ZAKAT FITRAH: TRADISI SUCI YANG MENYEMAI SOLIDARITAS UMAT

oleh -247 x dibaca

Oleh: Prof. Syaparuddin

Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah

____________________________________

ZAKAT fitrah merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim menjelang Idulfitri. Tradisi ini tidak hanya bersifat ritual, melainkan juga memiliki makna sosial yang sangat mendalam. Dalam Islam, zakat fitrah berfungsi sebagai penyucian jiwa dan sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama, terutama kepada kaum dhuafa yang membutuhkan. Pelaksanaan zakat fitrah menjadi simbol bahwa setiap individu Muslim turut bertanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan sosial di tengah masyarakatnya.

Tradisi zakat fitrah memang memiliki akar sejarah yang kokoh dalam perjalanan awal Islam. Rasulullah SAW menetapkannya pada tahun kedua Hijriah, bersamaan dengan kewajiban puasa Ramadan. Penetapan ini menunjukkan bahwa sejak awal, Islam telah memadukan antara ibadah spiritual dengan tanggung jawab sosial. Zakat fitrah bukan hanya bentuk kepatuhan terhadap perintah agama, tetapi juga merupakan cara konkret untuk membersihkan diri dari kekurangan selama berpuasa dan mempererat hubungan antarumat.

Lebih jauh lagi, zakat fitrah mencerminkan wajah Islam yang peduli terhadap kemanusiaan. Kewajiban ini ditujukan untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun anggota masyarakat Muslim yang merasa terabaikan atau ditinggalkan dalam kegembiraan Idulfitri. Dengan menyalurkan sebagian rezeki kepada yang membutuhkan, umat Islam diajak untuk menjadikan momen kemenangan setelah sebulan penuh menahan diri sebagai saat berbagi dan memperkuat solidaritas sosial. Nilai-nilai seperti empati, kasih sayang, dan kebersamaan menjadi inti dari praktik ini.

Dalam konteks keadilan sosial, zakat fitrah menghapus sekat antara si kaya dan si miskin. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan tidak layak dikonsumsi sendiri, tetapi harus dirasakan secara bersama-sama. Saat hari raya tiba, semua orang berhak merasakan kegembiraan, mengenakan pakaian terbaik, menikmati hidangan yang layak, dan berkumpul tanpa rasa minder karena keterbatasan ekonomi. Zakat fitrah menjadikan semua itu mungkin, dengan menciptakan sistem distribusi kesejahteraan yang adil dan berbasis nilai-nilai keimanan.

Keberadaan zakat fitrah juga menjadi pengingat bahwa dalam Islam, ibadah bukan hanya urusan pribadi antara hamba dan Tuhan, tetapi juga menyangkut relasi sosial yang harmonis. Islam mengajarkan bahwa spiritualitas yang sejati adalah yang berdampak positif pada sesama. Oleh karena itu, zakat fitrah menjadi salah satu mekanisme untuk memastikan bahwa aspek ibadah vertikal kepada Allah diiringi dengan kepedulian horizontal kepada manusia. Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara hablum minallah dan hablum minannas.

Di tengah zaman modern yang kerap menumbuhkan individualisme, makna zakat fitrah menjadi semakin relevan. Ia hadir sebagai pengingat akan pentingnya memperhatikan orang lain dan menjaga ikatan sosial dalam komunitas. Praktik zakat fitrah mengajarkan bahwa kekayaan bukan sekadar milik pribadi, tetapi ada hak orang lain di dalamnya. Dalam hal ini, zakat fitrah merupakan pendidikan sosial yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, untuk membentuk masyarakat yang saling mendukung dan peduli terhadap kondisi sesama.

Zakat fitrah secara tradisional dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, atau kurma, sesuai dengan kebiasaan makanan masyarakat setempat. Dalam konteks Indonesia, beras menjadi pilihan utama karena merupakan makanan pokok yang dikonsumsi mayoritas penduduk. Jumlah yang diberikan telah ditentukan oleh syariat, yaitu satu sha’ atau setara dengan 2,5 hingga 3 kilogram. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar penerima zakat dapat terpenuhi pada saat hari raya, terutama dalam hal konsumsi makanan yang layak.

Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial, zakat fitrah kini juga dapat dibayarkan dalam bentuk uang tunai yang nilainya setara dengan harga bahan pokok tersebut. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas dalam distribusi zakat dan memudahkan proses penyaluran oleh lembaga-lembaga zakat. Uang tunai memungkinkan penerima zakat untuk membeli kebutuhan lain yang dianggap lebih penting, sesuai kondisi masing-masing. Meskipun bentuknya berubah, tujuan utamanya tetap sama, yaitu memastikan bahwa kebahagiaan dan kemuliaan Idulfitri dapat dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.

Yang menjadi inti dari zakat fitrah bukanlah semata bentuk fisiknya, melainkan nilai dan esensi di balik pemberian tersebut. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari harta yang disimpan untuk diri sendiri, tetapi dari kerelaan untuk berbagi dengan sesama. Dengan memberikan zakat fitrah, seorang Muslim secara sadar melepaskan sebagian dari rezekinya untuk kebahagiaan orang lain. Ini adalah bentuk solidaritas nyata yang tidak hanya mempererat hubungan antarindividu, tetapi juga memperkuat struktur sosial umat.

Praktik zakat fitrah juga mencerminkan bagaimana Islam menghargai keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial. Tidak ada seorang pun yang boleh merasa sendirian dalam menghadapi hari raya, apalagi dalam kekurangan. Zakat fitrah menjadi jaminan bahwa mereka yang miskin pun dapat tersenyum, mengenakan pakaian terbaik, dan menikmati makanan enak saat merayakan Idulfitri. Kegembiraan ini bukan hadiah, tetapi hak yang diperjuangkan oleh Islam agar masyarakat Muslim saling menopang dan tidak membiarkan satu sama lain terpinggirkan.

BACA JUGA:  BAHASA INDONESIA DALAM SPEKTRUM GLOBALISASI DAN REVOLUSI INDUSTRI 5.0

Dalam konteks modern, ketika kesenjangan ekonomi semakin terasa dan gaya hidup konsumtif makin mengemuka, zakat fitrah hadir sebagai penyeimbang yang mengingatkan umat pada pentingnya berbagi. Islam tidak menentang kekayaan, tetapi menegaskan bahwa di dalam harta orang berpunya terdapat hak orang miskin. Dengan demikian, zakat fitrah adalah bentuk tanggung jawab sosial yang ditanamkan dalam hati setiap Muslim agar tidak menjadi makhluk individualis yang abai terhadap lingkungan sosialnya.

Zakat fitrah dalam masyarakat Muslim tidak hanya dipandang sebagai kewajiban ibadah yang bersifat personal, melainkan telah menjelma menjadi tradisi sosial yang hidup dan dinantikan setiap menjelang Idulfitri. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan dan budaya umat Islam, di mana setiap individu merasa terlibat dalam sebuah gerakan kolektif yang menyatukan kepedulian dan kebaikan. Tradisi ini berlangsung dari generasi ke generasi, dengan semangat yang tetap terjaga bahwa zakat fitrah adalah sarana untuk membersihkan diri sekaligus meringankan beban sesama.

Di berbagai wilayah, pelaksanaan zakat fitrah dilakukan secara kolektif, biasanya melalui masjid, musholla, maupun lembaga amil zakat yang telah terbentuk di lingkungan masyarakat. Pendekatan ini membuat pengumpulan dan distribusi zakat menjadi lebih sistematis dan merata. Para amil yang telah dipercaya menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan transparansi, memastikan bahwa zakat yang dikumpulkan dapat sampai kepada golongan yang benar-benar membutuhkan. Dengan demikian, zakat tidak hanya menjadi kewajiban spiritual, tetapi juga sistem sosial yang dikelola secara profesional dan adil.

Kolektivitas dalam pengelolaan zakat fitrah menciptakan efek domino dalam kehidupan sosial masyarakat. Tidak hanya penerima manfaat yang merasakan langsung dampaknya, tetapi juga para pemberi zakat yang mendapatkan kepuasan batin karena telah menjadi bagian dari gerakan solidaritas ini. Rasa saling peduli semakin tumbuh karena zakat fitrah melibatkan interaksi antarwarga, memperkuat ikatan sosial, dan menghadirkan rasa saling memiliki di antara mereka. Setiap keluarga yang membayar zakat merasa menjadi bagian dari komunitas yang berdaya dan peduli.

Kepercayaan masyarakat terhadap institusi keagamaan seperti masjid dan lembaga zakat semakin tumbuh seiring keberhasilan mereka dalam mengelola zakat dengan baik. Hal ini penting dalam membangun struktur sosial yang sehat, karena lembaga-lembaga tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga menjalankan peran penting dalam pemberdayaan umat dan pengentasan kemiskinan. Masjid dan lembaga zakat yang aktif dalam pengelolaan zakat fitrah menjadi pusat kehidupan sosial yang dinamis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Tradisi kolektif zakat fitrah ini juga mencerminkan semangat gotong royong dan tolong-menolong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Melalui sistem ini, umat Islam diajarkan untuk tidak hanya beribadah secara individual, tetapi juga menyadari pentingnya berkontribusi terhadap kebaikan bersama. Momentum menjelang Idulfitri pun menjadi saat yang sangat bermakna, bukan hanya sebagai perayaan spiritual, tetapi juga sebagai simbol nyata kebersamaan dan perhatian terhadap sesama, khususnya mereka yang hidup dalam keterbatasan.

Zakat fitrah memainkan peran penting sebagai jembatan penghubung antara kelompok masyarakat yang hidup berkecukupan dan mereka yang berada dalam keterbatasan. Di tengah kehidupan sosial yang sering kali dipisahkan oleh garis-garis status ekonomi, zakat fitrah hadir untuk meruntuhkan sekat-sekat tersebut. Ia menciptakan ruang bagi dialog batin dan pertemuan nurani antara si kaya dan si miskin, bukan dalam hubungan yang timpang, melainkan dalam semangat kesetaraan dan penghargaan atas martabat manusia. Zakat fitrah membentuk kesadaran bahwa rezeki yang dimiliki oleh seseorang tidak sepenuhnya miliknya, tetapi di dalamnya ada hak orang lain yang harus ditunaikan.

Menjelang Idulfitri, nuansa sosial masyarakat Muslim berubah menjadi lebih hangat dan penuh perhatian. Zakat fitrah menjadi simbol empati yang konkret, di mana yang mampu tidak hanya memberi dari harta, tetapi juga dari hati. Proses pemberian zakat ini dilakukan dengan rasa tanggung jawab dan kerendahan hati, tanpa menunjukkan superioritas. Sementara itu, mereka yang menerima zakat fitrah tidak diletakkan pada posisi yang merendahkan, karena Islam menetapkan bahwa menerima zakat adalah hak yang sah, bukan sekadar menerima belas kasihan. Ini adalah sistem sosial Islam yang menjunjung tinggi kehormatan setiap insan.

Zakat fitrah juga mengandung pesan moral yang kuat bagi para pemberinya. Mereka diingatkan bahwa keberlimpahan materi adalah amanah yang harus dijaga dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Dengan menunaikan zakat fitrah, seorang Muslim membuktikan bahwa keimanannya tidak hanya tercermin dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam tindakan sosial. Ia memahami bahwa tanggung jawab spiritual tidak berhenti di atas sajadah, melainkan harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ini adalah bentuk keimanan yang hidup dan berdampak nyata.

Dalam hubungan ini, zakat fitrah bukan sekadar aktivitas filantropi yang bersifat temporer, tetapi merupakan instrumen penting dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Ia menyatukan dua sisi masyarakat dalam satu peristiwa suci yang penuh makna. Momentum ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan hari raya seharusnya dirasakan bersama, dan bahwa solidaritas sosial harus menjadi bagian dari cara hidup umat Islam. Dengan begitu, zakat fitrah tidak hanya menyucikan jiwa individu, tetapi juga menyucikan struktur sosial yang mungkin tercemar oleh ketimpangan dan ketidakpedulian.

BACA JUGA:  SUKSESI KEPALA DAERAH DALAM PERSPEKTIF AKADEMISI DAN AGAMA

Keindahan zakat fitrah terletak pada cara Islam memanusiakan manusia dalam relasi sosialnya. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah dalam proses ini, karena yang memberi dan menerima sama-sama berada dalam bingkai ibadah dan ketaatan kepada Tuhan. Bahkan, ada kebahagiaan yang dalam bagi si pemberi ketika ia melihat senyum di wajah orang yang dibantunya. Sementara si penerima pun merasakan kelegaan, bukan karena menerima sedekah, tetapi karena mendapatkan hak yang telah dijanjikan oleh agama untuknya. Di sinilah zakat fitrah menjadi perekat yang memperkuat ukhuwah dan menyuburkan kasih sayang dalam kehidupan sosial.

Makna spiritual dari zakat fitrah sangat mendalam karena ia tidak hanya berfungsi sebagai instrumen sosial, tetapi juga sebagai penyempurna ibadah yang telah dijalankan selama bulan Ramadhan. Ketika seorang Muslim menjalankan puasa, tidak selalu semua amal dan perilaku berada dalam kesempurnaan, dan di sinilah zakat fitrah hadir untuk membersihkan kekurangan atau kekhilafan yang mungkin terjadi selama berpuasa. Ia menjadi bentuk taubat yang tersirat, pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak luput dari salah, dan bahwa kesucian hati harus diraih melalui keikhlasan berbagi. Dalam konteks ini, zakat fitrah bukan hanya ritual, tetapi perjalanan batin menuju kesempurnaan spiritual.

Zakat fitrah juga menjadi simbol penyucian diri yang nyata, karena ia dilakukan dalam kondisi suci, menjelang hari raya Idulfitri yang sendiri bermakna kembali kepada kesucian. Memberi kepada sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan, merupakan ekspresi dari jiwa yang telah dilatih menahan hawa nafsu, mengasah kesabaran, dan menumbuhkan empati selama Ramadhan. Oleh karena itu, zakat fitrah menjadi penutup yang agung bagi ibadah puasa: ia mengalirkan manfaat bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Dalam memberi, seorang Muslim seakan mengumumkan bahwa puasanya tidak hanya untuk menahan lapar, tetapi juga untuk membebaskan diri dari ego dan keangkuhan.

Dalam dimensi batiniah, zakat fitrah juga membentuk karakter yang lebih peduli dan rendah hati. Ketika seseorang merelakan sebagian dari hartanya untuk orang lain, ia sedang melatih hatinya agar tidak dikuasai oleh kecintaan pada dunia. Praktik ini adalah langkah konkret dalam membumikan nilai zuhud dan kesederhanaan, yang seringkali hanya menjadi konsep dalam ajaran. Zakat fitrah menjadikan ajaran itu hidup dan terasa, karena langsung menyentuh realitas sosial dan emosi personal. Keikhlasan yang mengiringi zakat fitrah mencerminkan bahwa seseorang telah mencapai derajat spiritual yang lebih tinggi, yakni kepedulian tanpa pamrih.

Memberikan zakat fitrah juga menanamkan rasa syukur yang mendalam atas nikmat yang telah diterima selama Ramadhan. Setelah satu bulan penuh dilatih dalam kekhusyukan dan pengendalian diri, seseorang tidak menutup ibadahnya dengan kebanggaan, melainkan dengan kerendahan hati melalui zakat. Ia sadar bahwa kebahagiaan tidak sempurna jika tidak dibagikan, dan keberhasilan spiritual akan kehilangan makna jika tidak berdampak pada sesama. Dalam momen itulah, zakat fitrah menjadi ekspresi kasih sayang dan pengakuan bahwa semua manusia memiliki hak untuk bergembira dan hidup layak.

Di balik kesederhanaannya, zakat fitrah membawa pesan bahwa spiritualitas sejati bukanlah pelarian dari dunia, melainkan keterlibatan aktif dalam memperbaikinya. Dengan membayar zakat, seseorang menunjukkan bahwa ia bukan hanya peduli terhadap hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama manusia. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial. Zakat fitrah menjadi perwujudan nilai-nilai itu, membumikan spiritualitas dalam bentuk yang paling sederhana namun paling bermakna: memberi dengan tulus.

Solidaritas yang tumbuh melalui zakat fitrah bukan sekadar momen tahunan yang berlangsung sesaat menjelang Idulfitri. Ia adalah pancaran nilai luhur Islam yang mengakar dalam kesadaran kolektif umat untuk saling membantu dan meringankan beban sesama. Ketika seorang Muslim menyisihkan sebagian dari hartanya untuk mereka yang membutuhkan, yang terjadi bukan hanya transfer materi, tetapi juga pertukaran makna: bahwa dalam kebahagiaan, tak seharusnya ada yang tertinggal. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial dan menanamkan rasa tanggung jawab antaranggota masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.

Zakat fitrah yang dilakukan secara konsisten dapat menjadi pondasi penting bagi terbentuknya masyarakat yang lebih adil. Ia membongkar sekat antara si kaya dan si miskin, dan mempertemukan mereka dalam satu ruang empati yang sama. Dalam tatanan sosial yang sering kali timpang, kehadiran zakat fitrah mampu mengurangi ketegangan dan menciptakan keharmonisan, karena ada pengakuan atas hak orang lain dalam rezeki yang dimiliki. Dengan demikian, zakat fitrah bukan sekadar simbol kedermawanan, melainkan sistem yang membawa visi keadilan dalam praktik nyata kehidupan umat Islam.

BACA JUGA:  Bank Sampah Syariah: Solusi Cerdas Menabung dan Menghasilkan Uang

Lebih jauh, jika semangat zakat fitrah terus dipelihara sepanjang tahun, ia bisa menjadi pemantik bagi lahirnya gerakan sosial yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Konsep memberi ini dapat meluas menjadi inisiatif pengentasan kemiskinan yang sistematis, mendorong umat untuk berpikir lebih jauh dari sekadar memberi dalam bentuk konsumsi sesaat. Melalui kolaborasi dengan lembaga zakat, filantropi Islam dapat dikembangkan untuk membiayai program pemberdayaan, pelatihan keterampilan, pembukaan lapangan kerja, dan pengembangan usaha mikro. Dalam konteks ini, zakat fitrah menjadi gerbang menuju ekonomi umat yang tangguh dan berkeadilan.

Penguatan ekonomi umat yang dimulai dari semangat zakat fitrah bukanlah sebuah utopia, melainkan visi yang sangat mungkin diwujudkan ketika umat bersatu dalam semangat berbagi. Islam sejak awal mengajarkan pentingnya keadilan distribusi kekayaan sebagai jalan menuju masyarakat yang sejahtera. Zakat fitrah menjadi instrumen awal yang sangat strategis karena ia menyentuh seluruh lapisan umat, tanpa kecuali. Ia mengajarkan bahwa pembangunan sosial tidak hanya bertumpu pada kekuatan negara, tetapi juga pada kesadaran spiritual individu untuk turut berkontribusi bagi kebaikan bersama.

Dalam kehidupan modern yang semakin individualistik, zakat fitrah hadir sebagai penyeimbang moral. Ia mengingatkan bahwa hakikat kehidupan bukanlah sekadar mengejar kepuasan pribadi, tetapi juga membangun dunia yang lebih manusiawi dan penuh kasih. Ketika seseorang dengan sadar menunaikan zakat fitrah, ia sedang membangun sebuah peradaban—peradaban solidaritas yang mengutamakan keadilan, kasih sayang, dan kepedulian. Inilah fondasi sejati dari masyarakat Islam yang inklusif, di mana setiap individu merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan saudaranya.

Zakat fitrah adalah salah satu contoh nyata bagaimana ajaran Islam tidak hanya relevan dalam ranah spiritual, tetapi juga memiliki daya jawab yang kuat terhadap permasalahan sosial. Dalam konteks modern yang penuh tantangan, zakat fitrah menawarkan solusi konkrit untuk mengatasi ketimpangan sosial dan memperkuat jalinan antaranggota masyarakat. Ia menjadi instrumen penting yang menunjukkan bahwa nilai-nilai keislaman tidak statis, melainkan adaptif terhadap perubahan zaman. Ketika dikelola secara profesional dan berlandaskan prinsip keadilan, zakat fitrah mampu menghadirkan harapan baru bagi masyarakat yang rentan dan tertinggal.

Keunggulan zakat fitrah terletak pada kesederhanaan konsepnya namun besar dampaknya. Sistem distribusi yang berbasis komunitas melalui masjid atau lembaga zakat menjadikannya efektif dalam menjangkau kalangan yang membutuhkan. Dalam era di mana masalah sosial kian kompleks dan berlapis, zakat fitrah hadir sebagai bentuk intervensi sosial yang langsung dan tepat sasaran. Ketika dikelola dengan transparan dan akuntabel, zakat fitrah tidak hanya memperkuat kepercayaan umat terhadap institusi keagamaan, tetapi juga memperlihatkan bahwa Islam memiliki instrumen-instrumen sosial yang dapat diperhitungkan dalam konteks pembangunan nasional maupun global.

Zakat fitrah juga merepresentasikan semangat kolaborasi yang sangat relevan di era modern. Ketika individu dari berbagai latar belakang ekonomi ikut berkontribusi dalam satu gerakan sosial, maka terciptalah sinergi yang mampu membangun kohesi sosial. Hal ini menjadi semakin penting dalam masyarakat global yang menghadapi tantangan disintegrasi, kesenjangan, dan isolasi sosial. Islam melalui zakat fitrah menunjukkan bahwa solidaritas sosial bukanlah mimpi utopis, tetapi sesuatu yang bisa dicapai melalui sistem yang terencana, didukung oleh partisipasi aktif umat dan pengelolaan yang profesional.

Selain itu, zakat fitrah juga mengandung dimensi keberlanjutan, baik dari sisi spiritual maupun sosial. Ia bukan sekadar respon sesaat terhadap kebutuhan mendesak, tetapi cerminan dari tanggung jawab jangka panjang untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan. Jika dikembangkan lebih lanjut dengan strategi manajerial dan pendekatan teknologi, zakat fitrah bahkan dapat diintegrasikan dalam kebijakan publik untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Dalam konteks ini, zakat fitrah menjadi pilar penting dalam ekosistem pembangunan sosial Islam yang berorientasi masa depan.

Adaptabilitas zakat fitrah terhadap perkembangan zaman juga menunjukkan fleksibilitas syariat Islam dalam menjawab kebutuhan manusia sepanjang waktu. Ia tidak terjebak pada bentuk fisik semata, tetapi menekankan esensi dari keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, meskipun bentuk zakat fitrah dapat disesuaikan, seperti dalam bentuk uang di masa kini, substansi dari zakat fitrah tetap terjaga: menghadirkan keadilan sosial dan memberi ruang yang setara bagi setiap orang untuk merayakan kemenangan. Ini adalah cermin dari kebijaksanaan Islam yang tidak kaku, tetapi berakar kuat pada semangat kasih sayang dan kepekaan sosial.

Akhirnya, zakat fitrah bukan sekadar ritual tahunan, melainkan warisan spiritual dan sosial yang terus hidup dan memberi makna. Ia adalah cermin dari ajaran Islam yang holistik—yang menggabungkan antara ibadah vertikal kepada Allah dan kepedulian horizontal kepada sesama. Di tengah dunia yang penuh dengan ketimpangan, zakat fitrah hadir sebagai pengingat bahwa Islam selalu mengajarkan keseimbangan antara hak pribadi dan tanggung jawab sosial. Tradisi suci ini menyemai harapan, persaudaraan, dan solidaritas umat yang menjadi kekuatan utama dalam membangun peradaban yang mulia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.