GELOMBANG AKSI MASSA: SUARA RAKYAT MENGGEMA DI JALANAN

oleh -3,278 x dibaca
Penulis: Prof. Syaparuddin

Oleh: Prof. Syaparuddin, Guru Besar IAIN Bone daalm Bidang Ekonomi Syariah

 

GELOMBANG aksi massa yang merebak di berbagai wilayah akhir-akhir ini menunjukkan betapa kuatnya suara rakyat ketika mereka merasa aspirasi tidak terakomodasi. Jalanan menjadi ruang publik tempat masyarakat mengekspresikan keresahan, tuntutan, sekaligus harapan akan perubahan. Fenomena ini mencerminkan dinamika demokrasi yang hidup, di mana protes menjadi saluran sah untuk menyampaikan aspirasi, meski seringkali diwarnai ketegangan.

Aksi-aksi demonstrasi tidak pernah lahir dalam ruang hampa, melainkan berangkat dari persoalan nyata yang menekan kehidupan masyarakat sehari-hari. Ketika harga kebutuhan pokok meroket dan tidak diimbangi dengan daya beli yang memadai, keresahan itu tidak bisa lagi ditahan di ruang privat rumah tangga. Suara-suara kecil yang awalnya hanya berupa keluhan di pasar atau di ruang keluarga, berkembang menjadi seruan bersama di ruang publik. Demonstrasi dengan demikian menjadi bahasa kolektif untuk menyuarakan beban yang dirasakan banyak orang.

Kebijakan fiskal yang dianggap memberatkan juga turut memperkuat gelombang protes tersebut. Pajak yang dirasa tidak adil, subsidi yang dipangkas, atau alokasi anggaran yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil, menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu menyulut amarah sosial. Masyarakat menilai bahwa beban ekonomi semakin berat, sementara hasil dari kebijakan itu tidak terlihat nyata dalam perbaikan taraf hidup mereka. Inilah yang memperkuat rasa ketidakpuasan dan mendorong rakyat turun ke jalan.

Selain persoalan ekonomi, isu transparansi dan akuntabilitas pemerintahan menambah panjang daftar alasan munculnya aksi massa. Banyak kebijakan publik yang dirumuskan tanpa keterlibatan rakyat, sehingga menimbulkan kesan elitis dan jauh dari kebutuhan riil masyarakat. Ketika janji-janji kampanye atau kontrak politik tidak ditepati, rasa dikhianati semakin menebal. Transparansi yang lemah, ditambah praktik korupsi yang terus terkuak, memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan penguasa.

Kesenjangan ini menegaskan adanya jarak yang semakin lebar antara kebijakan negara dan realitas kehidupan masyarakat. Di atas kertas, kebijakan mungkin terlihat logis dan menjanjikan, namun di lapangan ia gagal menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Contohnya, program pembangunan infrastruktur yang megah di kota besar, sementara di desa-desa masih banyak warga kesulitan mendapatkan akses air bersih atau layanan kesehatan. Ketimpangan seperti ini memperkuat perasaan bahwa negara hadir tidak untuk semua, melainkan hanya untuk sebagian kelompok.

Keresahan kolektif yang meluas ini akhirnya menemukan momentumnya dalam bentuk demonstrasi. Jalanan menjadi wadah tempat berbagai lapisan masyarakat menyatukan suara. Mahasiswa menuntut keadilan pendidikan, buruh memperjuangkan hak upah layak, petani mendesak perlindungan harga hasil tani, dan masyarakat umum menagih keringanan beban hidup. Keragaman tuntutan ini bersatu dalam satu garis besar: negara harus kembali mendengar suara rakyat.

Dalam konteks tersebut, demonstrasi dapat dilihat sebagai mekanisme koreksi sosial terhadap kekuasaan. Ia bukan semata bentuk perlawanan, melainkan cermin bahwa sistem partisipasi formal tidak berjalan efektif. Ketika kanal-kanal komunikasi politik tersumbat, masyarakat mencari jalannya sendiri untuk memastikan aspirasi mereka sampai ke telinga pengambil kebijakan. Demonstrasi kemudian berubah menjadi simbol keberanian rakyat untuk menuntut haknya yang paling mendasar.

Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana solidaritas sosial terbentuk dalam situasi krisis. Individu-individu yang awalnya berjuang sendiri, menyadari bahwa mereka memiliki keresahan yang sama dengan banyak orang. Dari titik inilah lahir kekuatan kolektif yang sulit dipadamkan. Di jalanan, mereka menemukan identitas baru sebagai bagian dari gerakan rakyat yang lebih besar, dengan tujuan yang sama: menegakkan keadilan dan memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Di beberapa kota besar, unjuk rasa berlangsung secara massif dengan jumlah peserta yang mencapai ribuan orang, memenuhi jalan-jalan utama dan ruang-ruang publik yang strategis. Massa yang hadir tidak hanya membawa tubuh mereka, tetapi juga aspirasi kolektif yang diwujudkan dalam spanduk, poster, dan simbol-simbol perlawanan. Orasi-orasi yang dilontarkan menjadi gema yang menandai keresahan publik, sekaligus menjadi penegasan bahwa suara rakyat tidak bisa terus-menerus diabaikan. Kehadiran mereka di ruang terbuka ini adalah bukti nyata bahwa ketidakpuasan telah meluas hingga melampaui batas diskusi privat.

Kondisi demonstrasi yang melibatkan ribuan massa seringkali berdampak pada gangguan lalu lintas di pusat-pusat kota. Jalanan yang biasanya menjadi jalur aktivitas ekonomi dan mobilitas harian berubah menjadi arena perlawanan. Kemacetan panjang tidak bisa dihindari, dan dalam beberapa kasus benturan kecil dengan aparat keamanan pun terjadi. Meski demikian, ketegangan ini sesungguhnya lebih merupakan ekspresi dari kebuntuan komunikasi antara rakyat dan pemerintah. Jalanan akhirnya dipilih sebagai ruang negosiasi terakhir, ketika ruang dialog formal dianggap tertutup.

BACA JUGA:  Membincang Lagu Mangu Fourtwnty feat. Charita Utami: Cinta, Perbedaan, dan Ketulusan Hati

Yang menjadi sasaran utama amuk massa dalam berbagai unjuk rasa tersebut adalah anggota dewan. Mereka dipandang sebagai representasi rakyat yang gagal menjalankan fungsinya dengan baik. Tuduhan ketidakresponsifan terhadap tuntutan masyarakat membuat para legislator berada di garis depan kritik dan kemarahan publik. Gedung dewan yang seharusnya menjadi simbol demokrasi dan kedaulatan rakyat, justru berubah menjadi target aksi, mencerminkan betapa jauhnya jarak psikologis antara wakil rakyat dan konstituennya.

Fenomena ini menyingkap krisis representasi yang serius. Anggota dewan yang dipilih melalui proses demokrasi diharapkan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Namun, dalam praktiknya, banyak kebijakan yang dihasilkan justru dipersepsikan lebih menguntungkan kelompok elite atau pihak tertentu dibandingkan masyarakat luas. Kegagalan untuk menjalankan mandat rakyat inilah yang menjadi bahan bakar utama demonstrasi, membuat rakyat turun langsung ke jalan untuk mengingatkan para wakilnya akan tanggung jawab yang mereka emban.

Aksi massa ini sekaligus menjadi penegasan bahwa demokrasi tidak bisa berhenti pada bilik suara pemilu. Rakyat tidak hanya berhak memilih, tetapi juga berhak mengawasi dan menuntut kinerja wakilnya sepanjang periode jabatan. Demonstrasi di hadapan anggota dewan adalah bentuk kontrol sosial yang paling nyata, menunjukkan bahwa kepercayaan tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus terus dipelihara dengan kerja nyata dan keberpihakan pada rakyat.

Simbol-simbol perlawanan yang muncul dalam unjuk rasa, mulai dari spanduk hingga orasi, tidak sekadar ekspresi emosional. Ia adalah tanda bahwa masyarakat memiliki kesadaran politik yang terus berkembang. Kritik terhadap anggota dewan merupakan bagian dari upaya memperjuangkan kualitas demokrasi yang lebih baik, meski jalannya penuh dengan risiko ketegangan. Demonstrasi yang massif di kota besar ini dengan demikian bukan hanya soal jumlah, tetapi juga kualitas aspirasi yang ingin disampaikan.

Di balik ketegangan, benturan, dan kerumunan massa, ada pesan yang tidak bisa diabaikan: rakyat menginginkan wakilnya benar-benar menjadi jembatan antara aspirasi publik dan kebijakan negara. Jika tuntutan ini tidak diindahkan, krisis representasi akan semakin dalam dan memperburuk kepercayaan terhadap lembaga demokrasi. Demonstrasi yang berlangsung massif adalah peringatan keras, sekaligus peluang bagi anggota dewan untuk melakukan koreksi, memperbaiki kinerja, dan kembali mendekat pada kepentingan konstituen.

Fenomena serupa juga tampak nyata di berbagai daerah, meski tidak sekuat ledakan massa di kota-kota besar. Demonstrasi di daerah biasanya melibatkan kelompok yang memiliki basis kuat dalam kehidupan sosial, seperti mahasiswa, buruh, petani, hingga komunitas masyarakat adat. Mereka hadir dengan identitas dan tuntutan masing-masing, tetapi menyatu dalam ruang protes yang sama. Kehadiran mereka menandakan bahwa keresahan bukan hanya monopoli pusat, melainkan telah meresap hingga ke akar masyarakat di daerah.

Aksi mahasiswa di daerah kerap menjadi lokomotif pergerakan karena energi kritis mereka yang tinggi. Mahasiswa tidak hanya menyoroti isu pendidikan, tetapi juga meluaskan keberpihakan mereka pada persoalan rakyat banyak, seperti harga kebutuhan pokok, akses kesehatan, hingga masalah lingkungan. Peran mereka yang terorganisir membuat protes di daerah memiliki daya tarik tersendiri, sekaligus menegaskan peran kampus sebagai kawah candradimuka kesadaran sosial.

Sementara itu, buruh di daerah tampil dengan isu seputar upah dan kondisi kerja. Di banyak kawasan industri, mereka merasa hak-hak dasar tidak terpenuhi dan posisi tawar mereka sangat lemah. Demonstrasi menjadi jalan keluar untuk menekan pengusaha sekaligus mendorong pemerintah daerah mengambil sikap. Gerakan buruh di daerah inilah yang memperluas cakupan aksi, menjadikannya bukan hanya simbol keresahan politik, tetapi juga potret ketidakadilan ekonomi.

Di sisi lain, petani dan nelayan yang berada di garis depan produksi pangan juga ikut serta dalam aksi protes. Mereka menuntut perlindungan harga hasil panen, ketersediaan pupuk, serta jaminan distribusi yang adil. Tidak jarang, kebijakan impor dianggap merugikan mereka, sehingga aksi demonstrasi menjadi wadah untuk menegaskan posisi mereka sebagai tulang punggung bangsa yang kerap terpinggirkan. Ketika suara mereka bergema di jalanan, itu adalah jeritan panjang atas kesenjangan struktural yang mereka alami.

BACA JUGA:  MILAD 25 TAHUN PONDOK PESANTREN AL-IKHLAS, ISTIKAMAH MENJADI PENCETAK GENERASI PENCERAH

Komunitas masyarakat adat pun turut menyuarakan perlawanan terhadap kebijakan yang mengancam ruang hidup mereka. Konflik agraria, perampasan tanah, dan eksploitasi sumber daya alam menjadi pemicu utama. Demonstrasi mereka tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga soal eksistensi dan keberlangsungan budaya. Partisipasi masyarakat adat dalam gelombang aksi massa memperkaya makna perjuangan, sebab mereka membawa perspektif ekologis dan spiritual yang jarang terakomodasi dalam kebijakan formal.

Suara-suara dari daerah ini menegaskan bahwa gelombang aksi massa bukanlah fenomena eksklusif perkotaan. Meskipun skalanya lebih kecil, daya resonansinya sangat besar karena mengakar pada pengalaman langsung masyarakat. Apa yang mereka teriakkan di depan kantor bupati, gedung DPRD, atau jalanan pasar tradisional, sejatinya mewakili keresahan yang sama dengan masyarakat di ibu kota. Dengan begitu, unjuk rasa di daerah menjadi bagian integral dari gerakan nasional.

Fenomena ini sekaligus memperlihatkan bahwa keresahan rakyat telah menjelma menjadi jaringan protes yang melampaui batas geografis. Isu-isu lokal seperti sengketa tanah atau rendahnya upah, ternyata berkaitan erat dengan persoalan struktural yang lebih besar di tingkat nasional. Gelombang protes di daerah menambah bobot moral bagi tuntutan rakyat di pusat, memperlihatkan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagian dari krisis yang sama.

Respon pemerintah terhadap gelombang demonstrasi yang marak di berbagai wilayah menjadi salah satu sorotan penting dalam dinamika politik nasional. Setiap kebijakan yang diambil aparat dalam menangani aksi massa selalu berada di bawah pengawasan publik, sebab masyarakat menilai respons tersebut sebagai indikator sejauh mana negara mampu mendengar dan menghargai suara rakyat. Dalam banyak kasus, ketegasan aparat seringkali dinilai berlebihan, dengan pendekatan represif yang justru memperkeruh suasana. Alih-alih meredakan ketegangan, tindakan semacam itu kerap memunculkan citra bahwa negara lebih mengedepankan kekuatan dibandingkan dialog.

Komunikasi politik pemerintah pun kerap dianggap belum memadai dalam merespons aspirasi massa. Pernyataan-pernyataan pejabat publik yang defensif atau cenderung menolak kritik hanya mempertebal jarak dengan rakyat. Alih-alih menenangkan, sikap ini memicu kesan bahwa pemerintah menutup diri terhadap realitas yang dirasakan masyarakat. Kegagalan dalam membangun komunikasi dua arah mengakibatkan aspirasi rakyat kehilangan saluran formal, sehingga jalanan kembali menjadi medium utama untuk menyampaikan tuntutan.

Akibatnya, demonstrasi yang semula dirancang sebagai ruang penyampaian aspirasi berubah menjadi simbol perlawanan yang lebih luas terhadap kekuasaan. Aksi massa tidak lagi sebatas menyuarakan isu ekonomi atau sosial, melainkan berkembang menjadi kritik terhadap gaya kepemimpinan yang dinilai elitis dan jauh dari rakyat. Fenomena ini memperlihatkan bahwa cara pemerintah merespons protes memiliki dampak langsung terhadap legitimasi politiknya di mata publik.

Dalam situasi ini, negara berhadapan dengan pekerjaan rumah yang semakin kompleks. Mengelola aspirasi publik tidak cukup hanya dengan mengerahkan aparat untuk mengendalikan kerumunan, tetapi juga membutuhkan kemampuan membangun komunikasi yang empatik, terbuka, dan solutif. Pemerintah dituntut tidak hanya mendengar keluhan, tetapi juga menawarkan solusi nyata yang bisa mengurangi beban masyarakat. Tanpa itu semua, setiap aksi demonstrasi berpotensi menjadi bara api yang terus menyala, menandakan krisis kepercayaan yang semakin dalam.

Penting pula dicatat bahwa pola represif tidak pernah menyelesaikan akar masalah. Justru sebaliknya, ia sering melahirkan gelombang perlawanan baru yang lebih besar. Masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap instrumen negara. Dengan demikian, pilihan represif hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi merugikan dalam jangka panjang karena memperlemah legitimasi pemerintah.

Di sisi lain, negara memiliki peluang besar untuk mengubah arah ketegangan menjadi momentum rekonsiliasi. Melalui forum dialog terbuka, penyusunan kebijakan partisipatif, dan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah dapat memperbaiki citra sekaligus meredam keresahan. Demonstrasi bukanlah musuh demokrasi, melainkan pengingat agar negara tidak abai terhadap aspirasi rakyat. Dengan demikian, respon yang bijak bukan hanya meredakan gejolak, tetapi juga memperkuat fondasi legitimasi politik.

BACA JUGA:  BERSAMA MENJAGA RAJA AMPAT: ANTARA WISATA, KEARIFAN LOKAL, DAN KONSERVASI

Kegagalan dalam mengelola aspirasi publik akan menambah panjang daftar pekerjaan rumah negara, mulai dari krisis kepercayaan, menurunnya partisipasi politik, hingga potensi instabilitas sosial. Setiap kali rakyat turun ke jalan, itu adalah sinyal bahwa ada ruang kosong dalam komunikasi kebijakan yang belum terisi. Tugas pemerintah adalah menjembatani ruang kosong itu, bukan menutupinya dengan kekuatan represif.

Dari sisi sosial, maraknya demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah memperlihatkan semakin lebarnya jurang kesenjangan dalam kehidupan masyarakat. Rakyat kecil yang hidup dengan pendapatan pas-pasan merasa paling terbebani oleh kondisi ekonomi yang tidak stabil. Harga kebutuhan pokok yang terus naik, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin sulit dijangkau, serta akses terbatas terhadap lapangan kerja yang layak membuat kehidupan mereka semakin terhimpit. Dalam situasi ini, demonstrasi menjadi jalan bagi mereka untuk bersuara, karena ruang-ruang formal yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat dianggap tidak lagi berpihak.

Sebaliknya, kelompok yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya masih mampu bertahan, bahkan dalam situasi krisis sekalipun. Mereka memiliki cadangan ekonomi, jaringan sosial, serta posisi yang lebih kuat dalam memanfaatkan peluang. Kontras ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat kelas bawah. Ketika rakyat kecil harus berjuang keras sekadar untuk bertahan hidup, mereka melihat kelompok tertentu justru tetap hidup nyaman. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu bahan bakar utama meledaknya gelombang aksi massa.

Protes yang mengemuka dengan demikian bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi juga menjadi cermin atas ketidakmerataan pembangunan. Meski pemerintah kerap menggaungkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, hasilnya tidak dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Di satu sisi, pembangunan fisik di kota-kota besar terus berlanjut dengan megah, sementara di sisi lain masih banyak desa yang tertinggal dalam akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar. Realitas ini menegaskan adanya ketimpangan distribusi manfaat pembangunan yang memicu keresahan sosial.

Fenomena ini juga memperlihatkan lemahnya jaminan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Sistem perlindungan sosial yang ada masih dinilai belum mampu mengantisipasi dampak krisis ekonomi yang berulang. Program bantuan yang ada sering tidak tepat sasaran, birokratis, atau hanya bersifat sementara. Akibatnya, rakyat kecil tetap berada dalam posisi paling rentan, dan merasa negara belum sepenuhnya hadir melindungi mereka. Demonstrasi pun muncul sebagai cara untuk menuntut hak atas kesejahteraan yang lebih adil dan menyeluruh.

Dalam konteks yang lebih luas, maraknya demonstrasi dengan latar kesenjangan sosial ini menunjukkan bahwa stabilitas tidak bisa dipertahankan hanya dengan kontrol keamanan. Selama kesenjangan masih dibiarkan melebar, gejolak sosial akan terus bermunculan. Rakyat tidak menolak pembangunan, tetapi mereka menolak ketika pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok. Oleh sebab itu, aksi-aksi protes yang terjadi bisa dibaca sebagai peringatan keras bahwa masyarakat menuntut keadilan dalam pembagian hasil pembangunan.

Di sisi lain, protes ini juga menunjukkan kesadaran sosial masyarakat yang semakin kritis. Mereka tidak lagi diam menghadapi ketidakadilan, tetapi berani bersuara dan menyuarakan aspirasi bersama. Dalam hal ini, demonstrasi bukan hanya ruang perlawanan, melainkan juga ruang pendidikan politik rakyat, di mana kesadaran akan hak-hak sosial dan ekonomi mereka semakin tumbuh. Kesadaran inilah yang bisa menjadi kekuatan besar bagi perubahan jika dikelola secara tepat oleh negara.

Dengan demikian, demonstrasi yang marak saat ini tidak bisa dilihat semata sebagai ancaman terhadap stabilitas, melainkan sebagai cermin dari problem struktural yang lebih mendalam. Kesenjangan sosial, lemahnya perlindungan kesejahteraan, serta ketidakmerataan pembangunan adalah persoalan mendasar yang harus segera dijawab. Tanpa langkah nyata, keresahan sosial akan terus berulang dan memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Gelombang aksi massa pada akhirnya menggema sebagai suara rakyat yang menuntut perubahan. Meski jalanan penuh dengan teriakan dan spanduk protes, sesungguhnya yang ingin mereka sampaikan adalah keinginan untuk hidup lebih layak, mendapatkan keadilan, serta memastikan negara hadir untuk melindungi kepentingan rakyat. Suara ini, jika direspons dengan bijak, dapat menjadi momentum koreksi kebijakan dan pembenahan tata kelola, bukan sekadar dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.