Oleh : Dr.Drs. Andi Djalante, MM, M.Si
(Penulis adalah : Pemerhati Sosiologi Hukum dan Pemerintahan,
dan Putra seorang Eks Sulewatang Amali)
DALAM upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045, peran guru menjadi salah satu fondasi utama. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai penjaga nilai, norma, dan pembentuk karakter generasi penerus bangsa. Namun, berbagai tantangan sosial yang mengemuka saat ini menunjukkan bahwa tugas guru semakin kompleks dan membutuhkan dukungan sistemik, khususnya dalam membentuk generasi yang resilien—yakni generasi yang mampu bertahan tidak hanya dari tekanan sosial, tetapi juga berkembang menjadi warga negara yang taat hukum, berkarakter, dan peduli pada sesama.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa lingkungan sosial peserta didik belakangan ini belum sepenuhnya kondusif. Kasus-kasus bullying, kekerasan verbal dan fisik, diskriminasi, hingga kejahatan berbasis siber, masih terus terjadi, bahkan di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk tumbuh. Ditengah terpaan kasus-kasus yang memilukan ini, peran guru dalam membentuk generasi emas tampak pula masih kerap terhambat oleh sejumlah persoalan struktural dan kultural. Guru seringkali dibebani oleh tugas administratif yang mengurangi fokus mereka pada pembinaan karakter siswa. Tidak sedikit pula guru yang enggan terlibat secara aktif dalam menyelesaikan konflik murid karena khawatir akan risiko hukum atau tidak mendapat dukungan dari lembaga pendidikan maupun orang tua siswa.
Secara normatif, keberadaan guru sebagai pilar pendidikan karakter sekalipun telah diatur dalam berbagai regulasi seperti UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, dalam praktiknya, perlindungan hukum dan dukungan struktural terhadap guru masih lemah. Banyak guru yang mengalami tekanan ketika menangani kasus-kasus bullying atau pelanggaran etika lainnya. Sebab itu didalam kaitan penanganan bullying dan pembentukan resiliensi generasi emas harus menjadi gerakan kolektif, bukan hanya dibebankan pada guru. Pemerintah harus memperkuat sistem pelaporan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah, memberikan pelatihan kepada guru dalam pendekatan psikososial, dan mendorong keterlibatan aktif orang tua dalam pengawasan serta pembinaan moral anak.
Di sisi lain, sekolah perlu menjadi lingkungan yang tidak hanya akademis, tetapi juga berkarakter dan berbasis nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks ini, guru memiliki posisi strategis sebagai agen kontrol sosial dan moral. Selain itu, guru juga penting diberikan ruang untuk berperan sebagai perantara antara norma hukum dan kehidupan sosial murid melalui pendekatan pedagogis yang berempati, serta ketegasan dalam menyikapi pelanggaran etika. Sehingga sangat dimunkinkan guru bisa membentuk budaya sekolah yang inklusif dan adil. Guru juga dapat menjadi fasilitator mediasi dan pencegah konflik, selama mendapat dukungan kelembagaan yang kuat. Apabila dikaitkan dengan situasi saat ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tantangan resiliensi generasi emas dimasa datang sangat menuntut kehadiran guru yang berdaya, didukung perlindungan hukum, dan berada dalam sistem sosial yang adil. Lebih khusus lagi dalam menghadapi kasus-kasus bullying dan krisis karakter lainnya, peran guru perlu diperkuat secara struktural dan kultural.
Tak kalah penting, sebagai bentuk upaya menjaga resiliensi dan membangun generasi emas juga harus disertai dengan kebijakan yang adil terhadap para guru honorer dan P3K. Pemberian kesempatan mengajar yang lebih luas, termasuk distribusi yang merata hingga ke daerah terpencil, menjadi langkah strategis dalam pemerataan pendidikan. Guru-guru honorer dan P3K adalah sudah semestinya diakui bahwa selama ini telah dapat berperan sebagai tulang punggung pendidikan di banyak daerah. Dalam konteks ini, pemberian kesempatan yang lebih luas bagi guru honorer dan P3K untuk mendapatkan tempat mengajar yang layak dan merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi kebutuhan mendesak.Tidak hanya disitu perbaikan pendapatan dan jaminan kesejahteraan bagi guru honorer dan P3K, terutama di daerah tertinggal, menjadi bagian dari strategi pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan.
Guru yang sejahtera secara ekonomi akan memiliki ruang psikologis yang lebih baik dalam mendidik, membimbing, dan membentuk karakter siswa. Di sisi lain, keberadaan guru-guru yang berkualitas dan sejahtera turut mendorong penguatan ekonomi lokal, karena pengeluaran mereka akan berputar di lingkungan sekitar tempat tugasnya.
Sebagai penutup, penting ditegaskan bahwa membangun resiliensi generasi emas Indonesia tahun 2045, harusnya diyakini tidak dapat dilepaskan dari peran strategis para guru sebagai pendidik, pembimbing karakter, dan penjaga nilai-nilai kebangsaan. Namun pada sisi lain mesti diingat bahwa guru membutuhkan dukungan nyata melalui kebijakan afirmatif. Pemerintah harus hadir melalui kebijakan yang adil dan menyeluruh, sebab investasi pada guru adalah fondasi kokoh bagi masa depan bangsa yang berdaya saing, berkarakter, dan bermartabat. Pemberdayaan guru sejatinya adalah pemberdayaan bangsa. Demikian, salam hormat bagi para guru. Salam Pancasila.







