Transparansi Gelap, Sosialisasi Gagal: Proyek Runway Bone Dianggap Bermasalah Sejak Awal

oleh -490 x dibaca

Anggaran Dikejar, Rakyat Dikucilkan: Misteri Pemaksaan Pembebasan Lahan Runway Bone

WATAMPONE, TRIBUNBONEONLINE.COM–Gelombang penolakan Masyarakat Desa Mappoloulaweng terhadap sosialisasi pembebasan lahan untuk pengembangan runway Bandara Bone kembali mencuat.

Beberapakali sosialisasi dilakukan, baik di kantor pemerintah maupun di halaman masjid sekitar bandara namun semuanya berujung aksi walk out warga. Ini menjadi sinyal kuat bahwa ada masalah serius dalam cara pemerintah menangani proses tersebut.

Bagi warga Mappoloulaweng, tanah yang hendak dibebaskan bukan hanya sekadar lahan. Itu adalah sumber utama penghidupan, tempat mereka bertani sejak turun-temurun, sekaligus ruang hidup yang mencakup pemukiman, akses jalan, serta nilai historis yang dianggap tak ternilai.

BACA JUGA:  Danyon Brimob Bone Jadi Asessor Dalam Uji Kompetensi Projab Wakapolres Pelabuhan Makassar 

Pemerintah seolah menutup mata terhadap dimensi-dimensi penting ini. Aktivis PB HMI, Pahrian, menilai langkah pemerintah bukan hanya tergesa-gesa, tetapi memperlihatkan wajah pemerintah yang gagal menempatkan diri sebagai pelayan rakyat.

“Informasi yang kami dapat, anggaran runway ini dipaksa selesai pada Desember 2025. Pemerintah terlihat buru-buru melakukan sosialisasi, terkesan memaksa, dan masyarakat pun melawan,” ucapnya.

Lebih jauh, Pahrian mengungkapkan bahwa, ia bersama sejumlah aktivis telah melakukan konsolidasi untuk mengawal hak-hak warga. Keluhan masyarakat kian memperjelas bahwa proses ini sarat ketidakterbukaan. Bahkan, komitmen pembangunan runway sebelumnya masih menyisakan komitmen yang belum dipenuhi pihak bandara.

BACA JUGA:  Harga Komoditas Masih Berfluktuasi, IPH Sinjai Turun 0,71 Persen

Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin pemerintah memaksakan proyek baru, sementara komitmen lama saja belum diselesaikan? Yang paling mengkhawatirkan, beberapa warga mengaku siap mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan tanah leluhur mereka. Ini adalah alarm keras bahwa pendekatan pemerintah sudah masuk pada tahap mengancam stabilitas sosial, bukan lagi sekadar proyek pembangunan.

Dua kali sosialisasi, dua kali penolakan. Warga walk out. Pemerintah tetap mendesak. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Pemda Bone terlihat begitu ngotot? Apakah tekanan anggaran membuat pemerintah mengabaikan etika, keselamatan, dan martabat warganya sendiri? Apakah ada tujuan tertentu yang belum disampaikan ke publik?

BACA JUGA:  Gandeng Inspektorat dan Dinas PMD, KPP Pratama Gelar .onev untuk Bendahara Desa se Kabupaten Bone

Mengapa aspirasi masyarakat tidak menjadi dasar pengambilan keputusan? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin relevan ketika pola yang muncul adalah tergesa-gesa, tidak transparan dan tidak mengindahkan suara warga setempat. Jika pemerintah ingin disebut menjalankan pembangunan untuk rakyat, maka langkah-langkah yang ditempuh saat ini justru menunjukkan arah sebaliknya.

“Warga Mappoloulaweng hanya meminta satu hal yakni, dihargai, didengar dan dilindungi. Namun ketika pemerintah lebih memilih percepatan anggaran daripada kepentingan rakyat, wajar bila publik mempertanyakan: Ada apa sebenarnya di balik pemaksaan pembebasan runway Bandara Bone ini,” tandasnya. (@co)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.