KETAHANAN PANGAN DALAM ISLAM (SERI 7): PERAN NEGARA DAN LEMBAGA ISLAM DALAM SISTEM PANGAN NASIONAL

oleh -1,129 x dibaca
Penulis: Prof. Syaparuddin

Oleh: Prof. Syaparuddin, Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah

KETAHANAN pangan dalam Islam merupakan isu strategis yang tidak hanya menjadi tanggung jawab individu atau komunitas, tetapi juga melibatkan peran penting negara dan lembaga Islam dalam memastikan sistem pangan nasional berjalan adil, berkelanjutan, dan sesuai nilai syariah. Dalam perspektif Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjaga maslahah umat, termasuk menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa pemenuhan kebutuhan dasar manusia adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya dalam menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs) dan menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Negara dalam perspektif Islam memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rakyatnya, termasuk dalam hal ketahanan pangan. Otoritas negara bukan hanya sekadar mengatur, tetapi juga memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat mencerminkan prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Kebijakan pangan yang menyentuh aspek produksi, distribusi, dan konsumsi harus diarahkan pada pencapaian keseimbangan antara kebutuhan rakyat dan keberlanjutan sumber daya alam. Dengan adanya pengawasan negara, potensi penyalahgunaan dalam sistem pangan dapat diminimalisir, sehingga rakyat tidak terjebak dalam praktik ekonomi yang merugikan.

Dalam aspek produksi, negara memiliki kewajiban untuk mendukung petani sebagai pelaku utama penyedia pangan. Dukungan ini dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan teknologi, subsidi benih, akses modal, dan pembangunan infrastruktur pertanian seperti irigasi dan jalan produksi. Sejarah Islam memperlihatkan bahwa para khalifah memandang sektor pertanian sebagai prioritas, karena pertanian adalah sumber utama pangan masyarakat. Dengan produksi yang kuat dan stabil, negara mampu memastikan pasokan makanan yang cukup sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor yang rentan terhadap gejolak global.

Distribusi pangan juga tidak kalah penting untuk diatur oleh negara. Distribusi yang adil akan mencegah terjadinya kesenjangan antara daerah yang surplus pangan dengan daerah yang defisit. Negara dalam hal ini harus bertindak sebagai penyeimbang, memastikan bahwa akses terhadap pangan tidak terhambat oleh faktor geografis, ekonomi, atau sosial. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, misalnya, distribusi makanan dilakukan secara langsung kepada rakyat saat terjadi krisis, menunjukkan bagaimana negara dapat hadir secara nyata dalam mengatasi ketimpangan distribusi.

Kebijakan konsumsi juga menjadi bagian dari tanggung jawab negara, karena konsumsi tidak hanya terkait dengan kecukupan pangan, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan dan keberlanjutan. Negara dapat mengatur pola konsumsi melalui edukasi masyarakat, kampanye gizi seimbang, hingga pengendalian harga yang wajar agar pangan tetap terjangkau. Dalam pandangan Islam, konsumsi tidak boleh berlebihan (isrāf) dan tidak boleh membawa kemudaratan bagi manusia. Oleh karena itu, regulasi negara di bidang konsumsi juga sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan prinsip kesederhanaan dan kebermanfaatan.

Regulasi yang jelas dan tegas menjadi instrumen penting untuk mencegah monopoli, penimbunan, dan praktik eksploitatif. Pasar yang dibiarkan tanpa kendali dapat dikuasai oleh segelintir pihak yang mencari keuntungan dengan cara merugikan masyarakat luas. Islam dengan tegas melarang ihtikār atau penimbunan barang, karena hal itu akan menciptakan kelangkaan palsu yang membebani rakyat. Dalam hal ini, negara harus menjadi pengawas utama untuk menindak pelaku kecurangan pasar, menjaga kestabilan harga, serta melindungi kepentingan konsumen dan produsen kecil.

Sejarah Islam memberikan contoh konkret tentang bagaimana para khalifah berperan aktif dalam mengelola sistem pangan. Umar bin Khattab membangun lumbung-lumbung pangan sebagai cadangan strategis yang digunakan saat paceklik. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang memperhatikan distribusi kekayaan, termasuk dalam hal pangan, hingga rakyatnya tidak lagi membutuhkan bantuan. Inisiatif-inisiatif ini membuktikan bahwa negara dalam Islam memiliki peran proaktif, bukan sekadar reaktif, dalam menjaga keseimbangan sistem pangan.

Pembangunan irigasi dan pengelolaan sumber daya air oleh para khalifah juga menjadi bukti bahwa negara memiliki tanggung jawab teknis dalam memperkuat sistem pertanian. Irigasi bukan hanya memudahkan petani dalam bercocok tanam, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan secara menyeluruh. Cadangan makanan yang didistribusikan saat krisis menunjukkan bahwa negara harus memiliki sistem mitigasi bencana pangan yang terencana. Semua langkah ini menjadi warisan historis yang relevan untuk diteladani dalam konteks pembangunan pangan modern.

Selain negara, keberadaan lembaga-lembaga Islam memiliki peranan penting dalam menopang sistem ketahanan pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Islam telah menyediakan instrumen sosial-ekonomi yang konkret, seperti zakat, infak, dan wakaf, yang dapat digunakan untuk menjawab persoalan kebutuhan pangan masyarakat. Instrumen-instrumen ini tidak hanya bersifat ibadah personal, melainkan juga sarana untuk membangun solidaritas sosial dan redistribusi kesejahteraan di tengah masyarakat. Dengan pengelolaan yang baik, lembaga-lembaga Islam mampu menjadi pelengkap sekaligus mitra strategis negara dalam menjaga keberlangsungan sistem pangan nasional.

Zakat pertanian, sebagai contoh, merupakan salah satu bentuk distribusi kekayaan yang diarahkan langsung untuk membantu mereka yang kurang mampu. Hasil pertanian yang dizakatkan tidak hanya mengurangi kesenjangan ekonomi, tetapi juga memperkuat akses masyarakat miskin terhadap pangan. Dengan adanya mekanisme zakat yang transparan dan terstruktur, hasil panen dapat dialirkan ke wilayah atau kelompok yang kekurangan bahan makanan. Praktik ini sesuai dengan prinsip Islam yang menekankan keadilan sosial, di mana setiap kelebihan yang dimiliki seseorang harus membawa manfaat bagi sesama.

BACA JUGA:  MAKNA SOSIAL DI BALIK FIDYAH: IBADAH, EMPATI, DAN KEPEDULIAN

Infak juga memegang peran signifikan dalam menopang ketahanan pangan. Berbeda dengan zakat yang memiliki ketentuan nisab dan kadar tertentu, infak bersifat lebih fleksibel dan bisa dilakukan kapan saja sesuai kemampuan. Dengan mendorong budaya infak, umat Islam dapat menciptakan jaringan solidaritas yang lebih luas dalam mendukung penyediaan pangan. Infak yang dikelola secara kolektif bisa digunakan untuk program-program pangan darurat, dapur umum, atau bahkan pemberdayaan petani kecil sehingga mereka mampu meningkatkan produksi secara berkelanjutan.

Wakaf produktif menjadi salah satu instrumen yang paling potensial untuk mendukung pembangunan pertanian dan penguatan sistem pangan. Wakaf tanah, misalnya, dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian yang dikelola secara kolektif bagi kepentingan masyarakat luas. Selain itu, hasil pengelolaan wakaf juga dapat diarahkan untuk membiayai riset pertanian, pembangunan irigasi, atau pengadaan alat-alat modern yang dapat meningkatkan produktivitas petani. Dengan konsep wakaf produktif, potensi aset umat Islam yang besar dapat dioptimalkan untuk menciptakan kemandirian pangan.

Peran lembaga Islam juga terlihat dalam penguatan pasar yang berkeadilan. Pasar dalam Islam bukan sekadar tempat transaksi ekonomi, tetapi juga ruang untuk menegakkan nilai kejujuran, larangan monopoli, dan keterbukaan harga. Melalui dukungan dana zakat dan wakaf, lembaga Islam dapat mendirikan pasar rakyat atau koperasi berbasis syariah yang menampung hasil pertanian petani lokal dengan harga yang layak. Dengan demikian, mereka tidak hanya memperoleh tempat menjual hasil panen, tetapi juga terlindungi dari praktik tengkulak atau spekulasi harga yang merugikan.

Selain aspek ekonomi, lembaga-lembaga Islam juga berperan dalam aspek moral dan spiritual ketahanan pangan. Edukasi kepada umat tentang pentingnya berbagi, larangan menimbun pangan, dan ajakan untuk mendukung petani lokal dapat memperkuat kesadaran kolektif. Melalui khutbah, pengajian, atau kajian keislaman, pesan-pesan moral ini bisa disampaikan secara luas sehingga masyarakat tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga bagian dari gerakan menjaga kedaulatan pangan.

Sinergi antara lembaga zakat, infak, dan wakaf dengan negara akan menciptakan sistem pangan yang lebih kokoh. Negara dapat menyediakan regulasi dan infrastruktur, sementara lembaga Islam menopang dari sisi pembiayaan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan aspek moral. Kombinasi ini akan memastikan bahwa ketahanan pangan tidak hanya terfokus pada aspek teknis, tetapi juga menyentuh aspek keadilan dan keberkahan. Sistem yang demikian akan lebih mampu bertahan menghadapi krisis, karena ditopang oleh nilai spiritual dan solidaritas sosial yang kuat.

Peran ulama dan lembaga keagamaan dalam menjaga ketahanan pangan memiliki dimensi yang sangat penting, karena mereka menjadi rujukan moral dan etika bagi umat. Dalam Islam, ulama bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga agen transformasi sosial yang membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih adil dan berkeadaban. Ketika berbicara tentang pangan, ulama dapat menekankan bahwa makanan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan anugerah Allah yang harus dijaga, dibagikan dengan adil, serta dimanfaatkan secara bijak. Pandangan ini mampu meluruskan cara pandang masyarakat agar tidak terjebak dalam konsumerisme berlebihan atau perilaku eksploitatif.

Dalam konteks etika konsumsi, ulama berperan mengingatkan umat untuk menghindari sikap israf (berlebihan) dan tabdzir (pemborosan), yang keduanya dilarang dalam Al-Qur’an. Edukasi moral semacam ini penting agar masyarakat dapat mengatur pola makan sesuai kebutuhan, menjaga kesehatan, serta menghargai keberlanjutan sumber daya pangan. Konsumsi yang berlebihan sering kali berdampak pada kelangkaan, inflasi harga, bahkan kerusakan lingkungan. Melalui khutbah, ceramah, dan kajian, ulama dapat menanamkan nilai kesederhanaan dan rasa syukur, yang menjadi fondasi spiritual dalam membangun ketahanan pangan.

Selain itu, ulama juga memiliki peran dalam menegakkan prinsip keadilan dalam perdagangan. Pasar dalam Islam tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang yang mencari keuntungan dengan cara menindas pihak lain. Dengan bimbingan ulama, masyarakat dapat memahami pentingnya transaksi yang transparan, harga yang wajar, dan larangan praktik curang seperti penimbunan atau manipulasi. Ketika ulama aktif dalam mengawasi praktik perdagangan, mereka sekaligus berfungsi sebagai pengawal moralitas agar pasar tidak sekadar menjadi arena ekonomi, tetapi juga wadah penegakan nilai keadilan.

Larangan penimbunan (ihtikar) merupakan salah satu isu yang sering ditekankan oleh para ulama dalam konteks pangan. Penimbunan menyebabkan kelangkaan buatan yang merugikan masyarakat kecil. Dengan memberikan fatwa, tausiyah, atau bahkan mendorong regulasi bersama pemerintah, ulama dapat berkontribusi nyata dalam menutup ruang bagi praktik yang tidak sesuai dengan nilai Islam. Hal ini memperlihatkan bahwa peran ulama tidak berhenti pada ranah spiritual, tetapi juga menyentuh ranah sosial-ekonomi yang langsung berdampak pada kehidupan rakyat.

BACA JUGA:  Pendidikan Inklusif di Madrasah Saatnya Semua Anak Merasa Dimiliki

Lembaga keagamaan, seperti majelis taklim, pesantren, dan organisasi Islam, juga berperan dalam memperluas cakupan edukasi moral terkait pangan. Mereka bisa mengadakan program sosialisasi tentang pentingnya kemandirian pangan, mendukung produk lokal, hingga kampanye untuk membeli hasil tani masyarakat kecil. Dengan kekuatan jaringan yang luas, lembaga keagamaan dapat menjadi katalisator perubahan pola pikir umat, sehingga solidaritas sosial dan tanggung jawab kolektif dalam menjaga pangan semakin kuat.

Aspek penting lain adalah bagaimana ulama menghubungkan pangan dengan keberkahan. Dalam Islam, makanan yang halal dan thayyib tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga membersihkan jiwa. Dengan mengedepankan aspek keberkahan, ulama dapat menanamkan kesadaran bahwa ketahanan pangan bukan hanya tentang cukup atau tidaknya persediaan, tetapi juga tentang bagaimana pangan diperoleh, dikelola, dan dikonsumsi secara etis. Pandangan ini memberi dimensi spiritual pada sistem pangan yang selama ini sering hanya dilihat dari aspek material.

Dengan demikian, kehadiran ulama dan lembaga keagamaan sebagai pengawal moralitas dalam sistem pangan menegaskan bahwa ketahanan pangan memiliki dua dimensi: material dan spiritual. Dimensi material mencakup produksi, distribusi, dan konsumsi, sementara dimensi spiritual menekankan keberkahan, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Keduanya saling melengkapi sehingga sistem pangan dapat bertahan dalam jangka panjang dan tetap berada dalam koridor syariah. Ulama dengan pengaruh moralnya mampu memastikan agar masyarakat tidak sekadar mengejar keuntungan duniawi, tetapi juga mengaitkannya dengan nilai ibadah dan keberlanjutan hidup.

Di tingkat praktis, kolaborasi antara negara dan lembaga Islam merupakan salah satu strategi paling efektif untuk memperkuat ketahanan pangan. Negara memiliki otoritas dan kapasitas dalam hal regulasi serta pembangunan infrastruktur, sementara lembaga Islam memiliki kekuatan sosial dan finansial yang dapat dialirkan untuk mendukung masyarakat. Ketika keduanya berjalan beriringan, tercipta keseimbangan antara kebijakan makro yang mengatur sistem pangan dan inisiatif mikro yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat kecil. Dengan sinergi ini, ketahanan pangan tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga sebuah program nyata yang berdampak luas.

Pemerintah berperan penting dalam menyediakan infrastruktur dasar, seperti jaringan irigasi, jalan produksi, gudang penyimpanan, dan pasar yang terjangkau bagi petani. Infrastruktur ini menjadi fondasi utama dalam memastikan hasil pertanian dapat diproduksi secara efisien dan didistribusikan dengan lancar. Di sisi lain, regulasi yang jelas diperlukan untuk melindungi petani dari praktik curang, menjaga kestabilan harga, serta mengatur standar kualitas pangan. Tanpa peran pemerintah, sulit membayangkan adanya sistem pangan yang terstruktur dan mampu bertahan menghadapi dinamika pasar global maupun ancaman krisis pangan.

Lembaga zakat, infak, dan wakaf hadir untuk melengkapi peran negara melalui dukungan pendanaan sosial-ekonomi. Zakat pertanian, misalnya, dapat diarahkan untuk membantu petani kecil yang kesulitan modal, sementara wakaf produktif bisa digunakan untuk membiayai pembangunan sarana pertanian modern. Dengan pendanaan ini, masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan dapat diberdayakan menjadi bagian aktif dari rantai produksi pangan. Inisiatif semacam ini tidak hanya meningkatkan kemandirian pangan, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dalam bingkai nilai-nilai Islam.

Kolaborasi lintas sektor ini juga mencakup aspek pemberdayaan masyarakat. Lembaga Islam dapat menginisiasi program pelatihan bagi petani tentang teknik pertanian berkelanjutan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, atau strategi pemasaran hasil tani. Sementara itu, pemerintah dapat memberikan dukungan melalui kebijakan kredit lunak, subsidi pupuk organik, atau insentif bagi petani yang mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan. Kombinasi peran ini memastikan bahwa masyarakat tidak hanya diberi bantuan finansial, tetapi juga dibekali dengan keterampilan untuk mandiri dalam jangka panjang.

Dalam rantai distribusi, kolaborasi negara dan lembaga Islam mampu menciptakan sistem yang lebih merata dan adil. Pemerintah dapat mengatur jalur distribusi agar hasil pangan sampai ke konsumen dengan harga yang terjangkau, sementara lembaga Islam dapat mendirikan koperasi berbasis syariah atau pasar rakyat yang berfungsi sebagai wadah penyaluran hasil tani petani kecil. Dengan demikian, jalur distribusi tidak hanya dikuasai oleh tengkulak atau perusahaan besar, tetapi juga memberi ruang bagi petani lokal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih adil.

Sinergi ini juga menjadi langkah strategis dalam menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim, ketidakstabilan pasar internasional, atau krisis energi. Negara memiliki akses pada kebijakan internasional dan kerja sama antarnegara, sementara lembaga Islam dapat memperkuat basis ketahanan pangan dari bawah melalui komunitas. Ketika kedua kekuatan ini berjalan bersama, sistem pangan nasional menjadi lebih tangguh dalam menghadapi gejolak global sekaligus tetap berakar pada nilai kearifan lokal dan prinsip keadilan sosial.

Lebih jauh, kolaborasi lintas sektor ini membawa dampak positif pada terciptanya ekosistem pangan yang kuat dan berkelanjutan. Petani kecil sebagai ujung tombak produksi tidak lagi dibiarkan berjalan sendiri, melainkan mendapat dukungan menyeluruh dari negara dan lembaga Islam. Konsumen juga merasakan manfaat dari distribusi yang lebih merata dan harga yang lebih stabil. Pada akhirnya, masyarakat luas memperoleh jaminan akses terhadap pangan yang cukup, berkualitas, dan halal, sesuai dengan prinsip Islam tentang keberkahan rezeki.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (5): MEMBANGUN TRANSPARANSI DAN KEPERCAYAAN DI ERA KEUANGAN DIGITAL

Dalam konteks modern, isu ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari dinamika global yang penuh tantangan. Perubahan iklim, misalnya, telah menyebabkan pola cuaca yang tidak menentu, kekeringan berkepanjangan, banjir, serta serangan hama yang lebih sulit diprediksi. Kondisi ini secara langsung mengancam produktivitas pertanian dan stabilitas pasokan pangan. Dalam situasi demikian, negara dan lembaga Islam dituntut untuk hadir dengan solusi yang lebih adaptif dan inovatif agar kebutuhan pangan masyarakat tetap terjamin. Ketahanan pangan bukan lagi sekadar isu nasional, tetapi juga bagian dari tantangan peradaban global.

Krisis energi juga turut memberikan dampak serius terhadap sistem pangan. Biaya produksi pertanian sangat bergantung pada ketersediaan energi, mulai dari pengoperasian mesin hingga distribusi hasil panen. Lonjakan harga energi menyebabkan biaya produksi meningkat, yang pada akhirnya berimbas pada harga pangan di tingkat konsumen. Negara perlu mencari solusi jangka panjang melalui pengembangan energi terbarukan yang dapat digunakan di sektor pertanian. Pada saat yang sama, lembaga Islam dapat memberikan dukungan finansial untuk membantu petani beralih ke teknologi yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan, sehingga keberlanjutan tetap terjaga.

Ketidakstabilan pasar internasional juga menjadi faktor penting yang memperlemah ketahanan pangan. Krisis global, perang dagang, atau embargo dapat menyebabkan pasokan pangan impor terganggu dan harga melonjak. Dalam kondisi ini, ketergantungan pada impor menjadi kelemahan yang berisiko tinggi bagi suatu negara. Oleh karena itu, kemandirian pangan harus ditempatkan sebagai prioritas strategis. Negara harus berinvestasi lebih besar pada penguatan produksi lokal, sementara lembaga Islam dapat mendukung dari sisi sosial-ekonomi agar masyarakat kecil mampu menjadi aktor penting dalam sistem pangan domestik.

Optimalisasi produksi lokal menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan global tersebut. Petani kecil sebagai ujung tombak produksi harus mendapatkan insentif yang layak dari negara, baik berupa subsidi benih, pupuk organik, maupun kemudahan akses ke pasar. Dengan insentif ini, petani akan lebih terdorong untuk meningkatkan produktivitas tanpa merasa terpinggirkan oleh dominasi industri besar. Di sisi lain, lembaga Islam dapat mengalokasikan dana zakat, infak, dan wakaf untuk menyediakan fasilitas pendukung seperti peralatan modern, pelatihan teknik pertanian berkelanjutan, dan modal usaha yang meringankan beban petani.

Pengembangan teknologi pertanian ramah lingkungan menjadi agenda penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim sekaligus menjaga kelestarian alam. Negara dapat mendorong penelitian dan inovasi di bidang pertanian, seperti penggunaan bibit tahan iklim ekstrem, sistem irigasi hemat air, dan penerapan pertanian organik. Lembaga Islam, dengan dana sosial yang mereka kelola, dapat menjadi mitra dalam membiayai riset serta mendukung adopsi teknologi ini di tingkat komunitas. Dengan begitu, petani tidak hanya mampu meningkatkan hasil panen, tetapi juga menjaga lingkungan yang menjadi sumber kehidupan jangka panjang.

Keadilan sosial juga perlu menjadi prinsip utama dalam pembangunan ketahanan pangan modern. Negara harus memastikan bahwa setiap kebijakan pangan berpihak pada kelompok rentan, tidak hanya pada pemilik modal besar. Pada saat yang sama, lembaga Islam memiliki misi moral untuk memastikan distribusi sumber daya berjalan merata melalui instrumen zakat dan wakaf. Kombinasi ini akan menciptakan sistem pangan yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial, sehingga semua lapisan masyarakat memperoleh manfaat yang sama.

Lebih jauh, kolaborasi negara dan lembaga Islam dalam menghadapi tantangan global ini juga merupakan bentuk implementasi nyata dari maqāṣid al-syarī‘ah. Menjaga jiwa dan kesejahteraan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemenuhan kebutuhan pangan yang layak, sehat, dan berkelanjutan. Dengan memperkuat kemandirian pangan berbasis lokal, masyarakat dapat terlindungi dari gejolak eksternal yang tidak menentu. Prinsip ini bukan hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga sejalan dengan tujuan pembangunan global yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan.

Pada akhirnya, ketahanan pangan dalam Islam menuntut adanya sinergi antara kebijakan negara, peran lembaga Islam, dan partisipasi masyarakat. Negara memberikan kerangka regulasi dan fasilitas, lembaga Islam menguatkan aspek moral dan distribusi kesejahteraan, sementara masyarakat menjadi pelaku utama dalam menjaga kedaulatan pangan. Kesatuan peran ini mencerminkan prinsip Islam tentang tanggung jawab kolektif (mas’ūliyyah jamā‘iyyah) dalam membangun kehidupan yang seimbang, sejahtera, dan berkelanjutan. Dengan demikian, sistem pangan nasional dapat berdiri kokoh di atas fondasi keadilan dan keberkahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.