakan kebutuhan sesama. Ia menumbuhkan kepekaan sosial, mendorong seseorang untuk tidak menutup mata dari kenyataan bahwa masih banyak orang yang hidup dalam keterbatasan. Melalui tindakan kecil memberi makan, hati yang keras bisa menjadi lunak, dan sikap egois perlahan terkikis. Inilah kekuatan spiritual fidyah yang tidak hanya menyentuh langit, tetapi juga membumi.
Lebih dari itu, fidyah memperkenalkan cara baru dalam menjalani ibadah yang tidak melulu tentang diri sendiri. Fidyah menempatkan orang lain sebagai bagian dari proses penyucian jiwa. Ketika seseorang merasa terhubung secara emosional dengan penerima fidyah, ia akan lebih mudah untuk merendahkan hati dan menghargai nikmat yang selama ini diterima. Tidak jarang, momen ini menjadi titik balik dalam kehidupan spiritual seseorang—membuka jalan menuju kepedulian yang lebih luas terhadap berbagai permasalahan sosial.
Selain itu, praktik fidyah mengajarkan bahwa kebaikan tidak harus menunggu momen besar atau kemampuan luar biasa. Memberi makan seorang miskin mungkin terdengar sederhana, tetapi dampaknya bisa sangat besar—baik bagi penerima yang merasa dihargai, maupun bagi pemberi yang mendapatkan pelajaran berharga tentang empati. Ini menjadi pembelajaran penting bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk peduli, walau hanya dengan satu piring makanan, karena dari sanalah hubungan antarhati manusia terbangun.
Empati yang tumbuh dari fidyah juga dapat menjadi energi kolektif bagi perbaikan masyarakat. Ketika semakin banyak individu yang menyadari dan merasakan penderitaan sesama, maka akan tumbuh budaya tolong-menolong dan saling menguatkan. Fidyah yang dilakukan dengan niat yang tulus akan memancarkan semangat solidaritas sosial yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Maka, fidyah bukan hanya ibadah, melainkan juga cara membangun masyarakat yang saling peduli dan menghargai kehidupan.
Bukan hanya kepada yang miskin, makna empati yang terkandung dalam fidyah juga berdampak pada cara seseorang memandang kehidupan secara umum. Ia akan lebih mampu menghargai keberagaman kondisi manusia, lebih lapang menerima kekurangan orang lain, dan lebih sabar dalam menghadapi perbedaan. Fidyah menjadi pengingat bahwa setiap manusia punya kelemahan dan butuh bantuan, dan dari sanalah semangat saling memahami dan mendukung tumbuh dengan lebih tulus.
Kepedulian dalam praktik fidyah bukanlah sekadar pelengkap ibadah, melainkan esensi yang menyatu dalam nilai-nilai spiritual Islam. Di tengah masyarakat modern yang semakin tertutup dalam kepentingan pribadi, fidyah menjadi seruan moral agar umat Islam membuka mata dan hati terhadap realitas sosial di sekitarnya. Ia menjadi panggilan untuk menengok ke luar dari zona nyaman, memperhatikan mereka yang hidup dalam kekurangan, dan menumbuhkan kepedulian yang nyata melalui tindakan memberi makan. Kepedulian dalam konteks ini adalah bentuk kasih sayang yang berwujud konkret, bukan sekadar perasaan simpatik tanpa aksi.
Ketika seseorang membayar fidyah, ia diharuskan mencari orang yang benar-benar membutuhkan bantuan. Proses ini tidak selalu mudah, karena memerlukan niat yang tulus, informasi yang tepat, dan kehendak untuk turun langsung menyentuh realitas kehidupan orang miskin. Dalam hal ini, fidyah menjadi medium penting yang mendorong terjadinya interaksi antara lapisan masyarakat yang berbeda. Interaksi ini bukan hanya menurunkan jarak sosial, tetapi juga menumbuhkan rasa saling memahami. Kepedulian yang hadir pun menjadi lebih bermakna, karena lahir dari perjumpaan nyata antara kebutuhan dan kemampuan, antara pemberi dan penerima.
Di era digital dan urbanisasi seperti sekarang, banyak orang semakin asing terhadap lingkungan sosialnya sendiri. Fidyah justru menghadirkan kembali ruang-ruang kemanusiaan yang autentik, di mana empati diterjemahkan dalam tindakan nyata. Memberi makan orang miskin tidak hanya memenuhi kewajiban ibadah, melainkan juga membangun jembatan emosional dan spiritual dengan kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Melalui fidyah, Islam mengajarkan bahwa kepedulian bukan pilihan, tetapi keniscayaan dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan sosial.
Bentuk kepedulian yang diwujudkan dalam fidyah memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar konsumsi sesaat. Di balik sepotong makanan yang diberikan, terdapat pesan bahwa umat Islam memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Kemiskinan struktural bukanlah masalah satu-dua individu, tetapi buah dari sistem sosial yang tidak merata dan adil. Maka, fidyah bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban personal, tetapi juga menjadi kontribusi kecil namun signifikan dalam mengurangi kesenjangan ekonomi. Ia adalah bukti bahwa Islam tidak membiarkan umatnya hidup dalam ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain.
Kepedulian dalam fidyah juga menunjukkan bahwa dalam Islam, ibadah tidak bersifat eksklusif atau elitistik. Fidyah membuka peluang bagi mereka yang tidak mampu berpuasa untuk tetap mendapat pahala dan keberkahan melalui keterlibatan sosial. Dengan memberi makan, seorang Muslim membuktikan bahwa ia tetap bisa memberi manfaat meskipun tidak menjalankan ibadah puasa secara langsung. Ini menegaskan bahwa dalam Islam, nilai ibadah sangat terkait dengan kebermanfaatan kepada orang lain. Fidyah mengajarkan bahwa setiap individu, dalam kondisi apapun, tetap memiliki peran sosial yang penting.
Lebih dari itu, praktik fidyah bisa menjadi pintu masuk untuk membangun solidaritas jangka panjang. Ketika seseorang mulai terbiasa memberi dan peduli melalui fidyah, besar kemungkinan kepedulian itu akan berkembang menjadi keterlibatan yang lebih luas: mendukung program sosial, terlibat dalam kegiatan kemanusiaan, atau bahkan menjadi bagian dari solusi struktural atas kemiskinan dan ketimpangan. Fidyah yang dilakukan dengan niat ikhlas dan pemahaman mendalam bisa mengubah cara pandang seseorang terhadap peran sosialnya sebagai Muslim dalam masyarakat.
Kepedulian yang lahir dari fidyah juga mengandung nilai edukatif yang tinggi, terutama bagi generasi muda. Ketika anak-anak dan remaja melihat orang tuanya menjalankan fidyah dengan penuh tanggung jawab sosial, mereka akan belajar bahwa agama bukan sekadar ritual, melainkan juga aksi nyata untuk menolong sesama. Pendidikan melalui keteladanan ini akan melahirkan generasi yang lebih peduli, lebih peka terhadap isu-isu sosial, dan lebih siap menjadi agen perubahan di masa depan. Dalam hal ini, fidyah berfungsi sebagai sarana pembentukan karakter sosial yang kuat.
Di era modern ini, pelaksanaan fidyah mengalami evolusi yang signifikan, menyesuaikan diri dengan dinamika sosial, teknologi, dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Jika dahulu fidyah disalurkan secara langsung oleh individu kepada orang miskin di sekitarnya, kini banyak lembaga zakat dan organisasi sosial Islam yang hadir sebagai perantara yang profesional dan terstruktur. Lembaga-lembaga ini tidak hanya menjamin keabsahan penyaluran fidyah secara syar’i, tetapi juga memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar sampai kepada pihak yang tepat. Hal ini menjadi bukti bahwa nilai sosial fidyah tetap dipertahankan, bahkan diperluas cakupannya.
Transformasi ini mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang adaptif, yang mampu merespons perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi ajarannya. Meskipun bentuk penyaluran fidyah berubah, semangat ibadah, empati, dan kepedulian yang menjadi ruh dari fidyah tetap dijaga dengan baik. Melalui sistem yang transparan dan akuntabel, masyarakat kini lebih percaya untuk menyalurkan fidyah melalui lembaga-lembaga resmi. Hal ini juga menjadi bagian dari literasi keagamaan dan sosial yang penting, karena umat Islam tidak hanya diajak untuk beribadah, tetapi juga memahami tanggung jawab sosialnya secara lebih luas dan terukur.
Perkembangan teknologi informasi turut mempercepat dan memperluas jangkauan penyaluran fidyah. Melalui platform digital, fidyah kini bisa disalurkan ke pelosok daerah yang sebelumnya sulit dijangkau. Aplikasi mobile, situs web resmi lembaga zakat, hingga kolaborasi dengan layanan keuangan digital memungkinkan setiap Muslim untuk menunaikan fidyah dengan mudah, cepat, dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk terlibat dalam praktik sosial Islam, tanpa terbatas oleh jarak geografis atau kesibukan waktu.
Lebih dari sekadar memenuhi kewajiban agama, fidyah di era modern juga menjadi bagian dari sistem bantuan kemanusiaan. Dalam situasi darurat seperti bencana alam, pandemi global, atau konflik sosial, dana fidyah yang terhimpun dapat segera dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak. Ini menjadikan fidyah sebagai instrumen sosial yang fleksibel dan relevan dalam konteks krisis. Bahkan, banyak lembaga kemanusiaan Islam telah memasukkan fidyah sebagai salah satu elemen pendanaan strategis dalam aksi-aksi tanggap darurat yang mereka lakukan.
Efektivitas fidyah dalam membantu masyarakat yang rentan menunjukkan bahwa ibadah ini bukan hanya berdampak secara individual, tetapi juga secara struktural. Ketika dana fidyah digunakan untuk membantu kelompok masyarakat yang mengalami kelaparan, kekurangan gizi, atau kehilangan mata pencaharian, maka fidyah telah memainkan peran dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dengan kata lain, fidyah memiliki potensi untuk menjadi bagian dari strategi pembangunan sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan, terutama jika dikelola dengan baik oleh lembaga-lembaga yang kompeten.
Di samping itu, keterlibatan masyarakat dalam program fidyah yang modern juga menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya solidaritas sosial. Masyarakat tidak hanya menjadi pelaksana ibadah secara individu, tetapi juga menjadi bagian dari sistem sosial yang saling terhubung dan saling menguatkan. Kesadaran ini penting dalam membangun budaya tolong-menolong dan empati yang mendalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fidyah menjadi bukti bahwa ibadah dalam Islam tidak bersifat eksklusif atau pasif, melainkan aktif dan produktif dalam kehidupan sosial.
Ke depan, fidyah bisa dikembangkan lebih jauh sebagai bentuk intervensi sosial yang terintegrasi dengan program-program pemberdayaan ekonomi. Alih-alih hanya memberi makanan siap santap, dana fidyah bisa diarahkan untuk mendukung pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha mikro, atau program nutrisi berkelanjutan untuk keluarga miskin. Dengan demikian, fidyah tidak hanya mengatasi kelaparan sesaat, tetapi juga mendorong kemandirian dan kesejahteraan jangka panjang. Ini akan memperkuat posisi fidyah sebagai instrumen sosial Islam yang visioner dan strategis.
Pemahaman masyarakat terhadap fidyah memang masih sering terbatas pada aspek fiqih yang bersifat teknis, seperti siapa yang wajib membayar fidyah, kapan dibayar, dan bagaimana cara membayarnya. Fokus pada dimensi legalistik ini tentu penting agar pelaksanaan fidyah sesuai dengan tuntunan syariah. Namun demikian, jika hanya berhenti di tataran fiqih semata, maka akan terlewatkan makna yang lebih mendalam dan luas dari fidyah itu sendiri. Padahal, di balik aturan-aturan tersebut terdapat pesan sosial dan spiritual yang sangat kuat, yang mencerminkan betapa Islam mengatur hidup manusia tidak hanya dalam hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama.
Jika dimaknai secara lebih luas, fidyah adalah bentuk nyata dari teologi sosial Islam. Ia mengajarkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah alasan untuk berhenti berbuat baik. Seseorang yang tidak mampu menjalankan puasa karena sakit menahun atau usia lanjut, tetap memiliki tanggung jawab sosial yang dapat ditunaikan melalui pemberian makanan kepada kaum dhuafa. Dengan demikian, fidyah menjadi mekanisme inklusif dalam Islam yang memungkinkan semua orang, tanpa memandang kondisi fisiknya, tetap berpartisipasi dalam proses spiritual dan sosial yang konstruktif.
Dalam konsep ini, fidyah menjadi cerminan dari kesetaraan dalam berbuat kebaikan. Setiap orang, dalam keadaan apapun, diberi kesempatan yang adil untuk berkontribusi bagi umat. Islam tidak memandang kondisi fisik sebagai penghalang mutlak dalam menjalankan ibadah. Justru dalam keterbatasan, terbuka peluang untuk menunjukkan ketulusan, komitmen, dan empati melalui cara yang berbeda. Ini menjadi pesan yang sangat relevan di tengah masyarakat yang masih cenderung mengabaikan kontribusi orang-orang dengan keterbatasan.
Lebih jauh lagi, fidyah juga merupakan bentuk perlawanan terhadap paradigma bahwa nilai seseorang hanya ditentukan oleh kekuatan fisik atau kemampuan ekonominya. Dalam Islam, nilai seseorang juga ditentukan oleh niat dan upaya untuk tetap berkontribusi dalam kebaikan meskipun berada dalam kondisi sulit. Fidyah adalah simbol bahwa manusia tetap dapat bermakna dan berguna meskipun dalam keterbatasan. Ia bukan hanya sekadar jalan keluar dari kewajiban puasa, tetapi juga media aktualisasi diri dalam ranah sosial dan spiritual.
Melalui fidyah, Islam mengajarkan bahwa kebaikan tidak selalu harus dalam bentuk besar dan mencolok. Memberi makan satu orang miskin pun adalah bentuk ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah. Prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menempatkan rasa empati dan kepedulian sebagai pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, orang yang membayar fidyah sejatinya sedang membangun jembatan kasih sayang antara dirinya dan masyarakat, antara ketulusan pribadi dan solidaritas sosial.
Realitas ini penting untuk terus disosialisasikan, agar umat Islam memahami bahwa fidyah bukan sekadar “pengganti puasa,” tetapi juga pernyataan iman yang hidup dalam tindakan. Masyarakat perlu diajak untuk melihat fidyah sebagai bagian dari strategi sosial Islam yang menyentuh akar kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan. Dalam pandangan ini, setiap Muslim—tak peduli kondisi fisiknya—didorong untuk menjadi agen perubahan, agen kasih sayang, dan agen keadilan sosial.
Pemahaman yang mendalam terhadap makna fidyah juga bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat semangat inklusi sosial dalam masyarakat. Saat orang menyadari bahwa setiap individu berhak dan mampu berkontribusi, maka masyarakat akan tumbuh menjadi lebih menghargai keragaman kondisi dan potensi. Ini menjadi langkah penting menuju masyarakat Islam yang tidak eksklusif atau diskriminatif, tetapi terbuka dan suportif terhadap semua lapisan umat.
Fidyah juga memiliki fungsi edukatif yang penting bagi masyarakat Muslim. Ia mengajarkan pentingnya tanggung jawab sosial, menguatkan jiwa sosial, dan membentuk kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis nilai karena dominasi materialisme dan konsumerisme, fidyah bisa menjadi media pendidikan spiritual yang menyadarkan umat bahwa ibadah bukan hanya urusan individu dengan Tuhan, tetapi juga menyangkut relasi sosial dan keseimbangan antar manusia. Dengan membayar fidyah, seorang Muslim belajar untuk tidak hanya mengukur dirinya dari capaian ibadah pribadi, tetapi juga dari sejauh mana ia mampu menjadi manfaat bagi sesama.
Makna sosial fidyah juga bisa dijadikan sebagai titik tolak dalam menyusun program-program pemberdayaan masyarakat. Lembaga zakat dan filantropi Islam dapat mengintegrasikan fidyah ke dalam skema jangka panjang untuk pengentasan kemiskinan. Misalnya, alih-alih hanya memberi makan dalam bentuk makanan siap saji, fidyah dapat diwujudkan dalam bentuk paket sembako yang lebih tahan lama, atau bahkan pelatihan keterampilan bagi keluarga miskin. Dengan pendekatan ini, fidyah tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga transformatif. Ia membantu bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga membuka jalan keluar dari kemiskinan untuk hari esok.
Perlu juga dipahami bahwa makna sosial fidyah sangat kontekstual dengan realitas umat Islam di berbagai daerah. Di kawasan urban, fidyah bisa menjadi sarana distribusi pangan ke wilayah kumuh atau komunitas marjinal. Sementara di wilayah rural, fidyah bisa digunakan untuk mendukung kebutuhan pangan jangka pendek bagi keluarga petani miskin atau buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Dalam konteks bencana, fidyah bisa menjadi respon cepat terhadap situasi darurat. Artinya, fidyah adalah ibadah yang sangat fleksibel namun tetap sakral, dan di tangan umat yang cerdas serta bertanggung jawab, ia bisa menjadi alat sosial yang sangat dahsyat dalam mengatasi ketimpangan sosial.
Pada akhirnya, fidyah adalah simbol dari kasih sayang dalam ajaran Islam. Ia mempertemukan sisi ilahiah dan insaniyah dalam satu tindakan yang sederhana namun bermakna: memberi makan kepada yang lapar. Ini bukan hanya tentang memenuhi kewajiban agama, tetapi tentang menanamkan kasih sayang dan perhatian dalam sistem kehidupan. Fidyah mengajarkan bahwa semua manusia, terlepas dari kondisi fisiknya, tetap bisa berkontribusi dalam membangun masyarakat yang penuh kasih dan gotong royong.
Dengan demikian, makna sosial di balik fidyah bukanlah sesuatu yang remeh. Ia adalah pelajaran tentang ibadah yang tidak mengasingkan manusia dari realitas sosialnya. Ia adalah ajakan untuk merasakan penderitaan orang lain, untuk hadir dalam kehidupan orang miskin, dan untuk mengubah diri dari hanya menjadi individu yang taat, menjadi individu yang peduli. Di bulan Ramadan, ketika spiritualitas umat Muslim sedang berada pada puncaknya, fidyah menjadi salah satu cerminan paling nyata dari semangat Islam: ibadah yang mencerahkan jiwa dan membebaskan manusia dari belenggu ketidakpedulian sosial.