ARAH PENDIDIKAN SETELAH DELAPAN DEKADE KEMERDEKAAN

oleh -1,777 x dibaca

Oleh: Musfira, S.Pd, alumni IAIN Bone dan guru SMA Andalan Bone

 

DI tengah usia bangsa yang kian dewasa, ternyata pertumbuhan kesejahteraan anak bangsanya tidak menunjukkan kedewasaan serupa. Hal ini salah satunya bisa kita cermati pada peta pendidikan kita yang kian waktu justru kian memunculkan tanda tanya besar.

 

Beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan fenomena yang aneh. Mulai dari kemendiktisaintek meluncurkan sekolah Garuda, Kemensos membuka sekolah rakyat, bahkan lembaga investasi Danantara berencana membuat universitas dengan menggandeng sembilan universitas internasional terkemuka. Sekilas kita menyaksikan seolah semua pihak ingin berkontribusi pada suksesnya dunia pendidikan. Seolah semuanya terlihat peduli dengan nasib pendidikan. Seolah satu sisi ini menunjukkan kesan progresif sebagai bentuk harmoni kepedulian, sebab pihak-pihak penting dalam negeri ternyata menunjukkan sikapnya yang pro-pendidikan. Namun ternyata di sisi lain, ini malah menimbulkan kegamanangan arah. Dari perspektif tata kelola negara, hal ini justru menandakan adanya pengaturan yang kacau dan tidak terarah. Peran antar lembaga yang kabur dan sudah keluar jalur.

 

Ketika dicermati lebih jauh, hal ini bahkan bertentangan dengan sistem pendidikan nasional yang seharusnya satu pintu. Namun fakta lapangan memperlihatkan, alih-alih fokus pada perannya, berbagai kementerian/lembaga justru saling menyeberang jalur, meluncurkan program serupa, dan bersaing di ruang yang sama. Sad but true, kita harus akui bahwa ternyata dalam frame kebijakan negeri “merdeka” ini. Pendidikan tak ubahnya hanya menjadi salah satu instrumen komoditas bisnis yang menjadi perpanjangan tangan segelintir orang dalam bayang-bayang penguasa demi memenuhi hasrat oportunisnya. Sejalan dengan hal itu, kita bisa melihat haluan pendidikan yang diinginkan pemerintah dalam RAPBN Indonesia tahun depan misalnya, yang pada salah satu poin menjanjikan akan mewujudkan pendidikan bermutu. Dengan fokus pada peningkatan kualitas guru, pendidikan vokasi, dan penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. Alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN, yaitu sekitar Rp757,8 triliun (naik sekitar 4,63% dari sebelumnya) yang disebut-sebut terbesar sepanjang sejarah.

 

Terdengar begitu manis, namun miris ketika kita tahu di saat yang bersamaan berbagai catatan problematika pendidikan di negeri ini tak pernah selesai uraiannya. Indonesia bahkan belum pernah selesai dengan urusan akses pendidikan yang tidak merata serta biaya pendidikan yang mahal. Kesenjangan kualitas pendidikan antara kota dan desa yang sangat tajam ketimpangannya, menjadikan rakyat kelas menengah ke bawah tak memiliki akses pendidikan berkualitas. Sebagai contoh; ribuan sekolah rusak dan tidak layak adalah bukti ketimpangan tersebut. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2023, sekitar 35% sekolah dasar di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) mengalami kerusakan sedang hingga berat (Pegiat Pendidikan Indonesia, 2025). Dalam laporan BPS bertajuk Statistik Pendidikan 2024 tahun lalu, total bangunan yang rusak dari SD, SMP, SMA dan SMK sebanyak 119.876 Bangunan. Akhirnya, atas kondisi tersebut, ketika masyarakat kelas menengah ke bawah menginginkan pendidikan anak-anak mereka berkualitas dengan jaminan fasilitas terbaik maka konsekuensinya mereka harus mengeluarkan biaya yang begitu besar, yang tidak jarang kenyataan tersebut membuat mereka mau tidak mau harus menelan pil pahit ketidakberdayaan ekonomi lalu ditutup dengan mengubur harapan.

BACA JUGA:  QURBAN SEBAGAI PILAR EKONOMI SOSIAL: MENEBAR MANFAAT, MERAWAT SOLIDARITAS

 

Pun di tengah hiruk pikuknya orientasi pendidikan di kota metropolitan yang hanya mengandalkan fisik; bangunan sekolah yang tinggi menjulang namun tak pernah diimbangi dengan fokus perbaikan pada bobroknya moral para pelajar. Boro-boro mengurusi moral, kita bahkan melihat Postur RAPBN 2026 ini yang begitu kental kapitalisasi, dimana pemerintah ada di posisi melayani kepentingan modal atau industri. Seakan pembangunan sektor pendidikan memang diproyeksikan agar fokus mencetak buruh murah pengabdi industrialisasi. Jadi, masa bodoh dengan moral, yang penting mereka bisa menjadi mesin pencetak pundi-pundi ekonomi.

 

Dan lagi, anggaran pendidikan yang digadang-gadang mengalami kenaikan tadi, ternyata setengahnya akan digunakan untuk mendanai program MBG. Program yang hingga sekarang kita masih bertanya-tanya, dimana letak urgensinya. Sangat menyedihkan memang, ketika kita melihat arah kebijakan justru meletakkan pendidikan hanya sebatas prioritas pendukung bukan prioritas utama sebagaimana yang kita saksikan dalam lanskap kebijakan BPP tahun anggaran 2026, maka menjadi konsekuensi logis saat pendidikan makin terpinggirkan dan tidak jelas arahnya.

*Pendidikan Dalam Kaca Mata Kapitalisme*

 

Inilah sistem yang bekerja di dunia modern yang kita hidup di dalamnya saat ini. Sistem kapitalis sekuler, sistem yang meniscayakan istilah “No free lunch” sebuah istilah yang sarat dengan pandangan materialistis. Dimana saat memutuskan satu opsi akan selalu dibarengi dengan “harga yang harus dibayarkan”. Memilih satu, artinya mengorbankan yang lain.

 

Dalam sistem kapitalisme, Pendidikan diperlakukan sebagai komoditas bisnis. Negara memberikan akses terbuka kepada swasta untuk mengelola dan memainkan peran pada ranah vital yang menjadi kebutuhan dasar publik. Akibatnya, banyak sekolah mentereng dengan fasilitas super apik, tapi hanya bisa diakses oleh yang bermodal. Kualitas sekolah ditentukan oleh finansial personal. Sektor pendidikan akhirnya menciptakan jurang diskriminasi yang tajam antara si kaya dan si miskin. Sebuah fakta yang kontraproduktif dengan tujuan didirikannya negara ini, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan Bangsa”. Sebuah amanat konstitusi yang bahkan tidak mengandung makna untuk memisahkan pendidikan yang ditimbang berdasarkan kelas ekonomi.

 

Kondisi pendidikan makin terombang-ambing dengan tradisi “ganti menteri, ganti kurikulum” yang menyiratkan bahwa peta pendidikan Indonesia masih terus berubah-ubah tergantung siapa yang berkuasa dan siapa yang dipilih menjadi menterinya. Padahal dari sudut pandang holistik, mestinya fenomena berulang ini membuat kita sadar bahwa tidak cukup hanya sekedar berganti kebijakan, pemimpin, menteri, apalagi sekedar kurikulum saja. Sebab yang bermasalah adalah sistem yang digunakan dalam mendesain pendidikan, yakni sistem kapitalis sekuler.

BACA JUGA:  KEBERSIHAN DAN ALAM SEMESTA ADALAH TITIPAN ILAHI

 

*Bagaimana Islam memandang Pendidikan?*

 

Berbeda dalam negara yang menerapkan sistem pemerintahan islam. Menjadikan syariat Islam kaffah sebagai dasar aturan Negaranya. Islam menetapkan Negara sebagai Rain (pelayan) bagi rakyat.

Sistem politik dan ekonomi islam telah mewajibkan negara untuk mengurus rakyat tanpa membedakan status sosial.

 

Melangkah lebih jauh dalam hal pendidikan, negara wajib memperhatikan pendidikan masyarakat dari semua kalangan, mulai sektor kota hingga pelosok. Dari yang kaya hingga yang miskin. Semua diberi pelayanan yang sama, ditempatkan di tempat yang sama. Tidak ada privilege dalam mengenyam pendidikan.

 

Dalam islam, pendidikan dibangun berdasarkan akidah Islam. Syariat Islam memandatkan negara untuk menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyat. Negara harus memastikan bahwa hak ini benar-benar terpenuhi di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik.

 

Inilah alasan negara Islam sangat memperhatikan sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi dan dinikmati setiap anak. Ini karena pendidikan adalah gerbong utama lahirnya peradaban unggul. Maka sangat wajar pada masa peradaban Islam jejak pendidikan Islam sangat mentereng dan diakui sebagai pendidikan terbaik di pentas global. Misalnya, di zaman khilafah abbasiyah, peradaban islam dijadikan sebagai mercusuar pendidikan. Karena sistem islam mendorong ilmu pengetahuan agar terus bersinar melalui dukungan dan perhatian penuh dari pemimpinnya, sehingga dunia Islam menjadi pusat intelektual dunia yang diminati bahkan oleh non-muslim sekalipun.

 

Sistem pendidikan yang dianut dalam islam meniscayakan pemenuhan dan pelayanan dengan fasilitas pendidikan terbaik. Hal ini dilandasi atas prinsip-prinsip berikut:

 

Pertama, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan.

 

Strategi pendidikan Islam bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap agar sesuai Islam. Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Dengan demikian, islam melahirkan generasi berkualitas dari sisi kekuatan iman yang kokoh serta kemampuan akademik yang mumpuni karena memadukan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan dalam satu paket lengkap kurikulum berasas akidah Islam.

 

Kedua, seluruh pembiayaan pendidikan dalam sistem islam diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan negara, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.

BACA JUGA:  Guru itu Bukan Sekadar Profesi, Melainkan Panggilan Jiwa untuk Mencerahkan Masa Depan Bangsa

 

Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan yang urgen, sedangkan sumbangan kaum muslim juga tidak mencukupi maka negara mewajibkan pajak (dharibah) yang hanya dipungut dari kaum muslim yang mampu dan sejumlah dana yang dibutuhkan saja.

 

Ketiga, akses pendidikan gratis dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Islam tidak akan membiarkan peluang kebodohan berkembang hanya karena terhalang biaya pendidikan. Oleh karena itu, sistem pendidikan islam memberikan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati. Tidak heran, penerapan sistem pendidikan islam yang berlangsung selama belasan abad mampu menghasilkan ilmuwan dan cendekiawan yang ahli dalam beragam disiplin ilmu dan berbagai bidang.

 

Keempat, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi rakyat yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam dalam Bab “Strategi Pendidikan” hlm 176).

 

Kelima, negara membangun infrastruktur publik yang merata di seluruh wilayah hingga ke pelosok negeri. Hal ini menjadikan hampir sulit menjumpai bangunan sekolah tak layak dalam sistem pemerintahan islam. Sebab, fokus utama khalifah dan negara adalah teraksesnya pendidikan secara maksimal baik dari segi sarpras, peningkatan kualitas guru, kurikulum dan pengembangan ilmu pengetahuannya.

 

Sepanjang masa kepemimpinan dalam sistem islam, para khalifah (pemimpin) berlomba-lomba membangun sekolah tingi islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Pada setiap sekolah tinggi dilengkapi dengan fasilitas memadai seperti auditorium, gedung pertemuan, asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, dan sebagainya. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, dan ruang makan, bahkan taman rekreasi.

 

Demikianlah, negara dengan sistem islam menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dengan melakukan apa saja yang dapat mewujudkan terpenuhinya hak pendidikan setiap anak, terjaminnya keadilan bagi setiap warga, dan kesejahteraan para tenaga pendidik. Semua itu terpenuhi dan terjamin agar sistem pendidikan islam benar-benar berjalan secara optimal dalam menciptakan generasi bertakwa, cerdas, dan bermanfaat ilmunya bagi kemaslahatan hidup manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.