MAULID NABI DAN TANTANGAN PERADABAN: MENANAMKAN AKHLAK DI ERA TEKNOLOGI

oleh -377 x dibaca
Penulis: Prof. Syaparuddin

Oleh: Prof. Syaparuddin, Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah

 

MAULID Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk merenungkan kembali keteladanan beliau. Namun, peringatan Maulid di era teknologi seharusnya tidak berhenti pada seremonial, melainkan menjadi ajakan moral untuk menanamkan akhlak dalam kehidupan modern. Di tengah derasnya arus digitalisasi, nilai-nilai yang diwariskan Rasulullah semakin relevan, sebab kemajuan peradaban tanpa akhlak hanya akan melahirkan krisis kemanusiaan.

Era teknologi memang telah membawa lompatan besar dalam peradaban manusia. Kehadiran media sosial, aplikasi digital, dan sistem komunikasi tanpa batas membuat manusia mampu terhubung lebih cepat dan luas dibanding era sebelumnya. Dunia yang dulunya terasa jauh kini seakan berada dalam genggaman, membuat manusia dapat berinteraksi lintas negara dan budaya hanya dalam hitungan detik. Namun, di balik keajaiban itu, muncul berbagai konsekuensi yang harus dihadapi. Gelombang informasi yang tidak terfilter dengan baik justru menimbulkan arus hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial yang semakin tajam.

Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi tidak sepenuhnya netral, melainkan dipengaruhi oleh cara manusia menggunakannya. Ketika etika dan moralitas dikesampingkan, maka media sosial bisa berubah menjadi arena konflik yang merusak tatanan sosial. Dalam konteks ini, keteladanan Rasulullah Muhammad SAW hadir sebagai penuntun moral yang amat dibutuhkan. Beliau tidak hanya mengajarkan tentang akidah, tetapi juga menekankan pentingnya akhlak dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal berkomunikasi. Sifat santun, jujur, dan penuh kasih Rasulullah harus dijadikan teladan dalam mengarahkan penggunaan teknologi agar benar-benar bermanfaat bagi kehidupan bersama.

Peringatan Maulid Nabi menjadi momentum yang tepat untuk menegaskan kembali nilai-nilai akhlak tersebut. Maulid tidak boleh dimaknai sebatas ritual perayaan, melainkan sebagai ajakan kolektif untuk menjadikan keteladanan Nabi sebagai pedoman hidup di era modern. Di tengah derasnya arus digital, Maulid mengingatkan bahwa kekuatan sebuah peradaban tidak hanya terletak pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada kedalaman moral dan spiritual yang menopangnya. Dengan kata lain, akhlak digital menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat tetap mampu menjaga martabat kemanusiaannya.

Akhlak digital berarti memposisikan teknologi sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan dan pencerahan, bukan untuk memperkuat perpecahan. Rasulullah selalu menekankan pentingnya menjaga lisan, dan di era teknologi, pesan itu berlaku pula dalam menjaga jari yang mengetik. Setiap unggahan, komentar, atau pesan di media sosial harus dilandasi dengan nilai kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab. Peringatan Maulid bisa dijadikan ajang refleksi bersama bahwa ruang digital adalah bagian dari kehidupan nyata yang menuntut etika, bukan ruang bebas tanpa norma.

Lebih jauh, meneladani Rasulullah dalam konteks teknologi berarti mengembangkan kesadaran untuk menahan diri dari provokasi dan ujaran kebencian. Dalam sejarah hidupnya, Nabi menghadapi berbagai cercaan dan hinaan, tetapi beliau menjawab dengan akhlak mulia, bukan dengan amarah. Keteladanan ini relevan diterapkan di dunia maya yang sering dipenuhi perdebatan keras dan caci maki. Menahan diri dari provokasi, mengedepankan dialog santun, serta membangun komunikasi yang penuh empati adalah bentuk nyata menghidupkan akhlak Nabi di era digital.

Faktanya, banyak konflik sosial di dunia modern justru bermula dari percikan kecil di media sosial. Polarisasi politik, perpecahan antar kelompok, hingga pergeseran nilai budaya sering kali diperparah oleh narasi digital yang tidak terkendali. Dengan menanamkan kembali akhlak Nabi, masyarakat dapat membangun budaya digital yang sehat. Bukan lagi ruang pertengkaran, tetapi ruang berbagi ilmu, solidaritas, dan kepedulian sosial. Momentum Maulid menjadi pengingat bahwa membangun peradaban digital yang beradab hanya bisa dilakukan dengan pondasi akhlak yang kuat.

Selain itu, akhlak Nabi juga mengajarkan pentingnya amanah dan tanggung jawab. Dalam penggunaan teknologi, hal ini bisa diwujudkan dengan bijak mengelola data, tidak menyalahgunakan informasi, dan menjaga privasi orang lain. Dunia digital yang terbuka memang memberi banyak peluang, tetapi sekaligus membuka celah kejahatan siber yang berbahaya. Jika nilai amanah Rasulullah dijadikan pegangan, maka masyarakat akan lebih berhati-hati dalam memanfaatkan teknologi dan mampu melindungi diri dari penyalahgunaan.

Budaya serba instan adalah salah satu ciri menonjol dari era digital. Kehadiran teknologi telah membuat segala sesuatu bisa didapatkan dengan cepat dan mudah, mulai dari informasi, hiburan, hingga kebutuhan sehari-hari. Fenomena ini pada satu sisi membawa kemudahan luar biasa, tetapi pada sisi lain juga menimbulkan masalah baru. Manusia semakin terbiasa dengan cara hidup praktis yang menyingkirkan nilai kesabaran, kerja keras, bahkan kedalaman berpikir. Segalanya ingin serba cepat, tanpa melalui proses panjang yang sebenarnya mendidik jiwa untuk lebih matang.

BACA JUGA:  UNM sebagai Pusat Kajian Penurunan Angka Kemiskinan di ASEAN di Era Orde Baru

Pola hidup konsumtif pun menjadi konsekuensi dari budaya instan tersebut. Kemudahan belanja online, layanan digital, dan iklan yang terus membombardir layar gawai membuat masyarakat terdorong untuk membeli bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan dorongan sesaat. Hal ini menciptakan gaya hidup yang cenderung boros, dangkal, dan mengikis nilai kesederhanaan. Jika budaya ini dibiarkan, maka masyarakat berisiko kehilangan makna kehidupan yang sesungguhnya, terjebak dalam siklus konsumsi tanpa arah, dan pada akhirnya mengikis ketahanan moral maupun ekonomi keluarga.

Dalam konteks inilah keteladanan Rasulullah menjadi relevan. Nabi Muhammad SAW sepanjang hidupnya selalu menampilkan pribadi sederhana, penuh kesabaran, dan teguh bekerja keras untuk meraih keberkahan. Beliau tidak tergoda oleh gemerlap dunia, meski berkesempatan untuk hidup dalam kemewahan. Ajaran kesederhanaan ini menjadi penyeimbang yang sangat dibutuhkan di tengah budaya digital yang serba instan. Dengan meneladani akhlak Rasulullah, manusia diajak untuk kembali menata prioritas hidup, menempatkan proses sebagai bagian penting dari perjalanan menuju keberhasilan.

Momentum Maulid Nabi memberi ruang untuk melakukan refleksi mendalam terhadap fenomena ini. Peringatan kelahiran Rasulullah seharusnya tidak hanya berisi lantunan shalawat dan seremonial, melainkan juga menjadi titik balik kesadaran moral masyarakat. Maulid dapat dijadikan ajang untuk mengingatkan kembali bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Semua kemudahan yang ditawarkan dunia digital harus tetap diletakkan dalam bingkai nilai moral dan spiritual, agar manusia tidak kehilangan arah di tengah modernitas.

Kesabaran yang diajarkan Nabi juga penting untuk menahan diri dari godaan instan. Dalam banyak peristiwa, Rasulullah menunjukkan betapa sabar merupakan pondasi dalam menghadapi ujian hidup. Hal ini kontras dengan pola pikir instan yang mudah menyerah, mudah putus asa, atau mudah tergoda dengan jalan pintas. Dengan menjadikan Maulid sebagai pengingat, masyarakat dapat memperkuat nilai kesabaran dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, termasuk tantangan digital yang menuntut kedewasaan dalam mengelola informasi dan gaya hidup.

Kerja keras yang diteladankan Rasulullah pun menjadi kunci menghadapi modernitas. Dalam sejarah hidupnya, Nabi tidak pernah lepas dari aktivitas produktif sejak usia muda, mulai dari menggembala, berdagang, hingga memimpin umat. Spirit kerja keras ini penting ditanamkan kembali, terutama di tengah budaya digital yang sering mengaburkan nilai usaha. Banyak orang tergoda mencari jalan pintas untuk sukses dengan cara instan, padahal keberhasilan sejati lahir dari proses panjang yang diiringi ketekunan.

Kesederhanaan Rasulullah adalah teladan berikutnya yang patut diinternalisasikan. Di tengah kemudahan teknologi yang memanjakan manusia dengan kemewahan semu, sikap sederhana menjadi penawar yang menenangkan. Kesederhanaan bukan berarti miskin atau tertinggal, melainkan sikap bijak dalam memanfaatkan nikmat dunia tanpa melupakan esensi hidup. Dengan kesederhanaan, manusia mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, antara dunia digital yang serba cepat dengan ketenangan batin yang hakiki.

Generasi muda hari ini tumbuh dalam realitas digital yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lahir di era gawai, terbiasa dengan akses cepat terhadap informasi, hiburan, dan komunikasi global. Keterampilan mereka dalam menguasai aplikasi dan teknologi sering kali mengesankan, namun pada saat yang sama meninggalkan ruang kosong dalam pembentukan karakter. Kecepatan dalam menguasai perangkat tidak selalu berbanding lurus dengan kedewasaan dalam mengendalikan diri. Di sinilah letak kerentanan mereka, karena kecanggihan teknologi tanpa akhlak dapat menjelma menjadi ancaman serius bagi masa depan pribadi maupun bangsa.

Fenomena ini semakin nyata ketika kita melihat bagaimana media sosial membentuk perilaku generasi muda. Dari pola komunikasi, gaya hidup, hingga cara berpikir, semuanya dipengaruhi oleh algoritma digital yang kerap mengedepankan popularitas instan dibanding substansi. Banyak di antara mereka terjebak pada budaya eksistensi maya, mencari pengakuan melalui “likes” dan “followers”, bahkan rela mengorbankan etika demi sensasi. Padahal, dalam Islam, nilai akhlak jauh lebih penting daripada sekadar pencapaian lahiriah. Maulid Nabi dalam konteks ini harus dibaca sebagai pengingat, bahwa misi utama Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak manusia, termasuk generasi digital masa kini.

Jika pendidikan akhlak tidak diperkuat, teknologi justru bisa menjadi bumerang. Generasi yang cerdas secara teknis tetapi lemah secara moral berpotensi menyalahgunakan teknologi untuk kepentingan sempit, bahkan destruktif. Contoh faktualnya sudah terlihat melalui maraknya kasus perundungan siber, penyebaran konten negatif, hingga penipuan digital. Semua itu bermula dari lemahnya kontrol diri dan hilangnya panduan nilai. Oleh karena itu, menanamkan akhlak Rasulullah menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar pilihan.

BACA JUGA:  Tim Riset PNUP Terapkan Ekstraktor Preservatives Pengembangan Alat Ekstraktor, Preservatives untuk Edible Coating dari Kulit Pisang: Inovasi Teknologi Tepat Guna oleh Politeknik Negeri Ujung Pandang

Momentum Maulid Nabi memberi ruang strategis untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter. Perayaan Maulid tidak boleh berhenti pada seremoni dan tradisi semata, melainkan harus diterjemahkan ke dalam gerakan pendidikan yang meneladani sifat Rasulullah. Nilai-nilai kejujuran, amanah, kesabaran, dan kepedulian sosial perlu diintegrasikan dalam proses pembelajaran, baik di sekolah maupun di ruang-ruang keluarga. Dengan demikian, Maulid menjadi motor penggerak untuk mencetak generasi yang bukan hanya cerdas digital, tetapi juga kokoh moral.

Pendidikan akhlak yang berorientasi pada teladan Rasulullah dapat dilakukan melalui pendekatan yang kontekstual dengan dunia digital. Misalnya, mengajarkan etika bermedia sosial, pentingnya literasi digital, serta kemampuan memilah informasi yang benar dan bermanfaat. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang bijak dan selektif dalam menyampaikan pesan. Spirit ini dapat diterjemahkan sebagai tuntunan agar generasi muda bijak dalam memilih konten, tidak mudah menyebarkan hoaks, dan mampu menggunakan teknologi untuk kebaikan umat.

Selain itu, membangun integritas juga merupakan aspek penting dari pendidikan akhlak di era digital. Integritas bukan hanya soal kejujuran pribadi, tetapi juga konsistensi dalam menjaga nilai meski berada dalam tekanan. Generasi muda harus dilatih agar tidak mudah tergoda oleh keuntungan instan, baik dalam bentuk materi maupun popularitas di dunia maya. Teladan Rasulullah yang istiqamah dalam memegang prinsip meski dihadapkan pada tantangan berat harus ditanamkan sebagai fondasi pembentukan karakter generasi digital.

Generasi muda yang memiliki kecerdasan sekaligus integritas akan menjadi aset besar bangsa di tengah persaingan global. Mereka bukan hanya mampu bersaing secara teknologis, tetapi juga mampu memberikan arah moral bagi perkembangan peradaban. Inilah sejatinya yang dikehendaki dari peringatan Maulid Nabi: menghadirkan Rasulullah sebagai teladan hidup yang relevan di setiap zaman. Dengan begitu, generasi digital tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga penggerak perubahan positif yang berakhlak mulia.

Teknologi hadir membawa paradoks yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di satu sisi, ia mampu mendekatkan manusia melalui komunikasi jarak jauh yang serba cepat dan instan. Percakapan yang dahulu memerlukan waktu dan biaya besar kini bisa dilakukan dalam hitungan detik, bahkan melintasi benua tanpa batas. Namun, di sisi lain, teknologi justru menciptakan jurang emosional. Banyak orang semakin larut dalam dunia maya, lebih sibuk dengan layar gawai ketimbang hadir secara utuh di lingkungan nyata. Inilah yang membuat relasi sosial kerap terasa renggang meski koneksi digital tampak begitu erat.

Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Di ruang keluarga, banyak anggota lebih fokus pada ponselnya masing-masing daripada membangun percakapan hangat. Di ruang publik, orang lebih sibuk dengan foto dan unggahan ketimbang menjalin interaksi sosial yang nyata. Akibatnya, rasa kebersamaan berkurang, solidaritas menipis, dan empati melemah. Padahal, manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang tidak hanya membutuhkan hubungan virtual, tetapi juga sentuhan nyata berupa kepedulian dan perhatian.

Dalam konteks inilah, nilai ukhuwah (persaudaraan) yang diajarkan Nabi Muhammad SAW menemukan relevansinya. Rasulullah sepanjang hidupnya menekankan pentingnya memperkuat ikatan sosial, menolong sesama, dan menghadirkan rasa kasih sayang di tengah masyarakat. Keteladanan beliau menunjukkan bahwa persaudaraan bukan sekadar retorika, melainkan harus diwujudkan melalui tindakan nyata: saling membantu, saling mendoakan, dan saling menjaga. Nilai-nilai ini bisa menjadi penawar bagi individualisme digital yang kian menggerus rasa kebersamaan.

Peringatan Maulid Nabi menjadi momen yang tepat untuk menghidupkan kembali semangat kebersamaan tersebut. Maulid tidak hanya berarti mengenang kelahiran Nabi, tetapi juga menghidupkan warisan moralnya di tengah masyarakat modern. Dengan menjadikan Maulid sebagai sarana refleksi, umat Islam dapat meneguhkan kembali pentingnya solidaritas sosial, terutama di era ketika interaksi nyata sering kalah oleh dominasi interaksi maya. Maulid bisa menjadi ruang spiritual untuk memperkuat ikatan antarwarga, membangun kembali empati, dan menumbuhkan kepedulian lintas batas.

Teknologi pada dasarnya dapat menjadi sarana memperkuat ukhuwah jika digunakan dengan bijak. Media sosial, misalnya, bisa dijadikan alat untuk menyebarkan solidaritas, menggalang bantuan kemanusiaan, atau memperluas jaringan persaudaraan lintas komunitas. Namun, jika digunakan tanpa akhlak, ia justru menjadi sarana perpecahan dan isolasi sosial. Oleh karena itu, nilai ukhuwah yang diteladankan Nabi menjadi kunci untuk menata ulang cara kita berinteraksi di dunia digital.

Empati adalah aspek lain yang amat penting. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang selalu peka terhadap penderitaan umat, tidak pernah abai terhadap kebutuhan orang-orang di sekitarnya. Spirit ini sangat relevan di tengah masyarakat digital yang sering kali hanya peduli pada diri sendiri. Melalui peringatan Maulid, nilai empati perlu ditanamkan kembali agar manusia tidak kehilangan rasa kemanusiaannya. Dengan empati, teknologi bisa menjadi alat untuk menolong yang lemah, memperhatikan yang terpinggirkan, dan menghadirkan keadilan sosial.

BACA JUGA:  BAHASA INDONESIA DALAM SPEKTRUM GLOBALISASI DAN REVOLUSI INDUSTRI 5.0

Solidaritas juga harus kembali dihidupkan. Di tengah tantangan modern, seperti krisis ekonomi, bencana alam, atau kesenjangan sosial, solidaritas menjadi kekuatan utama untuk bertahan. Rasulullah menekankan bahwa umat Islam ibarat satu tubuh: jika satu bagian sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya. Nilai inilah yang harus direvitalisasi dalam konteks era digital. Peringatan Maulid memberi pesan bahwa umat harus bersatu, saling menopang, dan tidak membiarkan teknologi menjauhkan mereka dari semangat gotong royong.

Faktanya, maraknya kejahatan siber yang kerap menghantui dunia digital saat ini mencerminkan lemahnya kontrol diri manusia dalam menggunakan teknologi. Peretasan data, penipuan online, hingga penyebaran konten terlarang terjadi karena teknologi dikuasai tanpa dibarengi dengan penguatan nilai moral. Demikian pula dengan fenomena perundungan digital yang melukai mental generasi muda, semuanya bermuara pada minimnya empati dan hilangnya kesadaran etis. Inilah sisi gelap era digital yang sering kali terabaikan, padahal ancamannya nyata bagi stabilitas sosial dan masa depan peradaban.

Rasulullah SAW hadir sebagai figur teladan yang akhlaknya relevan untuk dijadikan pedoman menghadapi situasi ini. Beliau tidak hanya mengajarkan ajaran agama secara verbal, tetapi juga mencontohkannya melalui perilaku sehari-hari yang sarat nilai moral. Sifat jujur (ṣidq) yang melekat pada Nabi mengajarkan pentingnya kejujuran dalam menyampaikan informasi, yang dalam konteks digital berarti melawan hoaks dan disinformasi. Kejujuran menjadi filter pertama agar ruang maya tidak menjadi tempat yang dipenuhi kebohongan dan manipulasi.

Selain jujur, sifat amanah Rasulullah sangat penting diterapkan di era teknologi. Amanah berarti bertanggung jawab dan dapat dipercaya, sesuatu yang sangat dibutuhkan di tengah dunia digital yang rawan penyalahgunaan data pribadi dan informasi. Dengan memegang prinsip amanah, seseorang akan berhati-hati dalam menjaga privasi, tidak menyalahgunakan akses, dan tidak merugikan orang lain. Amanah adalah kunci untuk membangun kepercayaan di ruang digital yang sering kali penuh dengan kecurigaan.

Sifat tabligh atau kemampuan menyampaikan pesan dengan benar juga relevan dalam menghadapi tantangan era informasi. Rasulullah selalu menyampaikan wahyu dengan jelas, tepat, dan penuh tanggung jawab. Dalam dunia digital, tabligh bisa diartikan sebagai literasi informasi: bagaimana menyampaikan dan membagikan konten dengan cara yang bermanfaat, bukan menyesatkan. Nilai tabligh menuntun manusia agar teknologi dipakai sebagai media edukasi, dakwah, dan pencerahan, bukan untuk menyebar kebencian atau fitnah.

Tidak kalah penting, sifat fathanah atau kecerdasan Rasulullah menunjukkan bahwa pemahaman dan kebijaksanaan adalah fondasi dalam berinteraksi dengan teknologi. Cerdas di sini tidak hanya berarti menguasai perangkat digital, tetapi juga mampu memilah mana yang baik dan buruk, serta mampu memprediksi dampak dari setiap tindakan di ruang maya. Fathanah membuat generasi digital tidak mudah terjebak dalam jebakan algoritma yang menyesatkan, melainkan mampu menggunakan teknologi untuk tujuan yang produktif dan maslahat.

Jika nilai-nilai akhlak Rasulullah ini dijadikan filter, maka setiap interaksi digital akan terjaga dari kerusakan. Kejahatan siber, perundungan digital, dan penyalahgunaan teknologi bisa diminimalisir karena manusia memiliki pedoman moral yang kokoh. Teknologi tidak lagi menjadi ancaman, melainkan sarana untuk memperluas kebaikan. Inilah makna mendalam dari meneladani akhlak Nabi: menjadikan nilai-nilainya sebagai benteng menghadapi disrupsi zaman.

Momentum Maulid Nabi memberi kesempatan besar untuk memperkuat kesadaran ini. Maulid bukan sekadar perayaan kelahiran Nabi, tetapi juga refleksi untuk menghadirkan kembali akhlak beliau dalam kehidupan modern. Ketika dunia dilanda krisis moral akibat teknologi yang berkembang tanpa kendali, Maulid mengingatkan bahwa solusi terbaik justru ada pada keteladanan Rasulullah. Akhlak mulia adalah jawaban atas kebingungan modernitas.

Akhirnya, Maulid Nabi dan tantangan peradaban di era teknologi harus dipahami sebagai dua hal yang saling terkait. Maulid bukan hanya nostalgia sejarah, tetapi momentum moral untuk meneguhkan akhlak Rasulullah sebagai fondasi hidup modern. Teknologi boleh membawa kemajuan material, tetapi hanya akhlak yang mampu memberi makna spiritual dan kemanusiaan. Dengan semangat Maulid, kita diingatkan kembali bahwa kemajuan sejati bukan sekadar soal teknologi, melainkan bagaimana ia digunakan untuk menebarkan kebaikan dan membangun peradaban yang lebih manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.