Oleh : Andi Khaerul Amri
(Mahasiswa Pengurus BEM Universitas PTIQ Jakarta)
________________________________
Menaikan tarif pajak tanpa menghapus kemiskinan struktural itu sama dengan perampokan. Nilai kurs rupiah terkoreksi terjun bebas ke angka Rp16.000, melemahnya rupiah ini tentunya akan berdampak pada daya beli masyarakat. Namun disaat bersamaan, justru pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dengan menaikan pajak PPN 12%. Alasannya kenaikan PPN tersebut adalah untuk menggenjot pemasukan negara via pajak yang konon akan digunakan sebagai instrumen pembiayaan kebijakan strategis Negara.
Pada 1 Januari 2025, pajak kita akan naik dari 11% ke 12%. Kesannya memang sedikit, namun kenyataannya kenaikan harga bisa melonjak hingga 9%. Ini bukan sekadar angka, ini adalah beban yang semakin mencekik kehidupan masyarakat. Kenaikan pajak ini akan membuat kita semakin sulit, di tengah kenyataan bahwa masih banyak pengangguran, lapangan pekerjaan semakin sulit ditemukan, dan kondisi ekonomi tidak juga membaik. Sementara itu, harga-harga terus melambung. Mulai dari harga makanan pokok hingga layanan langganan digital seperti Netflix dan Spotify, semuanya akan menjadi lebih mahal.
Disaat rakyat berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, uang pajak yang terkumpul tidak pernah terasa manfaatnya untuk mereka. Sebaliknya, pajak yang mereka bayar digunakan untuk membayar buzzer yang memperburuk wacana publik, untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) yang kontroversial dan dinilai banyak kalangan sebagai proyek yang jauh dari urgensi, dan bahkan mungkin untuk membeli peluru yang digunakan polisi untuk menembak rakyatnya sendiri. Rakyat yang berjuang dengan keras untuk bertahan hidup justru menjadi korban dari kebijakan yang seharusnya untuk mensejahterakan mereka.
Apakah memang benar pajak ini digunakan untuk pembangunan yang berpihak pada rakyat? Atau justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang tidak jelas manfaatnya bagi kemakmuran bersama? Mengapa kita harus membayar harga yang tinggi untuk kebijakan yang lebih terlihat sebagai pemborosan dan ketidakpedulian terhadap rakyat yang tengah berjuang keras? Ke mana sebenarnya arah pembangunan negeri ini jika kebijakan yang diambil malah semakin memperburuk kualitas hidup sebagian besar rakyat ?