Merdeka bagi Mereka yang Tertinggal

oleh -369 x dibaca

Oleh : AM. Jufri

Tenaga Ahli Wamen KPPPA /Tim Pemberdayaan Kegiatan Sinergisitas Antar KL – BNPT Tahun 2017-2024

Apa kabar saudara-saudariku di Papua Pegunungan, Pulau terpencil dan wilayah perbatasan ? Jarak yang jauh dari metropolitan, infrastruktur yang dulu terbatas, dan potensi ekonomi yang belum berkembang, semoga saudara-saudariku kini, di era 80 tahun negeri merdeka, kesejahteraan dapat dirasakan lebih baik.

 

Kita juga berharap, kebijakan dan komitmen pemerintah saat ini, dapat mempercepat dan mempastikan 62 kabupaten tertinggal (30 kabupaten tertinggal yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal 2025-2029 sesuai Perpres No. 12 Tahun 2025 dan 32 kabupaten tertinggal RPJMN 2020–2024) dapat secepatnya menikmati hasil pembangunan.

 

Saudara saudariku yang menganggur dan kurang beruntung, bagaimana kabarmu ? Seringkali berada pada pada lapisan sosial terendah, stigma sebagai orang bodoh, malas, pengangguran, dan bahkan dianggap sebagai orang tak berguna, penganggu, dan mengotori lingkungan terlekatkan. Apalagi kejaran dan razia petugas trantib (ketentraman dan ketertiban umum) semakin gencar.

 

Padahal ketidakberuntungan yang terjadi bukan hanya karena tidak ada uang yang dimiliki, tetapi juga karena ketiadaan akses. Pada kondisi seperti ini, mereka yang berada pada lapisan terbawa terus tumbuh dan berjuang melakukan apa saja demi untuk menyambung hidup. Ada yang menjadi pengamen, tukang parkir, peserta demo, menjadi obyek penelitian akademis, dan bahkan menjadi pengedar narkoba. Ada juga berjuang berkelompok “geng” untuk memenangkan kompetisi hidup yang begitu keras di metropolitan.

 

Kita berharap komitmen dan kebijakan pro aktif dan pro rakyat oleh Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Gibran) dapat mengangkat mereka yang tertinggal di lapisan sosial masyarakat yang terendah ini. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ini berarti negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan dasar bagi mereka yang tertinggal.

BACA JUGA:  Pertumbuhan Ekonomi Islam di Bumi Pertiwi: Ke Mana Arahnya Saat Ini?

 

Kita juga berharap di era 80 tahun kita merdeka ini, pendekatan dalam memberdayakan lapisan sosial terendah ini lebih mengedepankan pendekatan partisipatif daripada mobilisasi, merangkul daripada memusuhi, membangun interaksi yang hangat daripada menjauhi, membangun kepercayaan daripada kebencian, meyakinkan mereka dengan aksi langsung yang tepat dan dibutuhkan daripada aksi hanya sekedar untuk “viral” (populer) dan pencitraan.

 

Para pejabat publik/ ASN perlu menurunkan tensi “ego” sebagai pejabat / ASN yang perlu dihormati atau ditakuti. Sebagai pelayan publik, semangat melayani dengan penuh hati dan ketulusan, senyum, kasih sayang dan kelembutan perlu dikedepankan. Mereka yang tertinggal di lapisan sosial terbawa ditempatkan atau dilihat sebagai keluarga sendiri, sebagai Ayah, ibu, Anak, Kakak, Adik, Teman atau Kawan, atau Saudara saudari sendiri.

Dengan pendekatan partisipatif, kita bisa menempatkan masyarakat sebagai subyek (bukan obyek) dan sejajar. Posisi yang sejajar akan memudahkan memahami hati masyarakat. Pemahaman yang baik atas kondisi masyarakat, akan memudahkan untuk melakukan transformasi atau perubahan yang berkualitas dan mendasar bagi kehidupan masyarakat.

 

Kasus demo Pati 13 Agustus 2025 lalu adalah contoh bagaimana kebijakan tidak tepat dengan kondisi rakyat. Kemudian memicu meluasnya kemarahan rakyat dan berujung demo yang begitu besar untuk menuntut mundurnya pejabat Bupati Pati.

 

Bagi saudara-saudariku yang rentan tertinggal : anak-anak, lansia, perempuan, penyandang disabilitas, korban bencana, orang miskin, kelompok minoritas, eks narapidana umum dan eks narapidana teroris , apa kabar ? Kita berharap, semoga seluruh individu dan kelompok yang rentan dapat terjangkau dengan berbagai program Kementerian/Lembaga era Prabowo-Gibran. Walaupun demikian, kolaborasi menjadi kata kunci sukses kementerian/lembaga menuntaskan misinya. Ego sektoral akan menjadi tembok penghambat mengatasi masalah.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (8):  MENAWARKAN SOLUSI KEUANGAN YANG INOVATIF DAN SESUAI SYARIAH

 

Peristiwa mundurnya Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, Joao Angelo De Sousa Mota, pada tanggal 11 Agustus 2025 dengan alasan rumitnya birokrasi menjadi pelajaran berharga bagi Kabinet Merah Putih ini. Semoga kolaborasi antar Kementerian/Lembaga dapat lebih solid ke depan dan juga dengan berbagai pelaku pembangunan lainnya (Pemerintah Daerah, Swasta, Perguruan Tinggi, Masyarakat Sipil, Media dan lain-lain).

 

Oh ya, apa kabar juga saudara-saudariku yang tertinggal karena sebelumnya adalah lawan kompetisi politik ? Di level nasional, Prabowo -Gibran telah menunjukkan bahwa bukan hanya yang berkeringat mendapatkan tempat mengurusi republik, tetapi juga mereka yang berkeringat menjadi kompetisi (lawan tanding) dirangkul. PKB, Nasdem, PKS menjadi pendukung pemerintah saat ini. Cak Imin yang berpasangan dengan Anis bahkan menjadi Kemenko Pemberdayaan Masyarakat. Sementara, Anis, Ganjar, Mahfud dan PDI Perjuangan sebagai entitas lawan tanding Prabowo -Gibran, bukan tertinggal, tapi mereka memilih membangun negeri dengan berada diluar pemerintahan. Mereka terus produktif, berkarya, berpendapat, memberi saran membangun dan mencerahkan bangsa ini.

 

Di level daerah (Gubernur/Walikota), kita berharap dapat menerapkan kebijakan dan implementasi program yang merangkul, bukan memukul, memusuhi, meninggalkan, menyulitkan atau menutup akses dan kebebasan. Demikian juga, kompetisi di level desa dan rukun warga, perlu kedewasaan mengembangkan silaturahmi (bukan memutuskan), memperhatikan (bukan mencuetkan), menerima saran (bukan menolak), memberi prioritas dengan nalar (bukan kepentingan politik), dan merangkul (bukan meninggalkan).

BACA JUGA:  RAKYAT SINJAI MENOLAK TAMBANG EMAS MERUSAK 

 

Kita perlu pemimpin yang rajin turun ke bawah bergerilya “blusukan” (bukan pencitraan), sehingga dapat mendengar dan melihat langsung kondisi rakyat tanpa kecuali. Jangan buat kebijakan “poco-poco” (istilah yang dipopulerkan Megawati Soekarno Putri), kebijakan tidak konsisten, ganti-ganti, maju mundur, atau cepat berganti arah.

 

Kita juga berharap kompetisi di pemilihan kepala desa dan rukun warga tidak menyebakkan terdiskualifikasinya saudara-saudari kita yang menjadi lawan politik lokal termasuk para pendukungnya. Kita tidak ingin mendengar bahwa suatu desa atau wilayah rukun warga, tidak mendapatkan program karena mereka adalah lawan politik atau bukan pendukung bupati atau desa yang sedang berkuasa. Kalau ini terjadi, mereka yang tertinggal secara geografi, tertinggal secara sosial, dan tertinggal karena kerentanan, akan semakin tertinggal karena sengaja ditinggalkan.

 

Presiden Prabowo dalam berbagai pidatonya menyampaikan pepatah Tiongkok “seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak”. Dalam kesempatan lain, beliau sering menyampaikan bahwa “membangun bangsa sebesar Indonesia membutuhkan kolaborasi, membutuhkan kekompakan, membutuhkan rasa untuk bersatu menuju cita-cita yang sama”.

Pepatah Afrika yang juga diungkapkan oleh Hillary Clinton dalam bukunya ” It Take a Village” terdapat kutipan “It takes a village to raise a child” yang menekankan bahwa kita butuh sekampung membangun generasi yang kuat dan tangguh. Sekampung artinya kerjasama dan partisipasi semua unsur di masyarakat tanpa diskriminasi dalam membangun kampung.

Bagi yang merasa tertinggal camkan pepatah di atas bahwa tanggung jawab membangun masa depan baik di level kampung/ desa/kelurahan dan negeri ini adalah tanggung jawab bersama. Teruslah berkarya dan produktif. Jangan pernah lelah mencintai Republik ini. Merdeka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.