Oleh: Prof. Syaparuddin
Guru Besar IAIN bone dalam Bidang Ekonomi Syariah
_____________________________________
ZAKAT pertanian merupakan salah satu instrumen ekonomi Islam yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya para petani. Sebagai bentuk zakat mal, zakat pertanian dikenakan atas hasil-hasil bumi seperti padi, gandum, jagung, buah-buahan, dan sayuran, yang mencapai nishab dan dipanen dalam kondisi layak konsumsi. Konsep zakat ini telah diajarkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial, menghapuskan kemiskinan, serta memperkuat ikatan solidaritas antara sesama umat Islam. Dalam konteks pertanian yang menjadi sektor penting di Indonesia, zakat pertanian bisa menjadi kekuatan ekonomi yang signifikan apabila dikelola secara optimal.
Indonesia sebagai negara agraris menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa dalam sektor pertanian. Jutaan hektare lahan subur tersebar dari Sabang hingga Merauke, dan jutaan tenaga kerja menggantungkan hidupnya pada aktivitas bercocok tanam. Sayangnya, potensi besar ini belum berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Ironi mencuat ketika para pelaku utama dalam penyediaan kebutuhan pangan nasional justru berada dalam lingkaran kemiskinan struktural. Banyak petani menghadapi berbagai kesulitan yang membuat mereka tetap terjebak dalam siklus pendapatan rendah, kendati mereka memproduksi hasil bumi yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat luas.
Salah satu penyebab utama rendahnya kesejahteraan petani adalah harga jual hasil panen yang tidak stabil dan seringkali tidak memihak kepada produsen. Ketika musim panen tiba, lonjakan pasokan membuat harga jatuh, dan petani terpaksa menjual hasil kerja kerasnya dengan harga yang sangat rendah. Di sisi lain, ketika harga sedang tinggi, petani justru tidak memiliki hasil panen karena musim telah berganti. Selain itu, petani juga mengalami kesulitan dalam mengakses pasar yang lebih menguntungkan. Mereka sering bergantung pada tengkulak atau perantara yang menentukan harga jual seenaknya tanpa mempertimbangkan kelayakan penghasilan petani.
Minimnya akses terhadap teknologi modern dan bantuan modal juga memperburuk kondisi petani. Sebagian besar petani di pedesaan masih menggunakan alat-alat tradisional dan teknik bertani yang konvensional, sehingga produktivitas dan efisiensi lahan menjadi rendah. Padahal, dengan bantuan teknologi seperti irigasi cerdas, pupuk organik modern, atau drone pertanian, hasil panen bisa ditingkatkan secara signifikan. Namun semua itu membutuhkan biaya yang tidak kecil, sementara akses terhadap pembiayaan formal juga terbatas karena banyak petani tidak memiliki jaminan atau riwayat kredit yang layak untuk mengakses pinjaman dari lembaga keuangan.
Dalam situasi seperti inilah zakat pertanian hadir sebagai peluang strategis untuk meringankan beban petani dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Zakat pertanian bukan sekadar kewajiban individu bagi mereka yang memiliki hasil panen melebihi nishab, tetapi juga merupakan bentuk solidaritas sosial dalam Islam yang bertujuan untuk mengalirkan kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan. Jika dikelola dengan baik oleh lembaga zakat, dana zakat ini dapat disalurkan untuk memberikan bantuan sarana produksi, pelatihan teknologi pertanian, penyediaan modal kerja, hingga pembangunan infrastruktur pertanian berbasis komunitas.
Zakat pertanian juga memiliki potensi sebagai alat pemberdayaan jangka panjang yang mampu menciptakan kemandirian petani. Misalnya, lembaga zakat dapat menginisiasi program pendampingan petani binaan yang tidak hanya menerima bantuan finansial, tetapi juga diajarkan manajemen usaha tani, diversifikasi produk, hingga akses pemasaran digital. Dengan demikian, zakat menjadi bukan hanya solusi karitatif sesaat, tetapi juga investasi sosial yang berdampak sistemik bagi keberlanjutan sektor pertanian. Selain memperbaiki kondisi hidup petani, program-program ini juga dapat mendorong regenerasi petani muda yang selama ini enggan turun ke sawah karena melihat pertanian sebagai sektor yang kurang menjanjikan.
Zakat pertanian dalam praktiknya tidak hanya mencerminkan kepatuhan individu terhadap kewajiban agama, melainkan juga mengandung dimensi sosial yang kuat yang mampu mendorong transformasi kesejahteraan masyarakat petani. Saat zakat pertanian dihimpun dan dikelola oleh lembaga amil zakat yang profesional, maka distribusinya tidak lagi bersifat sporadis atau seremonial, melainkan terencana, terarah, dan berdampak nyata. Hal ini memberikan peluang besar untuk mengintervensi akar masalah kemiskinan petani dengan cara-cara yang lebih sistemik dan berkelanjutan. Zakat bukan sekadar memberi bantuan konsumtif, melainkan membangun fondasi bagi kemandirian ekonomi petani.
Salah satu bentuk nyata dari penyaluran zakat pertanian adalah pemberian input pertanian seperti benih unggul, pupuk, dan peralatan modern yang sulit diakses oleh petani kecil karena keterbatasan modal. Bantuan ini bukan sekadar menambah kapasitas produksi, tetapi juga mengubah cara pandang petani terhadap proses bertani itu sendiri. Ketika mereka memiliki akses terhadap sarana dan prasarana yang memadai, mereka lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panennya. Hal ini pada akhirnya mendorong peningkatan pendapatan dan taraf hidup petani secara keseluruhan.
Selain itu, zakat pertanian yang dikelola secara kolektif juga dapat dimanfaatkan untuk program pelatihan keterampilan dan peningkatan kapasitas petani. Banyak petani yang selama ini bertani secara turun-temurun tanpa pengetahuan tentang manajemen usaha tani, teknik pertanian ramah lingkungan, atau akses pasar yang lebih luas. Melalui pelatihan yang didanai dari zakat, para petani dapat diperkenalkan pada inovasi-inovasi terbaru, baik dari sisi teknis maupun manajerial, sehingga mereka tidak hanya menjadi pekerja di lahan sendiri, tetapi juga pelaku usaha yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Zakat pertanian juga bisa diarahkan untuk membentuk atau menguatkan usaha pertanian berbasis komunitas, seperti koperasi tani, kelompok usaha bersama, atau sentra produksi. Pendekatan ini memungkinkan petani kecil untuk saling bekerja sama, berbagi sumber daya, dan memperkuat posisi tawar mereka di pasar. Dalam konteks ini, zakat bukan hanya menjadi bantuan ekonomi, tetapi juga menjadi instrumen penguatan kelembagaan sosial-ekonomi di tingkat akar rumput. Komunitas petani yang solid dan terorganisir dapat membangun sistem pertanian yang lebih efisien, adil, dan berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, ketika zakat pertanian dikembangkan dengan pendekatan pemberdayaan, maka manfaatnya akan menjalar ke sektor-sektor lain di pedesaan. Kesejahteraan petani yang meningkat akan menciptakan efek ganda bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat desa secara keseluruhan. Daya beli meningkat, perputaran ekonomi lokal hidup, dan angka pengangguran bisa ditekan. Dengan demikian, zakat pertanian menjadi instrumen yang tidak hanya menyasar individu, tetapi juga menjadi motor penggerak pembangunan desa berbasis potensi lokal.
Potensi zakat pertanian di Indonesia yang begitu besar belum sepenuhnya terkelola secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya tingkat partisipasi petani dalam menunaikan zakat hasil pertanian mereka, baik karena ketidaktahuan maupun karena kebingungan dalam aspek teknis pelaksanaannya. Padahal, jika dikelola dengan baik, zakat pertanian dapat menjadi sumber daya ekonomi yang sangat signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri serta memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun kenyataannya, pemahaman yang terbatas dan minimnya akses informasi membuat banyak petani tidak menyadari bahwa hasil pertanian mereka termasuk dalam kategori yang wajib dizakati.
Kurangnya pemahaman ini diperparah oleh ketidakjelasan dalam hal perhitungan nishab, yakni batas minimal hasil panen yang wajib dizakati, serta ketentuan-ketentuan lain seperti jenis tanaman, sistem irigasi yang digunakan, dan waktu penunaian zakat. Banyak petani yang merasa tidak cukup ilmu untuk memastikan apakah mereka termasuk wajib zakat atau tidak, sehingga pada akhirnya mereka memilih untuk tidak menunaikannya sama sekali. Masalah ini bukan hanya menyangkut aspek spiritual, tetapi juga berdampak langsung terhadap hilangnya potensi dana sosial yang bisa digunakan untuk memperkuat ekosistem pertanian dan membantu sesama petani yang lebih membutuhkan.
Di sisi lain, tantangan juga muncul dari sisi lembaga pengelola zakat yang belum mampu menjangkau secara merata seluruh wilayah pertanian di Indonesia. Kebanyakan lembaga zakat berfokus di wilayah perkotaan atau daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, sementara daerah-daerah agraris yang luas dan terpencil justru minim pelayanan. Akibatnya, distribusi zakat pertanian menjadi tersentralisasi dan tidak merata, sehingga petani-petani di pedesaan tidak mendapatkan manfaat maksimal dari dana zakat yang seharusnya dapat meringankan beban mereka. Situasi ini menimbulkan ketimpangan dalam penerimaan manfaat zakat antara petani di pusat-pusat pertanian dan mereka yang berada di pinggiran.
Masalah ini menjadi tantangan serius yang memerlukan keterlibatan semua pihak, mulai dari pemerintah, ulama, akademisi, hingga lembaga amil zakat. Pemerintah melalui kementerian terkait harus aktif mendorong kebijakan yang mendukung perluasan jangkauan lembaga zakat ke wilayah-wilayah pertanian. Ulama dan tokoh agama memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang relevan dan mudah dipahami oleh petani, termasuk pentingnya zakat dalam konteks pembangunan ekonomi umat. Sementara itu, akademisi dan aktivis sosial juga dapat berperan dalam menyusun program edukasi yang berbasis data dan kebutuhan lokal.
Edukasi dan pembinaan kepada masyarakat tani menjadi kunci utama dalam meningkatkan kesadaran dan partisipasi mereka dalam zakat pertanian. Program-program penyuluhan yang menjelaskan secara praktis cara menghitung zakat hasil pertanian, cara menunaikannya, serta manfaat sosial dan spiritualnya, sangat diperlukan dan harus dilakukan secara berkelanjutan. Jika para petani diberikan pemahaman yang komprehensif dan didampingi secara langsung, maka akan tumbuh kesadaran kolektif bahwa zakat bukanlah beban, melainkan solusi yang akan membawa keberkahan bagi usaha pertanian mereka sendiri dan masyarakat luas.
Secara konseptual, zakat pertanian tidak hanya layak dipahami dalam kerangka ibadah yang bersifat vertikal antara individu dan Tuhan, tetapi juga harus dilihat sebagai instrumen sosial-ekonomi yang mampu menciptakan dampak produktif dan berkelanjutan. Dalam konteks pembangunan masyarakat pedesaan, zakat pertanian menyimpan potensi luar biasa untuk menjadi pengungkit perubahan jika dimanfaatkan secara strategis. Alih-alih hanya disalurkan untuk kebutuhan konsumtif, dana zakat dari sektor pertanian sebaiknya diarahkan pada program-program pemberdayaan ekonomi yang dapat meningkatkan kapasitas dan kemandirian petani serta komunitas desa secara keseluruhan.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah mengalokasikan dana zakat untuk pembangunan koperasi tani berbasis syariah. Koperasi semacam ini tidak hanya menyediakan akses permodalan dan distribusi hasil panen yang adil, tetapi juga menjadi ruang kolektif bagi petani untuk mengembangkan inovasi usaha tani. Dengan dukungan zakat, koperasi tersebut dapat memberikan bantuan modal usaha tanpa bunga, membeli hasil panen dengan harga yang wajar, serta memfasilitasi proses hilirisasi produk pertanian agar memiliki nilai tambah. Melalui pendekatan ini, zakat pertanian berperan aktif dalam membangun ekosistem pertanian yang berkeadilan dan berdaya saing tinggi.
Selain koperasi, pemanfaatan zakat juga bisa difokuskan pada pelatihan dan pendampingan diversifikasi produk pertanian. Program ini penting agar petani tidak hanya bergantung pada satu jenis komoditas, melainkan mampu mengolah hasil panen menjadi berbagai produk olahan yang bernilai ekonomis tinggi. Misalnya, dari hasil panen singkong, petani dapat memproduksi tepung mocaf, keripik, atau pakan ternak, sehingga mampu menembus pasar yang lebih luas dan tidak hanya menjual bahan mentah. Dana zakat dapat digunakan untuk menyediakan pelatihan, alat produksi, serta pembukaan jaringan pemasaran bagi produk-produk inovatif tersebut.
Ketika zakat pertanian mulai diposisikan sebagai bagian integral dari sistem ekonomi produktif di desa, maka kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi lokal akan semakin nyata. Zakat menjadi penghubung antara kewajiban spiritual dan upaya nyata untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan rumah tangga petani, dan menggerakkan roda ekonomi desa secara berkelanjutan. Dengan mekanisme pengelolaan yang akuntabel dan transparan, zakat pertanian dapat meredam ketimpangan distribusi hasil pembangunan dan mempercepat terwujudnya keadilan sosial-ekonomi di wilayah pedesaan.
Lebih jauh lagi, pendekatan produktif terhadap zakat pertanian sangat selaras dengan agenda nasional untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dan memperkuat otonomi desa. Desa tidak lagi sekadar menjadi objek pembangunan, tetapi tampil sebagai subjek yang aktif dan mandiri dalam mengelola sumber daya serta menentukan arah kemajuan mereka sendiri. Dalam konteks ini, zakat pertanian menjadi bagian dari instrumen kebijakan sosial yang mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi dari bawah, berbasis pada potensi lokal dan solidaritas sosial umat.
Zakat pertanian memegang peran penting dalam menjawab tantangan besar yang tengah dihadapi dunia, yaitu krisis pangan global dan perubahan iklim. Ketahanan pangan tidak bisa hanya dibangun melalui pendekatan teknokratik semata, melainkan juga membutuhkan pendekatan sosial-ekonomi yang menyentuh akar permasalahan di tingkat petani. Dalam konteks ini, zakat pertanian menjadi solusi berbasis kearifan lokal dan nilai keagamaan yang mampu menjangkau aspek spiritual dan material sekaligus. Melalui pengumpulan dan pendistribusian zakat yang tepat sasaran, petani kecil dapat diperkuat secara ekonomi untuk terus memproduksi bahan pangan secara konsisten, bahkan di tengah tekanan iklim dan fluktuasi pasar.
Ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas sangat bergantung pada kemampuan petani dalam mengakses modal, benih unggul, teknologi pertanian, dan infrastruktur penunjang. Sayangnya, banyak petani di Indonesia yang masih terjebak dalam siklus produksi tradisional karena keterbatasan sumber daya. Zakat pertanian yang dikelola secara profesional dapat dialokasikan untuk membantu petani dalam meningkatkan kapasitas produksi mereka. Misalnya, dengan mendukung sistem irigasi desa, membangun lumbung pangan komunitas, hingga penyediaan peralatan pertanian modern yang hemat energi. Upaya-upaya ini bukan hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekosistem pertanian dalam jangka panjang.
Dalam menghadapi perubahan iklim yang memengaruhi pola tanam dan produktivitas lahan, ketahanan petani menjadi kunci utama. Zakat pertanian dapat menjadi fondasi finansial bagi para petani untuk beradaptasi dengan kondisi baru, seperti dengan mengadopsi pertanian ramah lingkungan atau pertanian organik. Dukungan zakat memungkinkan mereka untuk mengikuti pelatihan, mengakses teknologi adaptif, dan bereksperimen dengan pola pertanian yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem. Dengan cara ini, zakat tidak hanya berperan sebagai bentuk kepedulian sosial, tetapi juga menjadi pendorong inovasi pertanian yang tangguh terhadap risiko iklim.
Pentingnya ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari aspek keadilan distribusi pangan itu sendiri. Ketika zakat pertanian digunakan untuk memperkuat kapasitas produksi petani kecil dan menengah, maka akan tercipta pasokan pangan yang merata dan harga yang lebih stabil di pasar lokal. Hal ini sangat berarti bagi kelompok masyarakat rentan yang seringkali terdampak oleh naiknya harga bahan pokok. Dengan produksi pangan yang berlimpah dan merata, masyarakat akan memiliki akses lebih besar terhadap makanan yang sehat, bergizi, dan terjangkau, sehingga berdampak positif pula terhadap kesehatan dan produktivitas nasional.
Zakat pertanian juga memiliki peran dalam memperkuat jaringan distribusi dan logistik pangan berbasis komunitas. Dengan dana zakat, lembaga-lembaga lokal dapat membangun sistem distribusi pangan langsung dari petani ke konsumen, mengurangi ketergantungan pada rantai distribusi panjang yang seringkali merugikan petani. Model ini memungkinkan petani untuk mendapatkan harga jual yang lebih adil, sementara konsumen pun memperoleh produk yang lebih segar dengan harga terjangkau. Efisiensi distribusi pangan ini memperkokoh stabilitas pasar lokal dan memperpendek jarak antara produsen dan konsumen, menciptakan sistem pangan yang lebih resilien dan inklusif.
Pembangunan ekosistem zakat pertanian yang terintegrasi tidak dapat berjalan secara optimal tanpa adanya kolaborasi lintas sektor. Lembaga zakat, dengan kapasitasnya sebagai pengelola dana umat, memerlukan dukungan dari pemerintah daerah yang memiliki otoritas dan data spasial terkait potensi pertanian dan kondisi sosial ekonomi petani. Dalam konteks ini, peran pemerintah sangat penting untuk memfasilitasi regulasi, memberikan perlindungan hukum, serta menjamin akses dan pendampingan bagi para petani yang menjadi mustahik zakat. Tanpa dukungan kebijakan dan infrastruktur kelembagaan yang memadai, pengelolaan zakat pertanian akan terhambat dan cenderung bersifat sektoral.
Perguruan tinggi memiliki posisi strategis dalam memberikan kontribusi ilmiah dan inovatif bagi pengembangan zakat pertanian. Melalui penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, kampus dapat membantu dalam melakukan pemetaan wilayah potensial zakat pertanian, merancang model perhitungan zakat yang sesuai dengan konteks lokal, serta memberikan pelatihan kepada petani dan amil zakat. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi ini akan menghasilkan pendekatan yang berbasis bukti (evidence-based) sehingga kebijakan dan program yang dijalankan lebih akurat dan berkelanjutan. Keterlibatan intelektual dari perguruan tinggi juga mampu meningkatkan kualitas tata kelola zakat secara keseluruhan.
Organisasi masyarakat sipil, terutama yang berbasis di pedesaan, dapat menjadi jembatan antara lembaga zakat dan komunitas petani. Mereka memiliki kedekatan emosional dan pemahaman kontekstual terhadap kebutuhan dan budaya lokal. Dengan keterlibatan mereka, proses edukasi dan advokasi tentang pentingnya zakat pertanian menjadi lebih efektif karena dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Selain itu, organisasi ini juga dapat turut serta dalam melakukan pengawasan dan pelaporan penggunaan dana zakat agar tetap transparan dan akuntabel. Fungsi kontrol sosial ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem zakat yang berjalan.
Sinergi antara semua pihak tersebut berpotensi menciptakan mekanisme pendataan wajib zakat pertanian yang akurat dan dinamis. Pendataan ini sangat penting untuk mengetahui siapa saja yang telah memenuhi nishab, bagaimana potensi zakat di suatu wilayah, serta menentukan prioritas distribusi zakat kepada kelompok petani yang paling membutuhkan. Sistem digitalisasi berbasis desa bisa dikembangkan untuk memperkuat proses ini, sehingga data dapat diakses secara real-time oleh lembaga zakat dan instansi terkait. Ketepatan data akan memastikan bahwa zakat disalurkan secara tepat guna dan tepat sasaran.
Dalam konteks pemberdayaan, sinergi kelembagaan dapat menyusun program intervensi yang menyeluruh mulai dari hulu hingga hilir pertanian. Zakat tidak hanya digunakan untuk membantu petani membeli sarana produksi, tetapi juga diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian melalui pengolahan pascapanen, akses ke pasar digital, dan pendampingan usaha. Program-program tersebut akan meningkatkan daya saing petani dan memperkuat ekonomi desa secara sistemik. Dengan demikian, zakat pertanian tidak hanya menjadi instrumen bantuan sementara, melainkan pendorong transformasi ekonomi jangka panjang.
Digitalisasi dalam pengelolaan zakat pertanian menjadi keniscayaan di era revolusi industri 4.0, di mana hampir semua sektor terdampak oleh perkembangan teknologi informasi. Dengan pemanfaatan teknologi digital, proses pendataan hasil panen dapat dilakukan secara lebih akurat dan real-time. Petani dapat mencatat hasil pertaniannya melalui aplikasi yang terhubung dengan sistem lembaga amil zakat, sehingga memudahkan dalam menentukan apakah hasil tersebut telah mencapai nishab atau belum. Pendataan berbasis digital ini akan mengurangi potensi kesalahan administratif dan mempermudah verifikasi data di lapangan, sekaligus meningkatkan kepercayaan petani terhadap sistem zakat yang ada.
Pembayaran zakat secara online menjadi solusi efisien bagi para petani yang tinggal di wilayah terpencil atau sulit dijangkau oleh lembaga zakat secara fisik. Melalui sistem pembayaran digital, petani tidak perlu lagi datang langsung ke kantor amil zakat, cukup dengan mengakses aplikasi yang tersedia di gawai mereka. Selain itu, sistem ini memungkinkan pembayaran dilakukan dengan aman, cepat, dan terdokumentasi dengan baik. Keuntungan lainnya adalah terbukanya akses bagi generasi muda petani yang lebih akrab dengan teknologi, sehingga mereka dapat terlibat lebih aktif dalam tata kelola zakat pertanian.
Lembaga amil zakat pun akan sangat terbantu dengan adanya sistem digital dalam pelaporan dan distribusi dana zakat. Setiap penyaluran zakat bisa dicatat dan dipantau secara transparan melalui dashboard yang dapat diakses oleh publik, pemerintah, maupun pihak-pihak berkepentingan lainnya. Dengan sistem ini, tidak hanya akuntabilitas yang meningkat, tetapi juga efisiensi operasional karena proses distribusi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat sasaran. Data penerima manfaat pun bisa diperbaharui secara berkala, menyesuaikan dengan dinamika kondisi sosial ekonomi masyarakat petani.
Salah satu nilai tambah dari digitalisasi zakat pertanian adalah kemampuannya dalam menyediakan sistem informasi yang komprehensif. Melalui data yang terkumpul, lembaga zakat dan instansi pemerintah dapat melakukan analisis mendalam terhadap pola produktivitas pertanian, tren penghasilan petani, serta perubahan kesejahteraan dari waktu ke waktu. Data ini akan menjadi dasar yang kuat untuk pengambilan keputusan, perencanaan program pemberdayaan, dan evaluasi efektivitas zakat sebagai instrumen sosial ekonomi. Dengan demikian, zakat pertanian tidak lagi dipandang sebagai bentuk amal pasif, tetapi sebagai alat transformasi yang berbasis data dan kinerja.
Pemanfaatan teknologi juga dapat menciptakan ekosistem inovasi sosial dalam pengelolaan pertanian modern. Misalnya, sistem digital zakat pertanian bisa terhubung dengan platform e-commerce pertanian, koperasi tani syariah berbasis aplikasi, atau sistem distribusi logistik hasil tani. Integrasi ini akan memperluas manfaat zakat karena tidak hanya mendukung pembiayaan petani miskin, tetapi juga membuka akses mereka ke pasar dan jaringan produksi yang lebih luas. Dalam konteks ini, zakat menjadi bagian dari ekosistem ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan segala potensinya, zakat pertanian adalah aset sosial-ekonomi yang sangat berharga. Jika dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, zakat ini dapat menciptakan siklus keberkahan—dari hasil bumi yang melimpah, lahirlah keberkahan sosial yang menjangkau petani-petani kecil, memperkuat ketahanan desa, dan mendorong keadilan ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk melihat zakat pertanian sebagai kontribusi nyata dalam mewujudkan kesejahteraan umat, bukan hanya sebagai kewajiban individu, melainkan juga sebagai bentuk solidaritas sosial dan instrumen pembangunan bangsa.