OLEH DARWIS TAHANG, SH.,MH.,MM
PEGIAT PEMILU DAN DEMOKRASI
Kepolisian Negara Republik Indonesia memegang posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan. Fungsi ini secara tegas diteguhkan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menetapkan Polri sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi dan mengayomi warga, serta menegakkan hukum. Norma konstitusional ini menunjukkan bahwa Polri dirancang untuk menjadi institusi profesional yang bekerja sepenuhnya dalam domain keamanan publik, bebas dari tarik-menarik kepentingan politik dan administratif yang dapat mengganggu independensinya.
Detail pengaturan fungsi dan batas kewenangan Polri dituangkan lebih lanjut dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu ketentuan kunci adalah Pasal 28 ayat (3) yang mensyaratkan anggota Polri untuk mengundurkan diri atau pensiun apabila hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Namun, Penjelasan atas pasal tersebut menambahkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan Kapolri”. Secara akademik, kedudukan penjelasan undang-undang bukanlah sumber norma baru; ia hanya berfungsi menjelaskan maksud pasal. Jika sebuah penjelasan melahirkan norma mandiri, maka secara doktrin hukum ia dapat dianggap melampaui kewenangannya (ultra vires) dan bahkan void ab initio—batal demi hukum sejak awal karena menciptakan aturan yang tidak pernah dirumuskan oleh pembentuk undang-undang.
Frasa tambahan tersebut terbukti menciptakan ruang interpretasi yang menyimpang, memungkinkan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan statusnya. Ketidaktepatan penempatan norma inilah yang kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 114/PUU-XXIII/2025. Dalam amar putusannya, MK secara expressis verbis menyatakan bahwa frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini mengembalikan kemurnian norma sebagaimana dirumuskan oleh pembentuk undang-undang, sekaligus memperjelas batas konstitusional antara fungsi kepolisian dan jabatan administratif sipil.
Kedudukan putusan MK sebagai putusan final and binding sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menjadikan implikasinya bersifat otomatis sejak putusan diucapkan. Final berarti tidak tersedia upaya hukum apa pun; mengikat berarti berlaku serta-merta setelah palu diketok. Dengan hilangnya dasar hukum penugasan anggota Polri aktif dalam jabatan sipil, maka secara yuridis setiap penempatan yang masih berlangsung kehilangan legitimasi hukumnya. Menurut pandangan akademik saya, anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil wajib mundur, sebab landasan normatif yang membolehkan penugasannya telah gugur. Tidak logis jika suatu jabatan sipil dijalankan atas dasar norma yang telah dinyatakan inkonstitusional. Konsekuensi ini tidak bersifat retrospektif dalam menjatuhkan sanksi, tetapi bersifat prospektif dalam menghentikan keberlanjutan tindakan yang tidak lagi memiliki landasan hukum.
Lebih jauh, Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 memiliki relevansi penting dalam konteks kebijakan pemerintah yang sedang mendorong reformasi kelembagaan Polri. Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri adalah indikasi kuat bahwa negara sedang berupaya memperbaiki struktur, etika kelembagaan, serta profesionalitas kepolisian. Putusan MK ini justru sejalan dengan semangat reformasi tersebut: menegaskan kembali batas-batas konstitusional, mencegah tumpang tindih kewenangan, dan memastikan Polri berfokus pada tugas utamanya sebagai institusi penjaga keamanan publik. Dengan kata lain, koreksi konstitusional MK bukan semata-mata pembacaan hukum, melainkan kontribusi struktural terhadap agenda pembenahan Polri.
Dari perspektif ilmu hukum tata negara, putusan ini memperlihatkan fungsi korektif Mahkamah Konstitusi terhadap disharmoni norma, sekaligus memperkuat asas kepastian hukum dan netralitas aparatur negara. MK menempatkan kembali norma pada lokus yang tepat sehingga bangunan hukum tidak menghasilkan penyimpangan kewenangan atau perluasan fungsi yang tidak konstitusional. Tulisan ini melihat Putusan 114/PUU-XXIII/2025 bukan sekadar pembatalan frasa penjelasan, tetapi sebagai langkah akademik dan konstitusional yang penting dalam menjaga kemurnian desain kelembagaan negara.
Dengan demikian, putusan ini bukan hanya memperbaiki relasi antara kewenangan Polri dan jabatan sipil, tetapi sekaligus memperkuat arah reformasi kepolisian menuju institusi yang profesional, netral, dan sepenuhnya bekerja dalam koridor konstitusi.









