Oleh : Nursyirwan, Dosen IAIN Bone, Sekretaris Umum MUI Bone
—————————–
HIJRAH Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa fundamental dalam sejarah Islam, menandai dimulainya peradaban Islam dan penegakan syariat secara menyeluruh. Peristiwa ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah transformasi spiritual, sosial, dan politis yang membawa dampak luas bagi umat manusia. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pemaknaan hijrah sering kali mengalami pergeseran, bahkan distorsi, terutama dalam konteks kontemporer.
Ulama-ulama moderat sepakat bahwa hakikat hijrah adalah perpindahan dari kondisi yang tidak memungkinkan tegaknya syariat Islam menuju kondisi yang lebih kondusif untuk mengamalkan ajaran agama secara sempurna. Ini mencakup, pertama hijrah makaniyah (perpindahan tempat), seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, berpindah dari lingkungan yang penuh tekanan dan ancaman terhadap dakwah Islam ke tempat yang aman dan memungkinkan perkembangan ajaran Islam, dan kedua hijrah ma’nawiyah (perpindahan makna/sikap). Makna kedua ini yang lebih relevan dalam konteks modern. Hijrah dalam makna ini adalah perubahan sikap, perilaku, dan pola pikir dari yang buruk menjadi baik, dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan menuju ilmu, dan dari kemunduran menuju kemajuan. Hijrah ini menekankan pentingnya introspeksi diri, memperbaiki akhlak, meningkatkan kualitas ibadah, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Syekh Yusuf Al-Qardhawi, salah seorang ulama moderat terkemuka menekankan, hijrah tidak selalu berarti meninggalkan tanah air. Beliau menyatakan, “Hijrah yang sebenarnya adalah meninggalkan keburukan menuju kebaikan, meninggalkan maksiat menuju ketaatan, dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan menuju hal-hal yang dihalalkan.” Beliau juga menambahkan, hijrah zaman sekarang adalah hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya dengan cara menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta berhijrah dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang mulia.
Senada dengan Al-Qardhawi, Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menjelaskan, hijrah yang hakiki adalah hijrah dari hawa nafsu dan syahwat menuju ketaatan kepada Allah. Ini adalah perjuangan batin yang tiada henti untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Budaya Bugis, dengan falsafah hidupnya yang kaya, menawarkan lensa unik untuk memahami hijrah. Dua konsep sentral yang relevan adalah siri’ na pacce dan acca. Hijrah dalam konteks siri’ (harga diri dan solidaritas/empati) berarti menjaga martabat dan kehormatan diri serta keluarga dari hal-hal yang merusak, baik secara moral maupun spiritual. Ini adalah hijrah dari perbuatan tercela yang bisa meruntuhkan siri’. Contohnya, seorang Bugis yang hijrah dari kebiasaan buruk seperti berjudi atau berkhianat, karena itu merusak siri’ pribadi dan keluarga. Pacce mengajarkan empati dan solidaritas. Hijrah di sini bisa berarti hijrah dari individualisme menuju kepedulian sosial, di mana kita tidak hanya fokus pada diri sendiri tetapi juga berjuang untuk kebaikan komunitas, membantu mereka yang membutuhkan, dan menegakkan keadilan. Ini adalah bentuk hijrah dari kemalasan atau apatis terhadap masalah sosial.
Pendidikan tinggi berperan krusial dalam memperluas cakrawala siri’ na pacce. Mahasiswa didorong untuk tidak hanya menjaga kehormatan pribadi, tetapi juga kehormatan almamater dan bangsa melalui integritas akademik dan profesionalisme. Aspek pacce diperkuat melalui kegiatan pengabdian masyarakat, di mana ilmu yang diperoleh digunakan untuk memecahkan masalah lokal dan global.
Konsep acca (kecerdasan) sangat relevan dengan hijrah dalam makna progresif. Hijrah bukan hanya soal meninggalkan, melainkan juga soal mencari dan membangun yang lebih baik. Ini adalah hijrah dari kebodohan menuju ilmu, dari keterbelakangan menuju kemajuan. Orang Bugis yang macca akan senantiasa mencari cara untuk meningkatkan kualitas diri, belajar hal baru, dan berinovasi. Ini juga mencakup hijrah dari pola pikir statis menuju pola pikir adaptif dan inovatif. Dalam menghadapi tantangan modern, kemampuan untuk berpikir strategis dan cepat beradaptasi adalah esensi dari hijrah.
Pendidikan tinggi adalah ladang subur bagi pengembangan acca. Kurikulum yang relevan, riset, dan pengembangan inovasi mendorong mahasiswa untuk menjadi individu yang cerdas, adaptif, dan mampu bersaing di kancah global. Dosen dan mahasiswa bersama-sama melakukan “hijrah intelektual” dengan terus mencari pengetahuan baru dan memecahkan masalah kompleks, yang pada akhirnya akan mengangkat harkat masyarakat Bugis dan bangsa.
Pendidikan Tinggi sebagai Lokomotif Hijrah Moderat
Perguruan tinggi, dengan perannya sebagai pusat keilmuan dan peradaban, adalah agen utama dalam mendorong hijrah yang moderat, yang meliputi (1) Hijrah Intelektual: hijrah dari pemikiran sempit dan dogmatis menuju pemikiran kritis, analitis, dan inklusif. Ini adalah hijrah dari taqlid buta menuju ijtihad yang bertanggung jawab, mahasiswa diajarkan untuk memahami beragam perspektif dan mencari kebenaran melalui metode ilmiah, (2) hijrah profesional: hijrah dari ketidakmampuan menuju kompetensi dan profesionalisme. Mahasiswa dibekali keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk berkontribusi positif di dunia kerja, menciptakan nilai, dan menjadi solusi bagi masalah masyarakat, (3) hijrah karakter: hijrah dari akhlak yang buruk menuju akhlak mulia, dari intoleransi menuju toleransi, dari egoisme menuju empati. Nilai-nilai moderasi beragama, kebhinekaan, dan Pancasila diinternalisasikan untuk membentuk individu yang berakhlak mulia dan berwawasan luas.
Seorang mahasiswa Bugis yang menempuh pendidikan tinggi tidak hanya mencari gelar, tetapi juga menginternalisasi makna hijrah. Ia menjaga siri’ dengan menjauhi praktik plagiarisme dan korupsi akademik. Ia mengamalkan pacce dengan aktif dalam kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat, menggunakan ilmunya untuk membantu sesama. Ia mengembangkan acca dengan menjadi pembelajar seumur hidup, berinovasi, dan berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Pada saat yang sama, pendidikan tinggi memberikan landasan kuat bagi hijrah intelektual, profesional, dan karakter.