Oleh: Affandy
Wartawan Tribun Bone
Asap hitam masih mengepul di langit Rio de Janeiro. Dentum peluru bergema di antara dinding-dinding sempit favela yakni permukiman padat yang selama ini menjadi sarang geng narkoba terbesar di Brasil. Dalam operasi bersandi besar yang menarget jaringan Comando Vermelho, lebih dari seratus orang dilaporkan tewas. Pemerintah menyebutnya sebagai “kemenangan besar dalam perang melawan narkoba”. Namun, di balik euforia itu, tersisa pertanyaan mendasar: apakah kekerasan benar-benar menyelesaikan masalah?
Ketika Ketimpangan Menjadi Akar
Realitas di balik gemerlap Rio adalah kesenjangan yang mencolok. Di satu sisi, berdiri gedung pencakar langit dan pantai mewah Copacabana. Di sisi lain, favela yang padat dan miskin, tempat narkoba menjadi sumber ekonomi bayangan. Di kawasan inilah geng tumbuh, merekrut remaja-remaja tanpa harapan menjadi “tentara jalanan”.
Operasi bersenjata mungkin dapat memutus rantai pasok narkoba dalam hitungan hari. Namun, tanpa memperbaiki akar kemiskinan dan ketimpangan, lahan subur untuk tumbuhnya geng baru tetap ada. Perang ini akan terus berulang, dengan aktor dan nama berbeda, tapi dengan luka sosial yang sama.
Efektivitas yang Dipertanyakan
Pemerintah Brasil mengerahkan lebih dari 2.500 aparat polisi dan tentara, kendaraan lapis baja, serta helikopter tempur. Namun, pengalaman menunjukkan, setiap kali operasi besar digelar, geng-geng itu hanya berpindah tempat dan beradaptasi. Data kepolisian setempat mencatat, penurunan aktivitas perdagangan narkoba pasca operasi besar biasanya hanya berlangsung beberapa minggu.
Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah ukuran keberhasilan masih sebatas jumlah pelaku yang ditangkap atau tewas? Bukankah tujuan akhir dari perang melawan narkoba adalah menciptakan masyarakat yang aman dan manusiawi? Bila warga masih hidup dalam ketakutan, bila anak-anak di favela masih mendengar letusan senjata setiap malam, maka operasi sebesar apa pun hanyalah kemenangan semu.
Bayang-bayang Pelanggaran HAM
Laporan dari berbagai lembaga hak asasi manusia menyoroti adanya dugaan pelanggaran dalam operasi tersebut — mulai dari penembakan membabi buta, penggeledahan tanpa prosedur hukum, hingga hilangnya warga sipil yang tak terlibat. Ketika negara mengorbankan prinsip keadilan demi ambisi pemberantasan, maka perang melawan narkoba kehilangan makna moralnya. Yang tersisa hanyalah lingkaran kekerasan tanpa ujung.
Pelajaran untuk Dunia
Apa yang terjadi di Rio Rio de Janeiro, adalah cermin bagi banyak negara lain, termasuk Indonesia. Kita sering menggaungkan slogan “perang terhadap narkoba”, tetapi lupa bahwa narkoba bukan hanya masalah kriminal, melainkan juga masalah sosial dan ekonomi.
Tanpa strategi yang humanis dan berkeadilan, seperti rehabilitasi, pendidikan, pemberdayaan masyarakat miskin, dan penegakan hukum yang bersih maka “perang” ini hanya akan menambah korban.
Pemberantasan narkoba tidak bisa hanya diukur dengan angka penangkapan, melainkan dari seberapa banyak manusia berhasil diselamatkan dari lingkaran gelapnya peredaran narkoba.
Pelajaran bagi Indonesia
Indonesia juga sedang menjalani perang panjang melawan narkoba. Polisi dan BNN bekerja keras, tapi di sisi lain, penjara kita justru penuh oleh pengguna kecil.
Ironisnya, banyak dari mereka keluar penjara bukan sebagai orang yang sembuh, melainkan sebagai calon pengedar baru. Kita terlalu sibuk menghukum, dan lupa menyembuhkan. Terlalu sering menghancurkan, dan lupa membangun.
Kasus di Rio Rio de Janeiro, menunjukkan bahwa penindakan keras tanpa pendekatan sosial hanya menggeser masalah, bukan menyelesaikannya. Bila akar persoalan seperti kemiskinan, keluarga yang rapuh, dan pendidikan yang rendah tak disentuh, maka narkoba akan selalu menemukan jalan masuk ke rumah-rumah, seperti lingkungan padat penduduk dan ke hati yang kosong.
Cermin dari Rio Rio de Janeiro
Luka di Rio adalah kaca besar tempat kita bisa bercermin. Jika kita tak berhati-hati, Indonesia bisa mengikuti jejak yang sama: operasi demi operasi, tapi angka pengguna tetap naik, keluarga tetap hancur, dan kepercayaan terhadap hukum tetap goyah.
Yang kita butuhkan bukan perang yang lebih keras, tapi kebijakan yang lebih cerdas. Rehabilitasi harus dipandang sebagai penyembuhan, bukan kelemahan. Edukasi dan pencegahan harus jadi prioritas, bukan pelengkap.
Humanisme yang Hilang
Perang melawan narkoba seharusnya juga perang untuk memulihkan manusia. Pecandu bukan musuh, melainkan korban. Bandar bukan hanya pelaku kriminal, tapi juga produk dari lingkungan yang gagal membedakan nilai uang dan nilai kemanusiaan.
Kita bisa keras pada kejahatan, tapi jangan kehilangan belas kasih kepada manusia. Karena setiap tubuh yang jatuh, setiap nyawa yang hilang, adalah kegagalan bersama, bukan hanya aparat, tapi seluruh masyarakat yang menutup mata terhadap akar masalahnya.
. Harapan di Jalan Kemanusiaan
Perang melawan narkoba akan selalu menjadi ujian moral bagi bangsa ini, apakah kita memilih menghancurkan yang sakit, atau menyembuhkannya?
Apakah kita ingin dikenal sebagai negara yang menakuti, atau yang menyadarkan?
Luka di Rio de Janeiro mengajarkan bahwa peluru mungkin bisa membungkam geng atau Bandar narkoba, tapi tak pernah bisa memadamkan keputusasaan rakyat yang bertahan hidup dibawah bayang – bayang kemiskinan .
Hanya keadilan dan kemanusiaan yang mampu memutus rantai narkoba. Luka dari Rio de Janeiro adalah cermin bagi perang narkoba dinegeri kita Indonesia. Apakah langkah tersebut, bisa saja menjadi solusi atau terdapat alternative lain dalam memutus mata rantai peredaran narkoba yang juga makin marak dinegeri ini.






