MENEGUHKAN INTEGRITAS SPIRITUALITAS DI ERA DIGITAL: PESAN-PESAN MENAG NASARUDDIN UMAR PADA SILATURAHIM ALIM ULAMA’ THARIQAT KHALWATIYYAH SAMMAN

oleh -1,152 x dibaca
Penulis: Prof. Syaparuddin

Oleh: Prof. Syaparuddin, Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah

SILATURAHIM Alim Ulama’ Thariqat Khalwatiyyah Samman menjadi momentum penting ketika Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan refleksi mendalam tentang pentingnya integritas spiritualitas di tengah derasnya arus perubahan zaman. Acara tersebut tidak hanya mempertemukan para tokoh thariqat, tetapi juga menjadi ruang untuk memperkuat kembali kesadaran kolektif bahwa spiritualitas harus berakar pada fondasi keilmuan yang kuat. Dalam konteks ini, Menag menegaskan bahwa pemilihan guru ibadah bukan sekadar pilihan personal, melainkan sebuah keputusan fundamental yang menentukan arah keberagamaan umat.

Pesan utama Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan bahwa seorang guru ibadah tidak boleh dipilih sembarangan, melainkan harus memiliki sanad keilmuan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam tradisi Islam, sanad bukan sekadar garis penghubung antara murid dan guru, tetapi juga rantai emas yang menjamin kemurnian ilmu. Dengan sanad yang terjaga, ilmu agama dapat diwariskan secara autentik dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa kehilangan substansi maupun spirit aslinya.

Sanad keilmuan yang sahih menjadi tolok ukur otoritas seorang guru. Keilmuan agama tidak hanya diukur dari kefasihan dalam berbicara atau kepiawaian dalam retorika, melainkan dari legitimasi epistemologis yang diakui dalam tradisi keilmuan Islam. Guru ibadah yang memiliki sanad sejatinya adalah mereka yang tidak hanya memahami teks, tetapi juga mewarisi pemahaman mendalam dari para ulama yang lebih dahulu. Dengan demikian, otoritas keilmuan yang dimiliki bukan hasil klaim pribadi, melainkan legitimasi yang teruji oleh waktu dan komunitas ilmiah.

Hal ini sangat relevan di era modern ketika akses kepada informasi agama terbuka lebar melalui media digital. Banyak tokoh yang mengklaim dirinya sebagai guru agama, tetapi tidak memiliki akar sanad yang jelas. Fenomena ini menimbulkan kerancuan epistemologis yang berujung pada munculnya praktik keberagamaan yang menyimpang. Umat yang kurang kritis mudah terjebak dalam ajaran-ajaran yang tampak menarik di permukaan, namun rapuh secara keilmuan. Di sinilah urgensi sanad keilmuan tampil sebagai benteng untuk membedakan antara ajaran yang lurus dan penyimpangan.

Integritas spiritualitas, menurut Menag, bermula dari komitmen menjaga kesinambungan ilmu. Jika rantai sanad terputus, maka risiko besar adalah munculnya tafsir-tafsir liar yang berpotensi merusak tatanan keberagamaan. Kesinambungan ilmu bukan sekadar transmisi teks, tetapi juga transmisi etika, metodologi, dan kebijaksanaan yang menyertai setiap ajaran agama. Inilah yang membedakan seorang guru ibadah sejati dengan mereka yang sekadar tampil sebagai pengajar tanpa akar otoritas.

Lebih jauh, sanad keilmuan berfungsi sebagai mekanisme kontrol dalam tradisi Islam. Ia memastikan bahwa setiap ajaran yang disampaikan telah diuji dan dikoreksi oleh generasi ulama sebelumnya. Dengan cara ini, umat Islam memiliki jaminan epistemologis bahwa ilmu yang mereka pelajari adalah hasil akumulasi panjang dari tradisi intelektual, bukan kreasi instan yang belum teruji. Sanad juga menjadi pengingat bahwa agama bukan produk individual, melainkan warisan kolektif umat yang harus dijaga bersama.

Dalam konteks spiritualitas, sanad bukan hanya persoalan legitimasi formal, tetapi juga pembentukan karakter. Seorang murid yang belajar melalui sanad akan merasakan bagaimana nilai-nilai kesabaran, keikhlasan, dan ketekunan diwariskan bersamaan dengan ilmu. Sanad membentuk kepribadian spiritual yang tidak hanya memahami ajaran agama secara kognitif, tetapi juga menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Integritas spiritualitas, dengan demikian, adalah buah dari perjalanan panjang dalam rantai sanad.

Kritik utama terhadap fenomena kontemporer adalah ketika masyarakat lebih mudah terpikat oleh figur karismatik yang muncul di ruang digital tanpa menelusuri legitimasi sanad keilmuannya. Hal ini menciptakan kerentanan spiritual sekaligus sosial, karena ajaran tanpa sanad cenderung lepas dari konteks tradisi Islam yang moderat dan inklusif. Pesan Menag menjadi pengingat bahwa menjaga sanad bukan hanya urusan akademis para ulama, tetapi juga kewajiban moral umat untuk selektif dalam mencari guru ibadah.

Dalam era digital, pesan Menteri Agama Nasaruddin Umar menemukan relevansinya yang paling nyata. Teknologi informasi yang berkembang pesat menjadikan setiap individu memiliki akses tak terbatas terhadap berbagai sumber pengetahuan agama. Namun, akses yang luas ini tidak selalu menjamin kualitas kebenaran dari informasi yang diterima. Justru, arus informasi yang berlimpah seringkali menjadi paradoks: membuka pintu pencerahan sekaligus menyediakan ruang bagi lahirnya disinformasi dan ajaran sesat.

BACA JUGA:  SARAN UNTUK PEMANGKU KEPENTINGAN DI DAERAH: Membangun Karakter Wirausaha Masyarakat Berbasis Inovasi yang Bernilai

Perkembangan gawai sebagai medium komunikasi sehari-hari memperlihatkan bagaimana perangkat kecil ini bisa menjadi sarana ibadah maupun sumber fitnah. Di satu sisi, gawai memungkinkan umat mengakses kitab suci, ceramah, kajian, dan literatur keislaman dengan mudah. Tetapi di sisi lain, gawai juga menjadi pintu masuk bagi narasi provokatif, konten radikal, dan ajaran yang tidak bersandar pada sanad keilmuan. Ambivalensi ini menuntut kesadaran tinggi dari umat agar teknologi tetap menjadi instrumen kebaikan, bukan alat penyesatan.

Menag menekankan bahwa kesadaran spiritualitas adalah kunci dalam menyikapi teknologi. Tanpa kebijaksanaan, manusia mudah tergoda oleh informasi instan yang belum tentu benar. Disinformasi yang menyebar melalui dunia digital sering dikemas dengan bahasa persuasif dan retorika yang menarik, sehingga mudah menggiring emosi dan persepsi masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa persoalan utama bukan hanya pada konten yang salah, tetapi pada lemahnya daya kritis umat dalam menyaring kebenaran.

Dalam kerangka filosofis, fenomena ini bisa dipahami sebagai krisis epistemologi di era digital. Pengetahuan yang berlimpah tidak lagi diukur dari kualitas sanad atau otoritas, melainkan dari daya tarik narasi dan kecepatan penyebaran. Padahal, Islam menekankan bahwa ilmu harus bersandar pada kejelasan sumber dan kesinambungan otoritas. Dengan kata lain, teknologi telah menggeser orientasi pencarian ilmu dari proses panjang yang mendalam menjadi konsumsi cepat yang dangkal.

Kebijaksanaan dalam menyaring informasi menjadi syarat mutlak agar umat tidak terjerumus dalam provokasi yang merusak. Sikap selektif ini bukan hanya bagian dari literasi digital, tetapi juga manifestasi integritas spiritual. Seorang Muslim yang berintegritas akan menjadikan akal dan hati nuraninya sebagai filter terhadap setiap informasi. Dengan demikian, penguasaan teknologi bukan semata-mata kemampuan teknis, melainkan juga kesadaran etis dan spiritual yang menyertainya.

Selain itu, tantangan era digital menuntut adanya bimbingan dari ulama dan tokoh agama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Kehadiran ulama menjadi penting sebagai otoritas yang menafsirkan dan meluruskan berbagai narasi yang berseliweran di ruang maya. Tanpa bimbingan yang terstruktur, masyarakat mudah kehilangan arah dan terjebak dalam polarisasi keagamaan. Maka, kolaborasi antara otoritas keilmuan tradisional dan kecanggihan teknologi modern adalah strategi untuk menjaga keutuhan umat.

Lebih jauh, penggunaan gawai harus dipahami sebagai bagian dari amanah spiritual. Setiap klik, ketikan, dan unggahan memiliki konsekuensi moral yang bisa membangun atau merusak kehidupan bersama. Menag menegaskan bahwa umat tidak boleh menjadikan gawai sebagai instrumen fitnah atau permusuhan, karena hal itu akan merusak keutuhan sosial dan keberagamaan. Sebaliknya, gawai harus dikelola sebagai sarana dakwah, edukasi, dan penguatan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa fitnah yang lahir dari perkataan maupun tulisan di dunia maya bukanlah sekadar fenomena sepele, melainkan ancaman serius bagi harmoni sosial dan moral bangsa. Perkembangan teknologi komunikasi membuat kata-kata yang sebelumnya hanya bergaung dalam ruang terbatas kini dapat menyebar dengan cepat dan luas. Hal ini menjadikan fitnah sebagai bentuk kejahatan simbolik yang dampaknya jauh lebih dahsyat dibandingkan masa lalu.

Fitnah, dalam pandangan keagamaan, tidak hanya termasuk dalam dosa personal yang menodai jiwa individu, tetapi juga menjadi penyakit sosial yang menular. Sekali fitnah tersebar, ia mampu merusak tatanan kepercayaan dalam masyarakat, menimbulkan kecurigaan, bahkan menciptakan konflik horizontal. Oleh karena itu, fitnah bukan sekadar kesalahan moral individu, melainkan ancaman terhadap stabilitas kolektif yang menopang kehidupan bersama.

BACA JUGA:  Pendidikan Awal Kanak-Kanak: Mendukung Anak Pekerja Migran di Malaysia

Dari sudut pandang filosofis, fitnah dapat dipahami sebagai distorsi kebenaran. Ia memelintir realitas, menyamarkan fakta, dan menciptakan ilusi yang menyesatkan. Distorsi ini menghancurkan nilai luhur keagamaan yang sejatinya menempatkan kebenaran sebagai fondasi moral. Dalam Islam, kebenaran adalah cahaya yang harus dijaga, sementara fitnah adalah kegelapan yang menutupinya. Ketika fitnah berkuasa, cahaya kebenaran meredup, dan masyarakat kehilangan arah moral.

Menag menegaskan bahwa orang yang menyebarkan fitnah sesungguhnya sedang merusak dirinya sendiri. Tindakan tersebut bukan hanya melukai orang lain, tetapi juga menggerogoti integritas pribadi. Dalam perspektif spiritual, setiap kata yang ditulis atau diucapkan adalah cerminan jiwa. Maka, ketika seseorang menebar fitnah, yang ia hancurkan pertama kali adalah kebersihan hatinya sendiri.

Fenomena ini semakin berbahaya di era digital, ketika fitnah dapat diproduksi dengan mudah melalui media sosial. Hanya dengan beberapa ketikan, fitnah dapat menjalar ke ribuan orang dalam hitungan detik. Kecepatan penyebaran fitnah di dunia maya menjadikan dampaknya berlipat ganda, karena ia mampu membentuk opini publik tanpa dasar kebenaran. Di sinilah integritas spiritual menjadi benteng utama dalam menghadapi derasnya arus distorsi informasi.

Lebih jauh, fitnah bukan hanya ancaman spiritual dan moral, tetapi juga berimplikasi pada aspek sosial-politik. Banyak konflik sosial maupun ketegangan politik yang dipicu oleh hoaks dan fitnah digital. Hal ini menunjukkan bahwa fitnah mampu meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi, mengikis solidaritas sosial, dan bahkan merusak kohesi nasional. Dengan demikian, menolak fitnah bukan hanya kewajiban religius, tetapi juga komitmen kebangsaan.

Menurut Menag, pada akhirnya kebenaran akan menyingkap segala yang salah. Ungkapan ini menegaskan bahwa fitnah bersifat sementara, sedangkan kebenaran memiliki daya tahan yang abadi. Secara filosofis, hal ini sejalan dengan prinsip bahwa kebohongan tidak akan pernah bisa menggantikan kebenaran, hanya bisa menundanya. Oleh karena itu, yang terpenting adalah kesabaran, konsistensi, dan komitmen menjaga nilai-nilai kebenaran agar tidak terkalahkan oleh arus fitnah.

Pesan-pesan Menteri Agama Nasaruddin Umar mengandung relevansi mendalam dalam konteks perkembangan dunia digital yang kian kompleks. Beliau menekankan bahwa membangun etika digital di kalangan umat Islam tidak dapat dipisahkan dari penguatan integritas spiritualitas. Dengan kata lain, kehadiran teknologi bukanlah sekadar urusan teknis, melainkan juga persoalan moral dan spiritual yang membutuhkan bimbingan nilai-nilai agama.

Integritas spiritualitas sejatinya tidak berhenti pada praktik ritual yang bersifat formal, seperti shalat, puasa, atau zikir. Lebih jauh, ia harus tercermin dalam perilaku sehari-hari, termasuk bagaimana seseorang memanfaatkan media digital. Dunia maya, sebagai ruang pertemuan baru umat manusia, menjadi arena aktualisasi nilai-nilai keagamaan. Penggunaan teknologi yang etis dan bijak merupakan cerminan nyata dari kualitas keberagamaan seseorang.

Era digital menuntut lahirnya kesadaran baru dalam beragama. Jika sebelumnya praktik keberagamaan lebih banyak dipahami sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, kini dimensi horizontal dengan sesama manusia juga semakin menonjol. Apa yang kita tulis, bagikan, atau komentari di dunia digital berimplikasi langsung terhadap orang lain. Maka, etika digital bukan sekadar norma sosial, melainkan tanggung jawab spiritual untuk menjaga martabat dan kehormatan sesama.

Dari perspektif filosofis, etika digital dapat dipandang sebagai bentuk baru dari akhlak al-karimah yang diadaptasi ke dalam ruang maya. Akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah tidak hanya berlaku dalam interaksi fisik, tetapi juga harus diwujudkan dalam interaksi virtual. Menjaga kata-kata, menghindari fitnah, serta menyebarkan kebaikan di ruang digital adalah wujud konkret dari integritas spiritualitas yang berakar pada nilai-nilai Islam.

Pesan Menag juga memberi penekanan bahwa tanggung jawab beragama tidak boleh dipersempit menjadi ritualistik semata. Seorang Muslim sejati adalah ia yang mampu menjaga keseimbangan antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dalam konteks digital, keseimbangan itu diwujudkan dengan memanfaatkan teknologi sebagai sarana dakwah, edukasi, dan penguatan solidaritas, bukan sebagai media provokasi atau penyebaran kebencian.

BACA JUGA:  Pertukaran Hampers Saat Berbuka Puasa: Antara Nilai Silaturahim dan Penguatan Ekonomi Kerakyatan

Lebih dari itu, membangun etika digital berarti menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa dunia maya adalah bagian dari realitas kehidupan umat. Apa yang dilakukan di ruang digital tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral. Oleh karena itu, umat Islam dituntut untuk mengembangkan literasi digital yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berbasis pada prinsip-prinsip etika dan spiritualitas.

Dalam kerangka kebangsaan, etika digital yang berakar pada nilai keislaman dapat menjadi modal penting untuk menjaga persatuan. Penyalahgunaan media digital untuk menyebarkan kebencian atau fitnah dapat merusak kepercayaan sosial dan harmoni kebangsaan. Sebaliknya, penggunaan media digital yang bijak dapat memperkuat kohesi sosial dan memperluas jangkauan dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin.

Selain itu, Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan urgensi sinergi antara ulama, pemerintah, dan masyarakat dalam meneguhkan nilai-nilai spiritualitas di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Dalam pandangan beliau, tidak ada satu aktor pun yang mampu menjaga otentisitas ajaran agama secara tunggal. Hanya dengan kolaborasi, nilai-nilai spiritual dapat terpelihara sekaligus dikontekstualisasikan dengan dinamika zaman modern.

Ulama, sebagai pewaris tradisi keilmuan Islam, memegang peran sentral dalam memastikan kesinambungan sanad dan transmisi ajaran yang sahih. Mereka adalah penjaga mata air ilmu yang menghubungkan umat dengan khazanah klasik sekaligus penafsir realitas kontemporer. Keberadaan ulama dengan otoritas keilmuan yang kokoh menjadi filter utama terhadap munculnya ajaran-ajaran menyimpang yang marak beredar di ruang digital.

Di sisi lain, pemerintah hadir sebagai regulator yang memiliki tanggung jawab mengatur kebijakan publik agar tidak bertentangan dengan nilai keagamaan. Peran pemerintah tidak sekadar administratif, tetapi juga strategis, yaitu menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya spiritualitas dalam masyarakat. Kebijakan pendidikan, media, hingga regulasi digital harus berpihak pada upaya membangun masyarakat yang berakhlak mulia dan berintegritas.

Masyarakat sendiri merupakan aktor paling nyata dalam menghidupkan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah pelaku utama yang menginternalisasikan ajaran agama dalam perilaku sosial, budaya, dan ekonomi. Tanpa keterlibatan aktif masyarakat, nilai spiritualitas hanya berhenti sebagai wacana. Dengan demikian, masyarakat berperan sebagai ruang aktualisasi dari gagasan yang dibawa ulama dan kebijakan yang digariskan pemerintah.

Silaturahim thariqat menjadi wadah strategis untuk mempertemukan ketiga aktor ini dalam satu panggung dialog dan kolaborasi. Thariqat bukan hanya tradisi spiritual, tetapi juga forum kebudayaan dan sosial yang menyatukan kepentingan ulama, pemerintah, dan masyarakat. Di dalamnya, nilai-nilai otentisitas agama tidak hanya dijaga, tetapi juga diperkuat melalui interaksi kolektif yang melampaui sekat-sekat sektoral.

Dalam perspektif filosofis, sinergi ini mencerminkan konsep tawazun (keseimbangan) dalam Islam. Ulama menghadirkan aspek epistemologis, pemerintah menyumbang aspek struktural, dan masyarakat melengkapi aspek praksis. Ketiganya bersatu untuk menjaga agar spiritualitas tetap menjadi kompas moral yang menuntun arah kehidupan bangsa di tengah arus globalisasi, sekularisasi, dan digitalisasi. Tanpa keseimbangan ini, umat berisiko kehilangan orientasi dalam menghadapi perubahan zaman.

Lebih jauh, kolaborasi ini juga menunjukkan bahwa spiritualitas Islam bukan hanya urusan privat, melainkan juga agenda publik. Nilai-nilai agama memiliki dimensi sosial yang dapat memperkuat solidaritas, keadilan, dan keharmonisan dalam masyarakat. Ketika ulama, pemerintah, dan masyarakat bersinergi, spiritualitas tidak lagi dipandang sekadar ritual, tetapi sebagai energi kolektif yang mampu menjawab tantangan global, mulai dari degradasi moral hingga krisis kemanusiaan.

Akhirnya, pesan Menag Nasaruddin Umar dalam forum tersebut tidak sekadar menjadi nasihat keagamaan, melainkan juga seruan filosofis untuk menjaga keseimbangan antara warisan keilmuan tradisional dan tuntutan zaman modern. Meneguhkan integritas spiritualitas di era digital adalah ikhtiar kolektif yang membutuhkan kedewasaan intelektual, keteguhan moral, dan komitmen bersama. Dengan fondasi sanad yang kuat, pengelolaan informasi yang bijak, dan sikap menolak fitnah, umat Islam diharapkan mampu menghadapi tantangan era digital tanpa kehilangan jati diri keagamaannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.