Program Makan Bergizi Gratis Sebagai Bagian Wujudkan Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara (Kajian Perspektif Sosiologi Hukum)

oleh -690 x dibaca
Dr. Drs. Andi Djalante,MM.,M.Si

Oleh : Dr. Drs. Andi Djalante,MM.,M.Si

(Penulis adalah : Pemerhati Sosiologi Hukum dan Pemerintah; dan Putra Eks Sulewatang Amali)

 

Di tengah tantangan ketimpangan sosial dan masalah gizi anak yang masih menghantui berbagai daerah di Indonesia, gagasan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebagai program prioritas nasional membawa harapan baru. Program ini bukan sekadar proyek politik populis, melainkan bagian dari upaya sistematis negara dalam menunaikan tanggung jawab konstitusional terhadap warganya, khususnya anak-anak sebagai subjek perlindungan utama. Kehadiran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya sekadar menjawab kebutuhan dasar anak-anak akan asupan makanan sehat, tetapi juga merupakan bagian penting dalam strategi membangun generasi emas Indonesia. Generasi emas yang dimaksud adalah generasi produktif, cerdas, dan kompetitif yang diharapkan lahir dan tumbuh pada puncak bonus demografi Indonesia.

Dari perspektif Sosiologi Hukum, kehadiran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukanlah sesuatu yang berada di luar kerangka hukum nasional. Sehingga tidak perlu risau menyiapkan fondasi regulasi baru, sebab sistem hukum Indonesia telah menyediakan landasan normatif yang kuat untuk menjamin hak dasar rakyat. Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyiratkan bahwa setiap warga negara berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, termasuk asupan gizi yang layak. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan penguatan bahwa upaya pemenuhan gizi anak merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Ditambah lagi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pelayanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, adalah urusan wajib pemerintah. Dengan demikian, program MBG secara yuridis telah mendapat sentuhan legitimasi dari regulasi yang ada. Sehingga dari dasar regulasi tersebut, tugas utama pemerintah untuk pada masa sekarang adalah memastikan implementasi berjalan efektif, partisipatif, dan transparan, bukan lagi meragukan legitimasi hukumnya.

BACA JUGA:  Narkoba Dalam Pandangan Agama Dan Kesehatan, Jalan Gelap Yang Menjerumuskan Jiwa Dan Raga

Kemudian dengan hadirnya program makan bergizi gratis, tampak negara telah memperlihatkan niat baiknya menciptakan suatu upaya membumikan nilai-nilai keadilan sosial dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, khususnya dalam pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi. Dan apabila dicermati dari persfektif Sosiologi Hukum, seluruh ikhtiar yang dilaksanakan pada Program Makan Bergizi Gratis merupakan refleksi pergeseran hukum dari tataran normatif ke arah fungsional, yakni menjawab kebutuhan real masyarakat. Dalam konteks ini, program MBG telah menjadi suatu wujud kontribusi langsung Pemerintahan Presiden Prabowo dalam memutus rantai ketimpangan sosial, karena membuka peluang akses nutrisi berkualitas bagi anak-anak dari setiap keluarga kurang mampu. Sebab itu MBG bukan sekadar program bantuan, tetapi investasi negara dalam membentuk sumber daya manusia unggul masa depan.

BACA JUGA:  RELASI KUASA DI DUNIA PENDIDIKAN: ANTARA ILMU, KEKUASAN, DAN KETIMPANGAN

Satu sisi lain yang tak kalah penting, adalah meningkatnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam penyiapan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dapur SPPG merupakan elemen penting yang berperan sebagai pusat distribusi gizi seimbang, sekaligus ruang kolaborasi antar warga, pemerintah, dan tenaga ahli untuk memastikan kualitas makanan terjaga dan tepat sasaran.

Sehubungan dengan upaya pencapaian keberhasilan Program Makan Bergizi gratis, diketahui Pemerintah telah membuat sejumlah regulasi operasionalnya, seperti Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 menetapkan pembentukan BGN sebagai lembaga pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pemenuhan gizi nasional. Selanjutnya terdapat Keputusan Kepala BGN Nomor 244 Tahun 2025 yang mengatur kapasitas operasional SPPG. Namun begitu tetap penting ditekankan, bahwa keberhasilan kebijakan publik yang sudah ada itu sangat bergantung pada legitimasi sosial dan efektivitas institusi, serta pengawasan yang ketat oleh Pemerintah. Tanpa itu imlementasi program ini akan rentan terhadap ruang praktik korupsi atau pelaksanaan yang tidak sesuai standar gizi.

BACA JUGA:  Investasi Masa Depan Demokrasi di Sulsel lewat Pilketos  Serentak di SLTA Se-Sulawesi Selatan

Khususnya bagi Pemerintah Daerah semestinya menggarisbawahi, bahwa program MBG selain sebagai upaya sistematis negara dalam menunaikan tanggung jawab konstitusional terhadap warganya, tetapi juga akan menjadi sarana edukasi pemenuhan gizi sejak dini, sekaligus mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola makan sehat. Olehnya kebijakan dan peraturan daerah perlu dilahirkan disisi tersebut dan sebagai pembentuk kebiasaan baru yang konstruktif bagi setiap warganya termasuk para penerima manfaat.

Pada akhirnya, program makan bergizi gratis bukan sekadar soal distribusi makanan, tapi mencerminkan bagaimana negara hadir secara konkret dalam kehidupan sosial masyarakatnya dalam menjalankan amanat konstitusi, serta menjadikan program MBG sebagai alat pembebasan dari kemiskinan struktural dan ketimpangan gizi. Dan jika program yang dimaksud dijalankan secara tepat dan berkelanjutan, maka akan menjadi langkah besar dalam membangun generasi emas yang sehat dan produktif, sekaligus memperkuat relasi sosial antara negara dan warga dalam kerangka negara hukum yang adil dan responsif. Demikian, selamat berjuang bapak Presiden. Salam Pancasila.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.