Pembelajaran Siklus Kehidupan dalam Pengelolaan Limbah Domestik: Materi Ujian Promosi Doktor Kartika Karim Kasim

oleh -572 x dibaca
Prof. Haedar Akib dan Associate Prof. Dr. Yanti Aneta.

Oleh:

Prof. Haedar Akib, Guru Besar Universitas Negeri Makassar

Associate Prof. Dr. Yanti Aneta, Kopromotor, Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Universitas Negeri Gorontalo (UNG)

 

Pembelajaran tentang Circle of Life/ CoL (Siklus Kehidupan) dalam konteks pengelolaan limbah domestik penting bukan hanya karena keren secara konseptual, melainkan pula karena secara kontekstual menyentuh langsung tiga hal yang sangat dekat dengan hidup kita (manusia) – kesehatan, kualitas lingkungan, dan keberlanjutan hidup generasi sekarang dan mendatang. Limbah domestik (air bekas cuci, mandi, dapur, hingga WC) merupakan produk sampingan dari semua aktivitas dasar manusia ketika makan, mandi, mencuci dan buang air. Artinya, tidak ada rumah yang bebas limbah, bahkan semakin besar populasi, semakin besar volume limbah, jadi kalau tidak diatur, limbah ini “mengalir diam-diam” mencemari sumur, sungai, dan tanah. Materi pembelajaran kehidupan berupa Model CoL yang dikenalkan dalam Disertasi Doktor Kartika Karim Kasim (pada Ujian Promosi Doktor Ilmu Administrasi Publik di Universitas Negeri Gorontalo, 2 Desember 2025) penting dibicarakan untuk menggugah cara pandang (perspektif) kita dari “limbah sebagai sesuatu yang harus dibuang” menjadi “aliran yang harus dikelola secara bijak sebagai bagian dari siklus kehidupan”.

***

Doktor Kartika Karim Kasim mengulas pentingnya model temuan penelitian disertasinya dengan menyatakan bahwa karena alasan kesehatan, kita (manusia) sangat tergantung pada cara pengelelolaan limbah, terutama black water (dari WC) karena membawa bakteri, virus, dan parasit penyebab penyakit diare, disentri, hepatitis A, penyakit kulit, hingga stunting pada anak yang terkena infeksi berulang. Jika limbah merembes ke air tanah atau mengalir ke sungai tanpa olahan maka sumur rumah bisa tercemar, air irigasi terkontaminasi dan muncul lingkaran setan yaitu air kotor, penyakit, biaya kesehatan naik dan produktivitas turun.

Model CoL menawarkan sistem pengelolaan terintegrasi dan bersifat preventif, bukan hanya reaktif. Alih-alih hanya “mengobati” dampak (misalnya kasus penyakit) tidaklah cukup, melainkan perlu menata ulang hulunya yaitu memisah, mengolah, dan memulihkan limbah sebelum kembali ke lingkungan. Dr Kartika, yang juga politisi menyatakan, lingkungan yang sehat bukan bonus, tetapi fondasi kualitas hidup. Limbah domestik yang tidak terkelola dapat menurunkan kualitas air got, saluran, sungai dan danau. Demikian pula, memicu bau tidak sedap dan estetika lingkungan yang buruk, serta dapat mengganggu ekosistem dimana makhluk air mati dan rantai makanan terganggu. Dalam konteks penelitian Dr Kartika ini, Model CoL melihat limbah sebagai bagian dari rantai ekologis karena ketika air kotor diolah kembali hasilnya bisa menyokong ruang hijau (penyiraman taman, kebun sekolah, ruang terbuka hijau), mengurangi tekanan pada sumber air bersih, menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar kita. Dengan kata lain, model CoL mengubah pengelolaan limbah dari “sekadar buang ke tempat lain” menjadi “mengembalikan ke alam dalam bentuk yang lebih aman dan bermanfaat”.

***

Terkait dengan tujuan pengelolaan lingkungan global, SDGs (Sustainable Development Goals) pada konteks domestik, Model CoL yang dikenalkan oleh Dr Kartika penting karena masa depan daerah atau wilayah dan permukiman warga masyarakat bergantung pada cara kita mengelola limbah hari ini. Kabupaten-kota dan permukiman padat sering menghadapi drainase yang tersumbat, sungai yang berubah fungsi menjadi “saluran limbah”, banjir yang diperparah oleh sistem sanitasi yang buruk. Oleh karena itu, Model CoL mengarahkan perencanaan kota dan permukiman ke arah sanitasi berkelanjutan, jika diikuti. Mendorong adanya pemisahan aliran limbah (greywater dan blackwater), karena pengolahan bisa lebih efektif dan menjadi acuan desain kebijakan dari level rumah, RT/RW, desa/kelurahan, hingga kota. Dengan demikian, pengelolaan limbah domestik bukan hanya urusan teknis, tetapi juga urusan tata kelola, siapa bertanggung jawab, siapa terlibat, dan bagaimana pembiayaan serta pengawasan dilakukan.

BACA JUGA:  Mispersepsi

Model CoL juga sejalan dengan ekonomi sirkular dan efisiensi sumber daya, dimana di banyak tempat atau daerah, air bersih semakin mahal dan langka, energi juga mahal, pupuk kimia berdampak panjang bagi tanah. Solusinya adalah Model CoL karena dapat mengubah limbah menjadi sumber daya seperti air olahan untuk irigasi ruang hijau, taman, atau kebun, serta sludge terolah menjadi kompos atau pupuk dan biogas sebagai sumber energi alternatif. Mengurangi ketergantungan pada sumber daya baru (air bersih, pupuk kimia, energi fosil) dan mendukung konsep ekonomi sirkular yaitu apa yang keluar dari rumah tangga tidak langsung berakhir sebagai beban lingkungan, tetapi “diputar” kembali menjadi manfaat. Ini tidak hanya baik bagi lingkungan, tetapi juga bisa menciptakan peluang ekonomi baru di tingkat lokal.

Pada lokus pembelajaran publik, Model CoL mengajarkan kita cara berzikir dan berpikir holistik serta bertanggungjawab terhadap alam, sehingga berdampak pada pemahaman kita bahwa Model CoL bukan hanya tentang pipa, bak penampung, dan instalasi pengolahan, tetapi juga tentang nilai dan budaya yang mengajarkan bahwa setiap tindakan (membuang air kotor, memakai deterjen, membuang minyak goreng ke wastafel) punya konsekuensi. Mendorong perubahan perilaku tidak boros air, tidak sembarangan membuang limbah, mau terlibat dalam pengelolaan lingkungan. Menanamkan kesadaran bahwa manusia itu bagian dari ekosistem, bukan penguasa yang boleh membuang apa pun tanpa memikirkan dampaknya. Dengan kata lain, model ini membentuk literasi lingkungan dan etika ekologis bahwa hidup nyaman tidak boleh dibayar dengan rusaknya lingkungan bagi generasi berikutnya, seperti yang terjadi saat ini pada berbagai daerah di Indonesia.

Model CoL berkaitan langsung dengan beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) poin 6 (Air bersih dan sanitasi layak), poin 11 (Kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan), poin 12 (Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), poin 13 (Penanganan perubahan iklim baik secara tidak langsung, maupun lewat perlindungan ekosistem dan pengelolaan sumber daya). Dengan mengadopsi model ini, kita bukan hanya “beres di lingkungan sendiri”, tetapi juga ikut menyelaraskan kebijakan lokal (daerah) dengan komitmen global. Singkatnya, Model CoL penting karena menyentuh hidup kita saat ini dari WC sampai masa depan.

***

Pertanyaan retorisnya adalah bagaimana model implementasi kebijakan “Circle of Life/ CoL (siklus kehidupan)” bekerja dalam pengelolaan limbah domestik. Model CoL merupakan pendekatan implementasi kebijakan yang memandang limbah domestik sebagai aliran yang bergerak terus-menerus dalam sebuah siklus ekologis, sebagai bagian dari Rantai Kehidupan – sebuah siklus yang membawa, mengubah, dan mengembalikan material ke lingkungan dalam bentuk yang lebih aman, bermanfaat, dan berkelanjutan, dalam tiga arena besar yaitu struktur kebijakan, mekanisme operasional, reintegrasi hasil olahan ke ekosistem sosial-lingkungan. Ketiga arena besar itu, menurut Dr. Kartika dilakukan berdasarkan lima tahap berikut.

BACA JUGA:  EKOTEOLOGI DI GELAS KACA: PINANG MUDA SEBAGAI SIMBOL HARMONI MANUSIA DAN ALAM

Pertama, membangun kesadaran (awareness) dengan membuka mata hati terhadap rantai kehidupan limbah. Pada tahapan ini, rekomendasi difokuskan pada pembangunan kesadaran kolektif bahwa limbah domestik bukan sekadar “air kotor yang dibuang”, tetapi bagian dari mata-rantai kehidupan yang memiliki konsekuensi ekologis, kesehatan, dan sosial. Melakukan kampanye edukasi berbasis narasi “Rantai Kehidupan” dimana pemerintah daerah bersama sekolah dan komunitas mengembangkan materi komunikasi yang menggambarkan perjalanan limbah domestik dari rumah ke saluran lalu ke lingkungan dan kembali ke tubuh manusia melalui air dan pangan. Narasi CoL membantu masyarakat melihat hubungan sebab-akibat secara utuh. Integrasi literasi limbah domestik dalam pendidikan formal dan nonformal dimana pemisahan greywater atau green water dan blackwater, pencemaran air tanah, dan dampaknya terhadap kesehatan dimasukkan ke dalam materi pendidikan lingkungan hidup di sekolah (sekolah pertama di rumah, sekolah kedua di lembaga pendidikan formal, sekolah ketiga di masyarakat), pengajian, arisan warga, hingga penyuluhan PKK/Posyandu yang diikuti dengan pemanfaatan contoh kasus nyata di lingkungan sekitar. Penyajian contoh seperti sumur yang tercemar, sungai yang berubah menjadi saluran limbah, atau tingginya kasus diare dan penyakit kulit dijadikan ilustrasi bahwa pengelolaan limbah yang buruk bukanlah isu abstrak, tetapi menyentuh kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tahap awareness menyajikan landasan psikologis dan kognitif bagi warga masyarakat dalam memahami alasan perlunya model CoL diadopsi sebelum diajak masuk ke tahap berikutnya.

Tahap keterlibatan (engagement), dengan mengajak warga setempat menjadi subjek, bukan objek, atau melibatkan masyarakat secara aktif dalam perancangan dan pengembangan model pengelolaan limbah domestik berbasis CoL. Forum dialog partisipatif di tingkat RT/RW atau desa/kelurahan merupakan wadah bagi pemerintah lokal memfasilitasi pertemuan warga untuk memetakan kondisi eksisting pengelolaan limbah, masalah utama (bau, sumur tercemar, drainase kotor), dan harapan warga masyarakat terhadap perbaikan. Forum ini menjadi ruang untuk memperkenalkan model CoL dan meminta masukan warga. Disamping itu, membentuk “Kelompok Penggerak Rantai Kehidupan” berbasis RT, karang taruna, PKK, atau komunitas hijau yang bertugas mengawal proses implementasi melalui sosialisasi, pemantauan, dan menjaga fasilitas pengolahan champion limbah. Demikian pula melibatkan stakeholder kunci sejak awal dimana tokoh agama, tokoh adat, pengurus masjid, pengelola sekolah, dan pelaku UMKM diajak menyuarakan pentingnya pengelolaan limbah domestik dalam perspektif moral, kesehatan, dan keberlanjutan. Dengan kata lain, tahap engagement tidak lahir secara top-down, tetapi dikonstruksi bersama sehingga memiliki legitimasi sosial yang kuat.

Ketiga, tahap action (tindakan) untuk mewujudkan mata rantai kehidupan dalam praktik pengelolaan limbah. Tahap ini merupakan inti transformasi untuk mengubah kesadaran dan keterlibatan menjadi tindakan nyata dalam bentuk sistem dan perilaku pengelolaan limbah domestik sesuai prinsip CoL melalui penerapan sistem percontohan (pilot project) kawasan CoL, dan penguatan perilaku rumah tangga melalui edukasi praktis seperti tidak membuang minyak jelantah ke saluran air, mengurangi deterjen/ fosfat tinggi, memeriksa septic-tank secara berkala, menjaga saluran greywater bebas sampah, pemisahan aliran limbah (source separation), pembangunan instalasi pengolahan skala komunal berbasis ekosistem.

BACA JUGA:  Meningkatkan Kualitas Guru SD di Kabupaten Bone: Tantangan dan Harapan 2020–2025

Tahap reflection yaitu belajar dari dampak sembari memperbaiki siklusnya. Model CoL menempatkan refleksi sebagai bagian penting dari siklus, agar implementasi kebijakan tidak berhenti di “sekali bangun fasilitas lalu dibiarkan” seperti yang terlihat di sejumlah daerah, melainkan refleksi dilakukan secara sistematis untuk mengukur dampak, mengidentifikasi kelemahan, dan memperbaiki desain kebijakan. Caranya adalah melakukan monitoring dan evaluasi berkala berbasis indikator sederhana terhadap kejernihan air saluran, berkurangnya bau, penurunan keluhan kesehatan terkait sanitasi, peningkatan area hijau yang diirigasi air olahan, dan peningkatan partisipasi warga. Forum refleksi komunitas secara berkala untuk membahas apa yang sudah berhasil, apa yang sulit, apa yang perlu diubah, sembari melakukan penyesuaian desain teknis dan kelembagaan. Ketika ditemukan hambatan teknis (misalnya wetland tidak berfungsi optimal, saluran sering tersumbat) maka dilakukan perbaikan desain. Sementara itu, ketika ditemukan masalah kelembagaan (misalnya petugas perawatan tidak aktif, kelompok penggerak pasif), maka perlu reposisi peran dan penguatan kapasitas.

Tahap sustainability (keberlanjutan) untuk menjadikan rantai kehidupan sebagai budaya dan sistem jangka panjang agar CoL tidak berhenti sebagai proyek, tetapi menjadi bagian dari kebiasaan baik dalam pengelolaan lingkungan. Caranya adalah melalui institusionalisasi dalam kebijakan formal, atau memasukkan prinsip CoL dalam peraturan daerah, peraturan desa, atau regulasi teknis pengelolaan limbah domestik, serta menjadikan acuan dalam perencanaan tata ruang, pembangunan permukiman, dan desain fasilitas publik. Kemudian, membuat skema pembiayaan berkelanjutan dengan mengembangkan model iuran lingkungan, dana bergulir, atau skema CSR (Corporate Social Responsibility) untuk mendukung perawatan instalasi pengolahan limbah, serta mengoptimalkan potensi ekonomi lokal dari kompos, biogas, atau produk turunan lain sebagai sumber pemasukan tambahan bagi komunitas. Selanjutnya, pengarusutamaan pendidikan dan budaya lokal dengan menjadikan konsep CoL sebagai bagian dari pembentukan karakter lingkungan di sekolah, serta mengaitkan dengan nilai-nilai agama, kearifan lokal (siri’ na pacce), etika, moral, dan amanah menjaga bumi. Jika dimungkinkan, melakukan replikasi dan scaling-up yaitu mengembangkan panduan replikasi model untuk diterapkan di kawasan lain dengan menyesuaikan pada konteks lokal, sambil mempromosikan dan mengundang daerah lain belajar praktik baik (best practice) dari kawasan yang sudah berhasil mengimplementasikan CoL. Dengan demikian, tahap sustainability menjamin siklus tidak pernah benar-benar “selesai”, melainkan terus berputar untuk meningkatkan kualitas lingkungan, kesehatan, dan kehidupan sosial secara berkelanjutan.

***

Pemahaman yang diperoleh dari lima tahapan model pembelajaran siklus kehidupan (Cycle of Life) – Awareness, Engagement, Action, Reflection, dan Sustainability – ini adalah adanya sinergi kerangka dzikir dengan kerangka pikir yang implementatif dalam pengelolaan limbah domestik mulai dari membangun kesadaran, mengajak masyarakat sekitar terlibat, mengeksekusi tindakan nyata, belajar dari pengalaman, hingga mengarahkan keberlanjutan jangka panjang. Dampak pengiringnya adalah pengelolaan limbah domestik tidak hanya menjadi urusan teknis sanitasi, tetapi berkembang menjadi gerakan kolektif untuk menjaga eko-sistem dan rantai kehidupan antara Maha Pencipta, alam (air, tanah, udara) dan manusia saat ini dan generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.