Pajak Membebani Rakyat, Islam Punya Solusi

oleh -93 x dibaca

Oleh: Amrullah Andi Faisal

 

Negara Kapitalis Pemalak Rakyat

Negara kapitalis hidup dari pajak. Tanpa pajak, Anggaran Penddapatan dan Belanja Negara (APBN) roboh. Pajak berkontribusi lebih 80 persen anggaran di banyak negara. Semua aktivitas rakyat dipajaki: kerja, makan, belanja, bahkan warisan.

Bagi rakyat kecil, pajak ini bukan lagi kewajiban. Rasanya seperti mesin pengisap darah. Pemerintah tampil bukan sebagai pelayan, tapi pemalak.

Lihat saja. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik jadi 12 persen. Barang kebutuhan pokok yang dulu bebas pajak, kini mulai diincar. Pedagang kecil dipaksa punya Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Katanya demi formalitas, padahal membuka pintu pungutan baru.

Di daerah, rakyat makin tercekik. Pajak reklame, parkir, penerangan jalan, hingga sarang walet. Semua ditarik. Tak heran, keresahan muncul di mana-mana. Warga Kabupaten Pati dan Bone melawan pajak daerah yang melangit. Beban makin berat, kantong makin tipis.

Yang lebih menyakitkan, hasil pajak tidak kembali ke rakyat. Uang dihabiskan untuk bayar utang luar negeri, bunga obligasi, serta proyek raksasa yang dinikmati segelintir konglomerat. Rakyat kecil cuma kebagian sisa.

Pajak Alat Penindasan

Kenapa rakyat melihat pajak sebagai penindasan? Ada tiga alasan jelas. Pertama, pajak tidak pandang bulu. Kaya miskin sama-sama dipalak. Buruh, petani, pedagang kecil, semua kena. PPN justru paling kejam karena menghantam yang miskin lebih keras.

BACA JUGA:  SUKSESI KEPALA DAERAH DALAM PERSPEKTIF AKADEMISI DAN AGAMA

Kedua, kenaikan pajak selalu dibenarkan dengan alasan menutup defisit. Padahal rakyat tahu: defisit lebih karena korupsi, salah kelola dan utang berbunga. Tapi rakyat yang jadi kambing hitam.

Ketiga, pajak sering dipakai sebagai alat politik. Daerah yang tidak sejalan bisa ditekan dengan aturan pajak. Sebaliknya, korporasi besar diberi pengampunan pajak dan libur pajak. Konglomerat dan asing makin untung, rakyat kian sengsara.

Negara Islam Tanpa Pajak Permanen

Islam membawa sistem yang berbeda. Negara Islam tidak menjadikan pajak permanen sebagai sumber utama. Negara punya Baitul Mal dengan sumber yang sahih menurut syariat.

Penerimaan daulah islamiyah dari ghanimah (rampasan perang), fai dan anfal (harta tanpa perang), kharaj (kewajiban dari negeri taklukan), jizyah (pungutan ringan dari kaum dzimmi), usyur (biaya masuk dari pedagang asing), kekayaan umum (tambang, minyak, gas, hutan dan laut yang dikelola negara untuk rakyat), serta zakat (ibadah wajib dengan pembagian ke delapan kelompok). Dengan semua ini, negara tidak butuh pajak permanen.

Pajak Dalam Darurat, Terbatas, Sementara

Dalam Islam, dharibah hanya ada saat darurat. Misalnya perang, bencana besar atau krisis pangan. Itu pun hanya dari orang kaya. Tidak dari rakyat miskin. Jumlahnya sebatas kebutuhan. Begitu kebutuhan selesai, pungutan berhenti.

BACA JUGA:  KEMENANGAN WAJAH BARU: MASA DEPAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN

Ulama klasik menegaskan hal ini. Al Qarafi menyebut pajak hanya untuk kondisi darurat dan hanya dari orang kaya. Umar bin Khattab mempraktikkan hal ini, yang diriwayatkan Abu Ubaid. Jelas, pajak dalam Islam bukan sumber tetap, tapi solusi darurat.

Sejarah Bicara

Sejarah membuktikan. Pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal melimpah. Pemasukan dari kharaj, jizyah, dan tambang menutupi semua kebutuhan. Umar bahkan menegaskan tiada kharaj jika tanah tidak digarap. Adil dan ringan.

Masa Umar bin Abdul Aziz lebih gemilang. Zakat sulit disalurkan karena hampir tak ada lagi yang miskin. Bandingkan dengan sekarang. Pajak jadi tulang punggung, tapi rakyat tetap miskin, utang negara menumpuk.

Kapitalisme Melawan Islam

Aspek

Kapitalisme

Islam

Sumber utama

Pajak permanen

Baitul Mal (sumber syar’i)

Pajak permanen

Ada, jadi tulang punggung

Tidak ada

Pungutan

Semua orang, tanpa pandang bulu

Hanya dari sumber syar’i; pajak darurat dari orang kaya

Kekayaan alam

Dikuasai korporasi

Dikelola negara untuk rakyat

Beban rakyat

Pajak naik terus

BACA JUGA:  Gerak Sehat, Jiwa Semangat: MPLS Hari Kedua SMKN 5 Bone Penuh Inspirasi

Rakyat tidak dikenai pungutan rutin

Tujuan

Pertumbuhan modal

Kesejahteraan dan keadilan

Solusi Islam

Realitas hari ini jelas. Rakyat Kabupaten Bone dan Pati melawan pajak yang melonjak. Di pasar tradisional, pedagang menolak aturan pajak digital. Bahkan transaksi digital dan kripto pun kini masuk radar pajak. Sampai kapan rakyat bisa bertahan?

Islam menawarkan jalan keluar dengan membangun baitul mal yang kuat. Mengelola kekayaan alam untuk rakyat, bukan asing atau swasta. Menghapus pajak permanen. Mengelola zakat secara terpusat dan syar’i. Mengambil usyur dari pedagang asing. Menghentikan utang berbunga yang membebani APBN.

Dengan sistem ini, negara bisa membiayai pendidikan, kesehatan, keamanan, dan infrastruktur. Semua tanpa harus memalak rakyat.

Penutup

Pajak dalam kapitalisme jelas-jelas jadi alat penindasan. Rakyat dipaksa bayar, manfaatnya minim. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Islam memberi solusi. Negara tidak hidup dari pajak. Pajak hanya ada saat darurat, terbatas, dan sementara. Bukan beban rutin rakyat.

Karena itu, sudah waktunya kapitalisme ditinggalkan. Saatnya kembali pada sistem Islam yang menyejahterakan. Saatnya tegak Khilafah yang mengelola harta sesuai syariat.

Dengan begitu, pajak tidak lagi jadi momok. Rakyat bebas dari cekikan. Keadilan dan kesejahteraan bisa dirasakan semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.