Penulis : Andi Khaerul Amri (Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta)
—————————————————
Saya membaca berita terkait program yang dilakukan oleh Kang Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat, mengirim sejumlah remaja ke barak militer sebagai bentuk pembinaan. Ternyata, langkah ini menuai pro dan kontra. Sebagian memuji sebagai pendekatan tegas dan
cepat untuk menangani kenakalan remaja. Sebagian lain mengkritiknya karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak.
Namun, di balik polemik itu, kita seharusnya bertanya lebih dalam: benarkah mereka
hanya nakal ?. Atau justru mereka adalah anak-anak yang tumbuh dalam ruang kosong pengasuhan, pendidikan, dan kasih sayang negara?.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada sekitar 16.000 anak jalanan di Indonesia. Mereka ibarat benih penerus bangsa yang terhempas di sela-sela trotoar, tumbuh di tengah debu dan serap kaki yang lalu lalang. Mereka adalah tunas yang tak sempat merasakan hangatnya matahari pagi yang merawat akar, dan dipaksa menjadi bunga yang mekar di tengah aspal panas dan tatapan sinis.
Jika kita terus membiarkan mereka layu dalam kegelapan, maka negeri ini akan menjadi taman yang pincang, sebagian mekar dalam pot keramik sekolah elit, sebagian lainnya tersesat di ilalang yang diinjak-injak tanpa pernah tahu caranya berbunga.
Setiap anak yang terlupakan adalah akar yang rapuh. Suatu hari, ia bisa menjadi retakan besar yang merobohkan tembok keadilan dan harapan bangsa. Tapi jika kita membungkuk, memberi seteguk perhatian, maka dari retakan itu akan tumbuh bunga liar yang mengajarkan kota tentang ketahanan.
Merawat mereka bukan sekadar memungut daun kering. Melainkan menanam kembali hutan yang suatu hari akan menjadi nafas bagi semua. Kenakalan remaja bukanlah gejala tunggal yang muncul tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari sistem yang gagal. Gagal memberikan pendidikan yang membentuk karakter, gagal
menyediakan ruang aman untuk bertumbuh dan gagal memelihara keluarga sebagai akar moral yang sehat.
Saat remaja ditarik ke barak militer demi “Pendisiplinan,” kita patut bertanya: di mana negara selama ini ?. Di mana sekolah, guru, penyuluh sosial, dan perlindungan anak ketika
mereka mulai terjatuh ?. Disiplin keras bisa menimbulkan efek kejut. Tapi tanpa pendampingan, tanpa pendidikan, tanpa
cinta yang menyentuh akar, mereka akan kembali ke jalanan yang sama, hanya dengan luka baru. Yang mereka butuhkan bukan sekadar perintah baris-berbaris, tapi arah hidup, makna dan penerimaan.
Negeri ini terlalu sering marah pada buah, tapi enggan menengok akar. Kita buru-buru menghukum, tapi lamban membina. Jika bangsa ini sungguh ingin menyelamatkan generasi mudanya, perbaiki sistemnya. Hadirkan
sekolah yang membentuk jiwa, bukan sekadar mengejar nilai. Kuatkan keluarga, sediakan konselor, buka ruang kreatif dan biarkan mereka tumbuh sebagai manusia, bukan mesin, bukan musuh dan bukan beban. Karena sesungguhnya, mereka bukan nakal. Mereka hanya terlalu lama hidup tanpa disapa.







