Oleh : Nur Muthmainnah Zain, S.Pd, pekerja swasta
SEBELUM Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi salah satu instrumen penerimaan pajak di Indonesia, pada tahun 1811 Belanda mengalami kekalahan dari Inggris. Inggris kemudian mengambil alih Jawa dan mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur jenderal. Pada awalnya, Raffles menghapus sistem penyerahan wajib dan kerja paksa yang diwariskan Belanda, tetapi kemudian menggantinya dengan sistem pajak tanah yang disebut land rent system. Sistem ini menganggap tanah sebagai milik pemerintahan kolonial, sehingga rakyat diwajibkan menyewanya.
Pada tahun 1814, setelah Perang Napoleon, melalui Traktat London, Inggris dan Belanda kembali mengatur wilayah jajahannya, dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Belanda. Setelah berkuasa kembali, Belanda memodifikasi land rent system menjadi landrente dengan tarif sekitar dua perlima hasil panen. Sistem ini kemudian berubah menjadi cultuurstelsel, yakni kewajiban rakyat menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu, yang hasilnya disetorkan kepada pemerintah kolonial sebagai bentuk pajak. Kebijakan ini semakin menambah penderitaan rakyat karena adanya kerja paksa, berkurangnya lahan untuk tanaman pangan, serta hilangnya hasil panen untuk kebutuhan sendiri.
Setelah menuai kritik, Belanda mengubah sistem tersebut menjadi Agrarische Wet 1870. Melalui aturan ini, Belanda menyewakan tanah rakyat yang tidak memiliki bukti kepemilikan tertulis. Padahal, mayoritas penduduk Hindia Belanda saat itu adalah masyarakat adat yang hanya memiliki hak ulayat secara lisan. Akibatnya, hampir seluruh tanah jatuh ke tangan Belanda. Tanah yang disita disewakan kepada swasta atau pihak asing, sehingga masuklah pasar bebas kapitalisme. Dari sinilah perkebunan besar mulai berdiri, dan eksploitasi rakyat berlangsung tidak manusiawi selama jangka waktu maksimal 75 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, sistem yang menyengsarakan rakyat ini tetap dilanjutkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. Catatan sejarah ini seharusnya menyadarkan kita bahwa bangsa ini belum benar-benar merdeka. Yang terjadi sekarang hanyalah reinkarnasi beban kolonial dalam wajah modern. Hal ini juga diperkuat dengan narasi dalam situs resmi DJP (2022) yang menyebutkan:
“Awal mula kelahiran PBB adalah sistem pajak sewa tanah yang diterapkan pemerintah kolonial kepada masyarakat pada masa kependudukan Inggris” (Aprilia Abriani, 2022).
Pajak, khususnya PBB untuk daerah perkotaan dan pedesaan, kini banyak dikritik keras, terutama di Bone. Penyesuaian tarif hingga 300 persen mencerminkan kebijakan fiskal kontraktif dalam sistem ekonomi kapitalis. Kebijakan ini diarahkan untuk menyesuaikan nilai tanah dengan harga pasar serta menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan demi kesejahteraan rakyat. Padahal, Bone merupakan daerah agraris, di mana tanah selama ini menjadi sumber penghidupan rakyat. Pola ini mengingatkan kita pada masa kolonial, ketika tanah bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga menjadi beban pungutan yang menindas rakyat kecil.
Realitas PBB di Bone hanyalah potret kecil rapuhnya sistem kapitalis, di mana negara lebih sibuk mengejar pemasukan dari rakyat ketimbang mengelola sumber daya besar yang sebenarnya mampu menyejahterakan semua orang. Hal ini selaras dengan pernyataan Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan, Jufri Rahman:
“Kalau ada sesuatu atas nama otonomi lalu memberi beban ke rakyat, itu pengingkaran hakikat otonomi daerah. Kalau pajak ditambah sehingga kesejahteraan menurun, maka itu bertentangan dengan hakikat otonomi. Seharusnya pimpinan jeli dan cerdas mencari sumber pendapatan, bukan menambah beban fiskal.”
Dalam sistem Islam, negara tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama yang dibebankan pada rakyat. Pajak zalim dalam Islam dikenal dengan istilah al-maks. Para ulama menegaskan bahwa al-maks adalah pungutan yang diambil dari rakyat tanpa alasan syar’i, di luar aturan Allah, dan tidak disalurkan kepada delapan ashnaf. Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Tidak akan masuk surga orang yang memungut al-maks (pajak/zakat ilegal).”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Hakim, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani).
Jika melihat potensi sumber daya alam Kabupaten Bone, mulai dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hingga pertambangan, terdapat peluang besar untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa membebani rakyat dengan pajak. Potensi ini bisa dikelola sesuai syariat, misalnya melalui zakat perdagangan dan zakat penghasilan dengan nisab setara 85 gram emas dan kadar 2,5 persen dari harta setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267).
Zakat peternakan pun dapat menjadi instrumen fiskal yang adil sekaligus solutif. Hanya pemilik ternak besar yang wajib menunaikannya, sedangkan peternak kecil terbebas dari beban. Sehingga hasil peternakan dapat langsung menyejahterakan masyarakat Bone. Demikian pula dengan potensi kelautan seperti rumput laut dan perikanan. Melalui zakat tijarah bagi pelaku usaha besar serta pengelolaan hasil laut sebagai kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah), Indonesia, terkhusus Bone bisa menghadirkan sistem ekonomi yang adil, di mana keuntungan tidak menumpuk pada segelintir pihak, melainkan tersebar kepada masyarakat luas.
Namun, zakat harus dikelola sesuai syariat melalui baitul mal sebagai instrumen fiskal utama. Sayangnya, praktik saat ini cenderung mengadopsi pola filantropi kapitalis, di mana zakat diperlakukan seperti proyek sosial dan bahkan bersinggungan dengan riba. Padahal, zakat seharusnya diarahkan untuk mengangkat mustahik agar naik kelas menjadi muzakki, bukan membuat mereka bergantung pada bantuan. Rasulullah ﷺ mencontohkan dengan memberikan sarana usaha kepada fakir miskin, seperti kapak untuk mencari kayu bakar. Khalifah Umar bin Khattab pun menyalurkan zakat dalam bentuk modal usaha, bukan sekadar santunan.
Hal yang sama berlaku pada pengelolaan sumber daya alam (SDA). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang gembalaan, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Kepemilikan umum seperti tambang, energi, hutan, laut, dan sumber daya vital lainnya wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan diprivatisasi. Dalam praktik kapitalisme, SDA diperlakukan sebagai komoditas yang dikuasai swasta atau asing. Negara hanya bertindak sebagai penarik pajak dan regulator, bahkan sering memberikan potongan pajak (tax allowance) atau pembebasan pajak (tax holiday). Akibatnya, SDA habis dieksploitasi sementara rakyat terkena dampak polusi, limbah dan tambang yg tidak tereklamasi serta tetap dibebankan wajib pajak.
Dalam sistem Islam, hasil SDA sepenuhnya masuk ke baitul mal dan digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, hingga jaminan sosial. Dengan demikian, negara yang kaya SDA bisa mandiri secara ekonomi tanpa membebani rakyat dengan pajak. Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari).
Pesan ini menempatkan pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang membebani mereka dengan pungutan. Namun, kenyataan di Bone justru memperlihatkan hal sebaliknya. Penyesuaian PBB hingga ratusan persen hanya mengulang logika kolonial yang menjadikan tanah sebagai alat pemerasan struktural.
Delapan puluh tahun merdeka, rakyat masih hidup di bawah sistem fiskal yang berakar pada kolonialisme dan kapitalisme, di mana kesejahteraan rakyat kerap dikorbankan demi kepentingan fiskal negara. Pertanyaannya, sampai kapan rakyat Indonesia terkhusus Bone harus menanggung beban warisan kebijakan yang menzalimi mereka?
Islam menawarkan solusi yang jelas: tanah dan hasil bumi dikelola melalui instrumen syariat seperti zakat dan pengelolaan kepemilikan umum. Dengan begitu, kekayaan alam kembali menjadi berkah kolektif, bukan beban rakyat. Sudah saatnya Indonesia berani keluar dari lingkaran warisan kolonial dan menjadikan aturan Allah sebagai landasan, agar tanah benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.