Kemiskinan dan Pemiskinan

oleh -424 x dibaca

Oleh: Affandy, S.Sos – Wartawan Tribun Bone

KEMISKINAN

Di tengah derasnya arus pembangunan dan digitalisasi, kemiskinan masih menjadi bayang-bayang panjang di tubuh bangsa ini. Ia hadir di antara jalan-jalan kota dan perkampungan yang jauh dari hiruk-pikuk kemajuan, menjadi pengingat bahwa tidak semua rakyat menikmati hasil dari pertumbuhan yang selama ini berjalan.

Kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang atau rumah tangga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan, baik karena keterbatasan ekonomi maupun faktor lainnya. Ini bukan hanya persoalan kurangnya pendapatan, tetapi juga soal terbatasnya akses terhadap sumber daya, layanan kesehatan, serta kesempatan yang layak untuk mencapai standar hidup yang bermartabat.

Dalam konteks bangsa yang besar dan kaya sumber daya seperti Indonesia, kemiskinan menjadi potret paradoks: di satu sisi ada kemajuan, di sisi lain masih ada rakyat yang hidup dalam kekurangan struktural.

Lebih dari sekadar keadaan ekonomi, kemiskinan adalah hasil dari sistem sosial yang belum sepenuhnya adil. Ia tumbuh di antara kebijakan yang sering berpihak pada pemodal besar, sementara kelompok kecil di akar rumput hanya menjadi penonton dari geliat pembangunan.

Ketimpangan distribusi kekayaan memperlebar jarak antara yang berpunya dan yang berjuang, membuat kemiskinan bukan lagi sekadar angka statistik, melainkan realitas menahun yang menggerogoti, bahkan membentuk karakter sosial masyarakat.

Namun, kemiskinan juga bukan kondisi yang harus diterima begitu saja. Ia sering kali bertahan karena pola pikir yang salah, dimana ketika kemiskinan dianggap bagian dari nasib, bukan sesuatu yang bisa diubah. Pola pikir pasrah membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran yang sama: menunggu bantuan tanpa mengupayakan perubahan.

BACA JUGA:  MAULID NABI DAN TANTANGAN PERADABAN: MENANAMKAN AKHLAK DI ERA TEKNOLOGI

Padahal, kemajuan berawal dari kesadaran bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk bangkit, selama diberi ruang, kepercayaan, dan akses yang setara.

Oleh karena itu, kemiskinan harus dipandang sebagai persoalan kemanusiaan, keadilan sosial, dan kesadaran berpikir. Menghapus kemiskinan berarti membebaskan manusia dari keterbatasan sistem dan belenggu mentalitas fatalistik. Diperlukan keberanian moral, kebijakan yang berpihak, serta revolusi cara pandang agar bangsa ini tidak hanya bangga dengan pertumbuhan angka, tetapi juga dengan meningkatnya martabat dan daya juang warganya yang selama ini hidup dalam garis kemiskinan.

Pemiskinan pemiskinan adalah proses yang membuat seseorang atau kelompok kehilangan kemampuan ekonomi, sosial, maupun politiknya hingga terperangkap dalam kondisi miskin. Ia tidak terjadi tiba-tiba, melainkan lahir dari sebab yang disengaja maupun akibat dari kebijakan yang tidak berpihak. Jika kemiskinan adalah hasil, maka pemiskinan adalah proses, sebuah rantai sebab-akibat yang menjerat rakyat kecil di bawah bayang-bayang kepentingan yang lebih besar.

Dalam banyak kasus, pemiskinan terjadi karena struktur sosial dan ekonomi yang timpang. Akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan modal dikuasai oleh segelintir kelompok, sementara masyarakat di lapisan bawah hanya menerima sisa dari sistem yang tak memberi ruang. Upah buruh yang tak sebanding dengan biaya hidup, serta sistem kerja kontrak yang tidak memberi jaminan kesejahteraan jangka panjang, menjadi contoh nyata bagaimana buruh atau rakyat pekerja terus berada dalam lingkaran ketidakpastian.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (9/Selesai): MENDUKUNG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PEMBIAYAAN MIKRO

Penggusuran tanpa solusi, monopoli sumber daya, hingga birokrasi yang berbelit jauh dari perwujudan “Good Governance” juga memperparah keadaan, membuat kemandirian rakyat terkikis dan ketergantungan pada sistem semakin dalam. Pemiskinan, dengan demikian, bukan semata-mata kegagalan individu, melainkan produk dari ketidakadilan struktural.

Namun, proses pemiskinan juga bisa muncul dari perilaku sosial dan budaya kita sendiri. Ketika masyarakat mulai terbiasa dengan mentalitas saling menjatuhkan, iri, dan julid terhadap upaya atau keberhasilan orang lain, terbentuklah pola pemiskinan moral, di mana energi kolektif tidak lagi digunakan untuk maju bersama, melainkan untuk menarik sesama ke bawah.

Pemiskinan semacam ini tak kalah berbahaya, karena ia membunuh harapan dan solidaritas sesama dari dalam diri bangsa.

Maka, melawan pemiskinan berarti melawan sistem dan pola pikir yang melanggengkannya. Diperlukan kesadaran kolektif, keadilan kebijakan, dan keberanian untuk mengubah arah pembangunan agar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada angka. Pemiskinan harus disadari sebagai bentuk kekerasan sosial yang halus, yang hanya bisa dihentikan bila keberpihakan menjadi bagian dari nurani bangsa atau kita secara bersama – sama.

BACA JUGA:  DEKLARASI NEW YORK KHIANATI SYUHADA PALESTIN

Idealnya, jika kemiskinan benar-benar ingin dihapus, bahkan di tengah meningkatnya angka kemiskinan ekstrem yang masih menghantui negeri ini, dibutuhkan kemauan pemimpin yang berani dan mampu melawan belenggu tirani. Bukan justru berbalik menjadi pemimpin yang tak mampu mengendalikan diri, dan tanpa sadar melakukan “pemiskinan” dalam bentuk kebijakan yang menindas maupun kepentingan yang membungkam keadilan serta membatasi kreativitas rakyatnya untuk bertumbuh lewat interaksi sosial. Dengan dilandasi perbedaan politik atau ideologi yang masih belum selesai sampai saat ini.

Namun, keberanian pemimpin saja tidak cukup. Diperlukan pula kesadaran massif dari setiap individu, untuk menjadi bagian dari solusi, bukan sumber persoalan. Masyarakat yang bijaksana akan memilih menjadi motivator perubahan, bukan provokator perpecahan. Sebab tanpa disadari, merekalah yang menentukan arah kemajuan atau kemunduran suatu bangsa, melalui tindak – tanduk buruk yang dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam sektor ekonomi, sosial, maupun pembangunan sumber daya manusia.

Olehnya itu hanya ada satu kata, mari bangkit dan bertumbuh. Jangan lupa, sesama manusia seharusnya saling tolong menolong, bukan saling menjerumuskan serta mari kembali ke marwah manusia yang berakhlak dan budi pekerti baik, yang saat ini hilang dalam diri kita, menuju negeri yang memiliki karakter, agar kita secara bersama bukan mewariskan kemiskinan bagi negeri ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.