Oleh : Fajar, S.HI., M.Sos.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone
Struktur sebagai basis material – yang mencakup sistem ekonomi, relasi produksi, serta distribusi kekayaan – menjadi fondasi yang menentukan bentuk suprastruktur yaitu budaya, hukum, agama, dan politik, bahkan kesadaran manusia. Dalam perspektif filsafat sejarah Marx, perubahan struktur ekonomi selalu menghasilkan perubahan dalam konfigurasi kekuasaan sosial. Ketika masyarakat berada dalam fase produksi agraris, kelompok dominan biasanya adalah tuan tanah, elit bangsawan, dan elite aristokrasi lokal, karena mereka menguasai lahan sebagai basis utama produksi. Namun ketika struktur ekonomi bergerak menuju industri, dan bahkan kini memasuki fase ekonomi digital, posisi dominan tidak lagi dipegang oleh tuan tanah, tetapi oleh pemilik modal, pelaku industri, serta mereka yang menguasai sarana produksi modern dan teknologi informasi. Transformasi basis material inilah yang secara otomatis menggoyahkan legitimasi kelompok-kelompok tradisional dan melahirkan elite baru yang memiliki akses pada kapital finansial, jaringan pasar, serta kemampuan mengoperasikan produksi modern. Dengan demikian, ketika struktur ekonomi berubah, struktur kekuasaan – beserta kelas yang mendominasinya – akan bergeser pula.
Demikian kekalahan dua Pasangan Calon Bupati pada Pilkada Bone 2024 lalu seperti Andi Islamuddin-Andi Irwandi Natsir dan Andi Rio Idris Padjalangi-Amir Mahmud, dapat dibaca dalam kerangka perubahan struktur ekonomi tersebut. Keduanya bertumpu pada suprastruktur atau modal budaya berupa kebangsawanan, silsilah elite tradisional, serta pengalaman birokratis yang besar dalam logika suprastruktur politik lama. Mereka lupa bahwa struktur ekonomi masyarakat Bone kini tidak lagi didominasi oleh ekonomi agraris tradisional, melainkan semakin dipengaruhi oleh industri jasa, perdagangan modern, dan teknologi digital yang membentuk cara baru masyarakat bekerja, berproduksi, dan mencari kesejahteraan. Karena itu, kampanye berbasis nostalgia kebangsawanan atau senioritas birokratis tidak lagi memiliki daya hegemonik yang kuat dalam masyarakat yang telah mengalami reorientasi struktur ekonomi. Sementara pasangan pemenang Andi Asman Sulaeman mampu membaca perubahan struktur tersebut dan memposisikan diri sebagai representasi kelas baru yang sedang tumbuh, dua paslon lainnya bertahan pada simbol-simbol kekuasaan lama yang makin kehilangan basis materialnya.
Tentu jika elite tradisional kebangsawanan ingin kembali memiliki peran dominan dalam ekonomi dan politik lokal, mereka harus melakukan reorientasi besar-besaran terhadap basis kekuasaan mereka. Pertama, mereka harus bertransformasi dari sekadar pemilik modal budaya (simbol status kebangsawanan) menjadi pemilik atau pengelola modal produktif, terutama dalam sektor industri kreatif, agribisnis modern, digital economy, dan investasi jangka panjang. Kedua, mereka perlu membangun aliansi strategis dengan kelas menengah baru, pengusaha lokal, dan generasi muda yang melek teknologi, sehingga mereka tidak terjebak dalam isolasi kultural. Ketiga, mereka harus mengembangkan literasi digital, inovasi ekonomi, dan kemampuan manajerial agar dapat bersaing dalam struktur produksi modern. Dengan demikian, kaum bangsawan dapat menciptakan blok historis baru – menggabungkan warisan budaya dengan kekuatan material modern – sehingga kembali relevan dalam dinamika ekonomi politik kontemporer.
Sebagai bukti empiris, kasus Andi Tenri Walinonong yang akrab dengan sapaan ATW memperlihatkan bahwa terpilihnya sebagai anggota legislative sekaligus Ketua DPRD Bone dengan perolehan suara 7.828, tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh faktor budaya atau simbolik, tetapi lebih tepat dibaca melalui keterhubungannya dengan struktur ekonomi yang menopang posisi politiknya. ATW bukan hanya dikenal sebagai perempuan pertama yang berhasil menduduki jabatan tersebut atau sebagai salah satu anggota DPRD termuda, melainkan juga sebagai actor politik dengan basis ekonomi yang kuat karena keterlibatannya dalam berbagai usaha modern dan jaringan perdagangan kontemporer. ATW bukan hanya sebagai aktor politik, tetapi ia juga dikenal melalui perannya dalam mengelola berbagai unit usaha modern – mulai dari Swalayan Putri Timusu, Malebbi Signature, hingga posisinya sebagai Direktris CV Putri Timusu. Bahkan ia aktif sebagai manajer ATW FC menunjukkan bagaimana ia memanfaatkan ranah olahraga sebagai ruang produksi simbolik, sosial, dan ekonomi sekaligus. Dengan kata lain, sadar atau tidak disadari – ATW bukan sekadar mengikuti arus sejarah, tetapi sedang memposisikan dirinya sebagai bagian dari kelas yang membentuk arah sejarah itu sendiri. Modal ekonomi ini memperbesar kapasitasnya untuk membangun jaringan politik yang efektif, membiayai aktivitas politik, serta mempertahankan loyalitas konstituen.
Disamping dukungan dari partai politik penguasa – Gerindra – semakin memperkuat kedudukannya sebagai bagian dari suprastruktur politik yang selaras dengan basis material yang ia kuasai. Dengan demikian, posisi ATW menggambarkan tesis Marx bahwa kekuasaan politik merupakan cerminan dari relasi produksi yang dominan dalam masyarakat; mereka yang menguasai sarana produksi, baik fisik maupun digital, cenderung menjadi aktor yang menentukan arah politik.
Secara teoretis maupun praktis – kedepannya, masa depan kepemimpinan di Kabupaten Bone akan selalu ditentukan oleh kelompok-kelompok yang suprastruktur politiknya selaras dengan dinamika basis material masyarakat. Perlu disadari, bahwa saat ini, kita berada dalam fase baru perkembangan ekonomi: era post-industri, di mana produksi tidak lagi bertumpu pada barang fisik, melainkan pada informasi, data, algoritma, dan jaringan digital. Relasi produksi modern tidak lagi terikat pada kepemilikan lahan atau pabrik, tetapi pada kemampuan menguasai teknologi, memanfaatkan platform digital, dan mengelola kapital data. Aktor yang mampu mengintegrasikan diri ke dalam ekosistem digital inilah yang memiliki peluang paling besar untuk menguasai suprastruktur politik masa depan, termasuk pada level lokal seperti Kabupaten Bone.
Dalam lanskap ekonomi baru ini, konsep “aset” mengalami perubahan mendasar. Jika pada era agraris dan era industri aset dipahami sebagai kepemilikan fisik – tanah yang luas, pabrik, atau infrastruktur modal lainnya – maka di era pos industri kini aset dipandang dalam bentuk property digital. Kekayaan modern diwujudkan melalui kepemilikan platform digital seperti Lazada, Shopee, Tokopedia, Gojek, Grab hingga aset non-fisik berupa akun media sosial (facebook, Instagram, tiktok, dll) yang memiliki pengaruh besar. Akun media sosial dengan jutaan pengikut memiliki nilai ekonomi yang dapat dimonetisasi melalui promosi, kolaborasi, dan transaksi digital. Kapital simbolik dan kapital sosial yang dihasilkan di ruang digital dapat dikonversi menjadi kapital ekonomi yang nyata. Perubahan ini melahirkan kelas pekerja baru: affiliator, konten kreator, influencer, driver ojol, dan pengelola ekosistem digital yang mendapatkan penghasilan melalui monetisasi, iklan, dan kerja-kerja berbasis algoritma. Inilah bentuk konkret dari “kelas digital” yang perlahan-lahan menggeser kelas ekonomi tradisional dalam struktur masyarakat lokal.
Transformasi ekonomi digital ini memiliki konsekuensi langsung terhadap politik lokal. Kelompok suprastruktur bangsawan yang selama ini mengandalkan legitimasi genealogis kebangsawanan dan modal budaya tradisional, jika ingin mengambil kembali atau mempertahankan kekuasaan di Bone, mau tidak mau harus bertransformasi mengikuti basis material yang baru. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan narasi status, kehormatan silsilah, atau dominasi simbolik semata – karena kedepannya dominasi politik di era digital ditentukan oleh kemampuan mengakses, menggerakkan, dan mengakumulasi kapital digital. Contoh ATW memperlihatkan bagaimana aktor dari latar bangsawan dapat menyesuaikan diri dengan struktur ekonomi sebagai basis material Masyarakat Bone saat ini. Ia tidak hanya bertumpu pada status sosial, tetapi aktif terlibat dalam usaha-usaha modern yang tidak menutup kemungkinan sudah terhubung dengan ekosistem ekonomi digital. Dengan mengintegrasikan modal tradisional dengan modal ekonomi baru, ATW mampu memetakan ulang posisinya dalam struktur kekuasaan politik lokal.
Dengan demikian, arah politik Bone ke depan akan ditentukan oleh aktor yang mampu mensinergikan suprastruktur politik dengan basis material ekonomi digital. Mereka yang menguasai jaringan produksi baru – apakah itu melalui platform digital, kapital data, jejaring ekonomi digital, atau pengaruh sosial media – akan berada pada posisi strategis untuk menentukan corak kepemimpinan di masa mendatang. Sebaliknya, kelompok yang menolak bertransformasi akan terpinggirkan secara struktural karena tidak mampu mengikuti perubahan mode produksi yang menjadi fondasi kekuasaan dalam masyarakat pos industri. Bone, seperti wilayah lain di Indonesia, kini memasuki babak baru politik lokal yang tidak lagi bergantung pada struktur tradisional, melainkan pada dinamika ekonomi digital yang semakin menjadi penentu utama relasi kekuasaan.
Dengan melihat konfigurasi tersebut, ATW dapat menjadi salah satu figur kunci dalam masa depan politik Kabupaten Bone selama suprastruktur budaya dan politik yang melekat pada dirinya tetap terhubung dengan basis material ekonomi yang sedang berkembang. Jika ATW mampu memperbesar dan memperluas jaringan ekonomi dan akumulasi bisnisnya ke dalam ekosistem ekonomi digital – baik melalui pemanfaatan platform dagang, kapital data, maupun pengaruh media sosial – maka ia berpotensi besar menemukan momentum sejarah yang akan mendorong dirinya tampil sebagai pengendali politik lokal. Fenomena ini serupa dengan kemunculan Andi Asman Sulaeman sebagai elite baru – Bupati terpilih, yang posisinya menguat justru bukan karena faktor budaya (kebangsawanan) tetapi karena bertemunya basis material yang kuat dengan momentum sejarah yang menguntungkan berupa jejaring ekonomi politik. Dengan demikian, masa depan politik Bone akan sangat ditentukan oleh aktor yang mampu menyelaraskan modal budaya, modal ekonomi, dan dinamika historis; dan ATW memiliki peluang yang signifikan untuk menjadi figur sentral dalam konfigurasi tersebut.
Saat ini, ATW tidak hanya merepresentasikan suprastruktur budaya yang berakar pada nilai-nilai lokal dan simbol sosial, tetapi sekaligus mencerminkan struktur ekonomi baru yang sedang tumbuh di masyarakat Bone. Inilah yang menjadikan kedudukan politiknya saat ini sangat strategis. Ia bukan hanya tampil sebagai representasi politik perempuan, tetapi juga sebagai simbol konkret kesetaraan politik antara laki-laki dan perempuan dalam ruang kekuasaan yang selama ini didominasi oleh elite laki-laki. Oleh karena itu, ATW dapat dilihat sebagai bagian dari masa depan politik Bone, terutama ketika modal budaya, modal sosial, dan modal ekonominya semakin berjalin dalam satu konfigurasi kekuasaan yang relevan dengan perkembangan basis material Masyarakat Bone.
Sebagai bentuk spekulasi imajiner yang mungkin terdengar pragmatis – namun tetap berlandaskan analisis struktural, pada tahun politik mendatang tidak menutup kemungkinan ATW akan dipersatukan dengan Andi Asman Sulaeman. Pertemuan dua figur ini – Andi Asman Sulaeman sebagai representasi elite ekonomi – politik baru, dan ATW sebagai figur yang menggabungkan suprastruktur budaya dengan basis material ekonomi modern – dapat menjadi formula politik yang sangat kuat. Jika konstelasi ini terjadi, maka hal tersebut bukan hanya menjadi strategi elektoral, tetapi juga langkah awal bagi ATW untuk melangkah menuju kursi Bupati Bone sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi tersebut. Dengan demikian, masa depan politik Bone tidak lagi semata ditentukan oleh modal tradisional, tetapi oleh kemampuan aktor politik seperti ATW untuk memanfaatkan momentum sejarah dan basis material guna membentuk arah kepemimpinan baru yang lebih setara dan progresif.
Memang, tidak sedikit yang mungkin bersikap skeptis atau bahkan menolak spekulasi imajiner tersebut. Keraguan semacam itu wajar muncul, terutama dalam konteks politik lokal yang sering dianggap sulit berubah dan masih dipengaruhi struktur sosial tradisional. Namun, dalam perspektif Marx, sejarah selalu terbuka bagi kemungkinan baru selama dua syarat utama terpenuhi: perubahan dalam struktur ekonomi dan hadirnya momentum sejarah yang memungkinkan artikulasi kekuatan-kekuatan baru. Ketika basis material masyarakat berubah – dari agraris ke industri, dari ekonomi fisik ke ekonomi digital – maka superstruktur politik pun berpotensi mengalami pergeseran. Jika momentum sejarah berpihak pada aktor tertentu, maka figur yang sebelumnya dianggap kecil kemungkinannya dapat muncul sebagai kekuatan politik dominan. Oleh karena itu, spekulasi mengenai masa depan ATW bukanlah fantasi kosong, tetapi suatu kemungkinan historis yang dapat terwujud apabila kondisi material dan dinamika historis di Bone bergerak pada arah yang sama.
Dalam konteks inilah, ATW dapat disebut sebagai figur yang memiliki posisi historis unik karena ia mampu menjembatani dua ranah yang selama ini sering terpisah: struktur ekonomi yang terus berubah dan suprastruktur budaya yang masih menjadi identitas kolektif masyarakat Bone. Jika ia berhasil mempertahankan keseimbangan tersebut – yakni tetap berakar pada legitimasi budaya, tetapi sekaligus adaptif dan relevan dengan ekonomi digital yang sedang berkembang – maka peran politiknya ke depan bukan hanya bersifat representasional, tetapi juga transformasional. Ia dapat menjadi model baru elite politik Bone: bukan lagi sekadar keturunan bangsawan atau pemilik modal tradisional, melainkan aktor hybrida yang menggabungkan modal simbolik dan modal material secara dialektis. Inilah yang dimaksudkan “tarian ATW di antara struktur ekonomi dan suprastruktur budaya” – itu tidak hanya efektif secara politik, tetapi juga relevan dengan basis material masyarakat. Namun, jika adaptasi ini gagal dilakukan, maka sangat memungkinkan gelar kebangsawanan dan simbol-simbol budaya yang melekat padanya akan kehilangan daya politiknya dan hanya akan menjadi ingatan historis di tengah percepatan perubahan struktur ekonomi. Pada titik itu, sejarah tidak hanya bergerak maju tanpa elit tradisional – bangsawan, tetapi juga menutup bab lama tentang politik genealogis – menandai sebuah “akhir Sejarah politik lokal-tradisional” di mana kekuasaan ditentukan bukan oleh garis keturunan, melainkan oleh kemampuan menguasai mode produksi baru. ATW, karena itu, berdiri bukan hanya sebagai figur politik, tetapi sebagai penanda persimpangan sejarah Bone.
Penting ditegaskan bahwa seluruh uraian ini bukanlah ramalan kosong tanpa dasar historis, melainkan prediksi yang bertumpu pada cara pandang filsafat Sejarah – khususnya dalam kerangka materialisme historis Marx. Sejarah tidak bergerak berdasarkan kehendak individu, tetapi mengikuti perubahan struktur ekonomi yang kemudian menggeser formasi kekuasaan dan elit dominan dalam masyarakat. Hal ini bukan sekadar narasi teoritis, tetapi fakta empiris yang dapat kita amati hari ini melalui kemunculan elite politik baru seperti Andi Asman Sulaeman dan ATW, yang posisinya menguat bukan karena garis keturunan semata, tetapi karena ia hadir dalam irama perubahan ekonomi baru dan mampu memanfaatkannya. Pola historis ini tidak berhenti pada satu figur, melainkan akan terus berulang pada tahun-tahun politik mendatang seiring perubahan basis material masyarakat Bone. Dalam lanskap tersebut, figur yang paling rasional untuk mengisi ruang momentum sejarah itu pada saat ini dan tahun politik mendatang adalah ATW – karena ia tidak hanya memiliki modal budaya yang relevan, tetapi juga terhubung dengan mode ekonomi yang menjadi fondasi kekuasaan politik masa depan. Dengan demikian, masa depan politik Bone dapat dibaca bukan sebagai ketidakpastian, tetapi sebagai kelanjutan logis dari perubahan struktur ekonomi dan relasi kekuasaan yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, benarlah tesis Marx bahwa “sejarah manusia hanyalah gambaran dari hubungan produksi dan basis material masyarakat.” Sejarah bukan rangkaian kebetulan, bukan pula hasil kehendak personal semata, melainkan refleksi dari perubahan cara manusia memproduksi, mendistribusikan, dan mengelola sumber-sumber ekonomi. Sejarah tidak menunggu; ia bergerak bersama perubahan material. Pertanyaannya kini adalah: siapa yang mampu bergerak bersamanya?







