MENGUATKAN IDENTITAS GENERASI MUDA MELALUI LITERASI KEARIFAN LOKAL

oleh -112 x dibaca
Dr. Muh. Safar

Dr. Muh. Safar, M.Pd

Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNIM Bone

Perkembangan teknologi dan globalisasi yang semakin masif membawa dampak signifikan terhadap cara generasi muda berinteraksi dengan pengetahuan dan budaya. Informasi mengalir begitu cepat dan tanpa batas, menciptakan arus nilai yang sering kali menjauhkan mereka dari akar kebudayaan bangsa. Dalam situasi seperti ini, literasi tidak hanya penting sebagai kemampuan akademik, tetapi juga sebagai sarana membangun kesadaran identitas. Karena itu, revitalisasi literasi berbasis kearifan lokal menjadi langkah strategis untuk meneguhkan kembali jati diri generasi muda Indonesi. Hal ini sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda yang menegaskan persatuan dalam keberagaman.

Kualitas literasi di Indonesia masih menjadi persoalan mendasar. Berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke-66 dari 81 negara dalam kemampuan membaca. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar masih kesulitan memahami bacaan secara mendalam dan reflektif. Kelemahan tersebut berimplikasi pada menurunnya kemampuan berpikir kritis, berempati sosial, dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam teks.

Rendahnya literasi ini tidak dapat dipisahkan dari pergeseran orientasi generasi muda terhadap budaya populer global. Mereka lebih mengenal tren media sosial dibandingkan karya sastra, sejarah lokal, atau naskah-naskah daerah yang mengandung nilai moral dan budaya. Akibatnya, literasi kehilangan dimensi kulturalnya. Padahal literasi yang berakar pada budaya berfungsi sebagai media strategis dalam menumbuhkan karakter bangsa. Di sinilah pentingnya pendekatan literasi yang memadukan antara kemampuan kognitif dengan pemahaman terhadap kearifan lokal.

Menurut data Mendikdasmen (2025), kearifan lokal Indonesia tercermin dalam 817 bahasa daerah dan lebih dari 1.331 kelompok etnik (IWGIA, 2021) yang membentuk mozaik identitas nasional. Setiap komunitas etnis memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berfungsi sebagai pedoman dalam mengatur perilaku dan interaksi masyarakat. Contohnya, nilai Siri’na Pacce (menjaga martabat atau harga diri (siri’) dan memiliki rasa solidaritas yang mendalam (pacce) di Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar), Gotong Royong di Jawa, dan Mapalus di Minahasa merupakan manifestasi konkret dari etika sosial yang berakar pada konteks budaya lokal masing-masing. Di Kabupaten Bone, kearifan lokal tersebut termanifestasi dalam perpaduan falsafah Siri’ na Pacce dan nilai Reso Temmangingi Naletei Pammase Dewata, yang secara harfiah bermakna “kerja keras tanpa henti, seseorang akan mendapatkan kemudahan atau rida dari Tuhan Yang Maha Kuasa.” Falsafah ini tidak hanya menekankan pentingnya kehormatan dan solidaritas sosial, tetapi juga menanamkan etos kerja, tanggung jawab moral, serta integritas personal yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Bugis Bone. Oleh karena itu, kearifan lokal perlu dipahami bukan sekadar sebagai warisan budaya, melainkan sebagai konstruksi nilai yang dinamis dan berperan strategis dalam memperkuat karakter, etika publik, serta kohesi sosial bangsa di tengah arus globalisasi dan modernisasi.

BACA JUGA:  PENDIDIKAN INKLUSIF, EKONOMI PROGRESIF: FONDASI INDONESIA YANG TANGGUH DAN MANDIRI

Kearifan lokal memiliki potensi strategis dalam pengembangan literasi sebagai sumber belajar dan instrumen pedagogis yang menghubungkan nilai budaya dengan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Berbagai bentuk ekspresi budaya seperti: cerita rakyat, peribahasa, naskah Lontara, dan ungkapan tradisional dapat dikontekstualisasikan ke dalam pembelajaran literasi melalui teks bacaan, media digital, maupun proyek literasi berbasis budaya. Misalnya, implementasi program literasi budaya Bugis yang memanfaatkan aksara Lontara tidak hanya berfungsi sebagai sarana pelestarian warisan intelektual daerah, tetapi juga sebagai medium edukatif untuk memperkenalkan sejarah lokal, nilai kehormatan, serta filosofi hidup masyarakat Bugis. Melalui pendekatan ini, aktivitas membaca dan menulis tidak sekadar menjadi keterampilan linguistik, melainkan juga proses pemaknaan terhadap konteks sosial, moral, dan spiritual yang terkandung di dalam teks.

Literasi berbasis kearifan lokal memiliki peran strategis dalam menumbuhkan tiga bentuk kesadaran kultural yang esensial bagi penguatan identitas generasi muda. Pertama, kesadaran identitas, yakni pemahaman bahwa setiap individu memiliki akar budaya yang membentuk kepribadian dan orientasi nilai. Kedua, kesadaran kritis, yaitu kemampuan menafsirkan ulang nilai-nilai lokal agar tetap relevan dengan dinamika dan tantangan global. Ketiga, kesadaran kebangsaan yang menegaskan bahwa keberagaman budaya merupakan modal sosial dan kekuatan kolektif dalam membangun karakter bangsa yang berdaya saing dan berintegritas. Dengan demikian, literasi tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas intelektual tetapi sebagai proses transformatif dalam pembentukan karakter dan kepribadian yang berakar pada nilai-nilai luhur budaya bangsa.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (3):  INKLUSI KEUANGAN UNTUK SEMUA DAN MENGAPA BANK SYARIAH LEBIH RELEVAN?

Revitalisasi literasi berbasis kearifan lokal perlu dilaksanakan secara terencana, sistematis, dan berkelanjutan melalui sinergi antara lembaga pendidikan dan komunitas masyarakat. Upaya ini tidak hanya bertujuan melestarikan warisan budaya tetapi juga meneguhkan literasi sebagai instrumen pembentukan karakter dan identitas bangsa di era global. Dalam konteks tersebut, setidaknya terdapat tiga strategi utama yang dapat diimplementasikan secara konkret. Pertama, integrasi nilai-nilai kultural dalam sistem pendidikan formal. Sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran sentral dalam mentransformasikan literasi kultural menjadi bagian integral dari kurikulum. Guru dan dosen seyogianya berfungsi bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai mediator nilai budaya dan agen pelestarian kearifan lokal. Pemanfaatan teks sastra daerah, cerita rakyat, biografi tokoh lokal, atau naskah tradisional sebagai bahan ajar dapat memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik, melainkan juga berperan dalam menumbuhkan kesadaran identitas dan kebanggaan terhadap budaya sendiri.

Kedua, penguatan ekosistem literasi berbasis komunitas. Ruang-ruang literasi seperti taman bacaan masyarakat, perpustakaan desa, dan komunitas literasi daerah dapat difungsikan sebagai arena dialog budaya dan partisipasi sosial. Melalui kegiatan seperti: festival literasi nusantara, bedah naskah tradisional, dan kelas menulis cerita daerah, generasi muda didorong untuk mengenali, menginterpretasi, dan mengembangkan nilai-nilai lokal secara kreatif. Ekosistem ini menjadi wadah bagi transfer pengetahuan lintas generasi sekaligus memperkuat kohesi sosial berbasis budaya lokal.

Ketiga, inovasi digitalisasi kearifan lokal menjadi langkah strategis dalam memperkuat pelestarian dan revitalisasi budaya di era teknologi. Transformasi digital perlu dimanfaatkan sebagai medium efektif untuk mendiseminasikan nilai-nilai budaya secara luas, adaptif, dan kontekstual. Pembuatan konten edukatif berbasis kearifan lokal dalam bentuk video pendek, podcast budaya, komik digital, maupun aplikasi pembelajaran interaktif berpotensi menjadi media antara tradisi dan teknologi. Melalui pendekatan ini, generasi muda didorong untuk berperan aktif sebagai penghasil sekaligus penyebar pengetahuan (knowledge producers), bukan sekadar sebagai penerima informasi. Dengan cara demikian, proses digitalisasi tidak hanya memperluas akses terhadap budaya lokal tetapi juga memperkukuh relevansinya dalam dinamika kehidupan global yang terus berkembang

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (1): MENGGAGAS KEUANGAN BERKELANJUTAN DI ERA DIGITAL

Dalam konteks tersebut, peringatan Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober seharusnya tidak dipandang semata sebagai ritual historis tahunan, melainkan sebagai ruang reflektif untuk menegaskan kembali makna persatuan, kebangsaan, dan identitas kultural bangsa di tengah kehidupan modern. Momentum ini menjadi titik temu antara semangat kebangsaan masa lalu dan tantangan kebudayaan masa kini yang dapat direspons melalui penguatan literasi digital berbasis kearifan lokal. Dalam era globalisasi yang ditandai oleh disrupsi digital dan homogenisasi budaya, literasi berbasis kearifan lokal menjadi sarana strategis untuk mengaktualisasikan semangat Sumpah Pemuda, semangat untuk bersatu, berpikir kritis, serta menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya sendiri di tengah arus nilai global yang serba cepat.

Generasi muda yang literat dan berakar pada nilai-nilai budaya lokal berpotensi tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga matang secara moral dan sosial. Kearifan lokal berperan sebagai fondasi etis dan moral yang menuntun harmoni antara modernitas dan tradisi, sekaligus antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, revitalisasi literasi berbasis kearifan lokal bukanlah romantisasi masa lalu, melainkan sebuah strategi progresif untuk membangun masa depan bangsa yang berdaya saing, namun tetap berakar pada identitas budaya nasional.

Indonesia saat ini membutuhkan generasi muda yang cakap secara digital sekaligus arif secara budaya. Generasi yang mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan global dengan nilai-nilai lokal dalam setiap aspek kehidupan. Di tangan mereka, literasi tidak sekadar menjadi kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan menafsirkan realitas sosial dan menginternalisasi nilai-nilai luhur bangsa. Literasi yang berpijak pada kearifan lokal menjadikan generasi muda Indonesia “global dalam wawasan, tetapi lokal dalam jiwa”, sebuah sintesis yang relevan bagi keberlanjutan identitas nasional di tengah dunia yang terus berubah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.