DARI PANCASILA KE PANGAN: WUJUDKAN KEADILAN YANG MEMBUMI

oleh -6,738 x dibaca

Oleh: Prof. Syaparuddin

Guru Besar IAIN Bone dalam Bidang Ekonomi Syariah

———————————————-

TEMA ini merupakan seruan reflektif yang menghubungkan nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila dengan kebutuhan paling mendasar umat manusia: pangan. Dalam konteks ini, Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara yang bersifat normatif, melainkan sebagai panduan etis dan praksis dalam merumuskan kebijakan pembangunan, khususnya dalam sektor agraria dan ketahanan pangan. Keadilan sosial yang menjadi sila kelima dari Pancasila menuntut implementasi nyata dalam bentuk distribusi sumber daya yang merata, termasuk akses terhadap tanah, benih, air, dan teknologi yang dibutuhkan oleh petani serta masyarakat adat dan marginal yang selama ini terpinggirkan.

Pangan adalah kebutuhan paling fundamental bagi keberlangsungan hidup manusia dan merupakan hak dasar yang melekat pada setiap warga negara. Hak atas pangan yang layak dan cukup tidak boleh dianggap sebagai barang dagangan semata, melainkan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus terpenuhi tanpa diskriminasi. Pangan yang adil dan merata menjadi fondasi utama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Namun, realitas yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, masih jauh dari ideal karena akses terhadap sumber daya produksi pangan belum merata dan justru menunjukkan ketimpangan yang sangat nyata.

Salah satu masalah utama adalah ketidakmampuan petani kecil untuk mengakses tanah sebagai modal utama dalam produksi pangan. Banyak petani tradisional yang selama ini menjadi pilar produksi pangan nasional justru kehilangan akses atas lahan mereka. Di sisi lain, kepemilikan tanah semakin terpusat pada segelintir korporasi besar yang menguasai sumber daya agraria dalam skala luas. Konsentrasi kepemilikan tanah seperti ini menimbulkan ketimpangan struktural yang memperburuk kemiskinan di pedesaan dan melemahkan kedaulatan pangan nasional. Padahal, petani kecil dan komunitas lokal sejatinya adalah aktor kunci dalam menjaga ketahanan pangan bangsa.

Ironisnya, Indonesia sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya alam dan potensi agrikultur masih harus menghadapi ketergantungan pada impor pangan. Situasi ini menunjukkan kegagalan sistem pangan nasional dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara mandiri. Penyebabnya tidak hanya soal produksi yang rendah, tetapi juga karena alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian seperti perumahan dan industri yang semakin meluas. Alih fungsi lahan ini mengancam keberlanjutan produksi pangan lokal dan memperbesar risiko krisis pangan di masa depan.

Kerusakan ekosistem yang terjadi akibat eksploitasi lahan secara berlebihan juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi pangan. Hutan yang berfungsi sebagai penyangga iklim dan sumber air bagi lahan pertanian semakin berkurang, sementara tanah pertanian seringkali mengalami degradasi akibat penggunaan pestisida dan praktik bercocok tanam yang tidak berkelanjutan. Dampak ekologis ini tidak hanya mengancam produksi pangan jangka pendek, tetapi juga berimplikasi pada ketahanan pangan jangka panjang. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan alam dan ekosistem menjadi bagian penting dari upaya mewujudkan keadilan pangan yang hakiki.

Dalam perspektif Pancasila, khususnya sila kedua yang menegaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kondisi ketimpangan dalam akses pangan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar tersebut. Kemanusiaan yang adil dan beradab menghendaki setiap individu mendapatkan perlakuan yang sama dalam memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa ada diskriminasi dan ketidakadilan. Ketimpangan struktural yang menghambat petani kecil justru merugikan kemanusiaan dan merusak nilai-nilai persatuan dan keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh bangsa.

Keadilan sosial dalam konteks pangan tidak hanya menuntut pemerataan kepemilikan lahan, tetapi juga akses terhadap modal, teknologi, pendidikan, dan pasar bagi petani kecil dan komunitas lokal. Tanpa akses yang memadai, petani akan sulit meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya. Negara harus hadir secara aktif sebagai fasilitator dan pelindung agar sistem pangan bisa berjalan secara inklusif dan berkeadilan. Kebijakan agraria yang berpihak pada rakyat kecil, penguatan kelembagaan petani, serta pengembangan pertanian berkelanjutan menjadi solusi strategis yang harus diwujudkan.

Lebih jauh lagi, ketahanan pangan merupakan bagian dari kedaulatan nasional yang harus dijaga agar Indonesia tidak mudah terguncang oleh fluktuasi pasar global dan kepentingan asing. Ketergantungan impor pangan pada dasarnya melemahkan posisi bangsa dalam menentukan arah pembangunan nasional dan merugikan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kedaulatan pangan harus menjadi prioritas nasional dengan dukungan kebijakan yang kuat, pelibatan masyarakat, dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana.

Transformasi dari Pancasila ke pangan merupakan upaya konkret untuk menerjemahkan nilai-nilai ideologis bangsa ke dalam kebijakan yang nyata dan berpihak pada kedaulatan pangan serta kesejahteraan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara bukan hanya menjadi doktrin normatif, tetapi harus menjadi sumber inspirasi dalam membangun sistem pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Melalui transformasi ini, nilai-nilai seperti keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan bangsa diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang mengutamakan hak dan kepentingan rakyat banyak, terutama kelompok rentan seperti petani kecil dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor pangan.

Kedaulatan pangan dalam konteks ini berarti hak penuh negara dan rakyat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi lokal, budaya, dan kebutuhan komunitasnya masing-masing. Hal ini menuntut pengakuan terhadap keanekaragaman agraria dan kearifan lokal yang selama ini menjadi modal penting dalam produksi pangan di berbagai daerah. Dengan memegang prinsip kedaulatan pangan, negara tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar global yang sering kali tidak berpihak pada kepentingan nasional, tetapi mampu merumuskan kebijakan yang melindungi dan memberdayakan petani lokal agar dapat mengembangkan sistem pangan yang mandiri dan berkelanjutan.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (1): MENGGAGAS KEUANGAN BERKELANJUTAN DI ERA DIGITAL

Perubahan paradigma menjadi kunci dalam proses transformasi ini. Selama ini, sistem pertanian Indonesia banyak bergantung pada impor dan industrialisasi berbasis kapitalisme global yang menempatkan produksi pangan sebagai komoditas semata demi keuntungan ekonomi dalam skala besar. Model ini seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan serta melemahkan petani kecil yang merupakan tulang punggung produksi pangan nasional. Oleh karena itu, paradigma baru yang menekankan penguatan pertanian lokal harus dibangun dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan rakyat sebagai fokus utama.

Penguatan pertanian lokal yang berkelanjutan harus mengutamakan pendekatan agroekologi, yang menghargai kelestarian lingkungan sekaligus meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Model pertanian ini memanfaatkan kearifan lokal dan teknologi ramah lingkungan untuk menjaga kesuburan tanah, mengelola sumber daya alam secara bijaksana, dan mengurangi ketergantungan pada input kimia yang berbahaya. Dengan demikian, transformasi pangan dari Pancasila tidak hanya soal ketersediaan pangan semata, tetapi juga soal menjaga keseimbangan ekosistem demi keberlangsungan hidup masyarakat di masa depan.

Negara memiliki peran sentral dalam mewujudkan transformasi ini melalui regulasi dan intervensi aktif yang melindungi petani kecil dan UMKM pangan. Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator yang memberikan akses modal, pelatihan, teknologi, serta pasar yang adil bagi pelaku usaha pangan skala kecil. Kebijakan subsidi yang tepat sasaran, perlindungan terhadap lahan pertanian, serta dukungan terhadap inovasi pertanian lokal harus menjadi prioritas agar petani dan pelaku usaha kecil dapat tumbuh dan bersaing secara sehat. Intervensi ini penting untuk menghindari monopoli korporasi besar yang dapat merugikan kepentingan rakyat kecil.

Selain itu, transformasi ini juga menuntut sinergi antar berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, akademisi, hingga komunitas petani dan konsumen. Kolaborasi yang kuat dapat mempercepat proses reformasi sistem pangan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pangan penting agar kebutuhan dan aspirasi masyarakat benar-benar terakomodasi, serta hasilnya dapat dirasakan secara langsung oleh mereka yang berkontribusi dalam produksi pangan.

Dalam jangka panjang, transformasi dari Pancasila ke pangan diharapkan mampu menciptakan ketahanan pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan yang dibangun atas dasar keadilan sosial akan mengurangi kerentanan terhadap gejolak pasar global dan perubahan iklim, sekaligus memperkuat daya saing nasional di kancah internasional. Dengan demikian, pangan tidak hanya menjadi urusan teknis produksi dan distribusi, tetapi juga simbol kedaulatan bangsa yang mengakar pada nilai-nilai Pancasila dan keadilan sosial.

Mewujudkan keadilan yang membumi dalam konteks pangan tidak dapat dilepaskan dari pengakuan dan penguatan peran perempuan dalam seluruh rantai produksi pangan. Di banyak wilayah, khususnya di pedesaan, perempuan memegang peranan vital mulai dari menanam, merawat tanaman, hingga mengolah hasil panen menjadi produk bernilai tambah. Peran mereka yang sangat penting ini sering kali berjalan di balik layar dan tidak mendapatkan penghargaan yang layak, baik dari masyarakat maupun kebijakan pemerintah. Padahal, tanpa kontribusi perempuan, ketahanan pangan nasional akan sulit terwujud secara optimal karena perempuan merupakan ujung tombak dalam menjaga keberlanjutan produksi pangan di tingkat lokal.

Sayangnya, keberadaan perempuan dalam sektor pertanian sering kali diabaikan secara formal dan marginal dalam akses terhadap sumber daya produksi seperti lahan, modal, teknologi, dan pelatihan. Banyak perempuan petani yang tidak tercatat sebagai pemilik lahan meskipun mereka terlibat aktif dalam proses produksi. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan gender yang harus segera diperbaiki agar perempuan mendapatkan posisi dan hak yang setara dalam pembangunan pangan. Ketidakadilan ini tidak hanya melemahkan perempuan secara individu, tetapi juga berdampak negatif pada produktivitas dan kesejahteraan komunitas secara keseluruhan.

Dalam semangat Pancasila, penghormatan terhadap peran gender menjadi cerminan dari nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan yang inklusif. Sila kedua, yang menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab, menuntut agar semua warga negara diperlakukan dengan adil tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi berbasis gender. Mengakui dan memperkuat peran perempuan dalam sektor pangan berarti memberi ruang bagi keadilan sosial yang lebih menyeluruh, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan meraih manfaat dari pembangunan.

Penguatan peran perempuan dalam rantai pangan juga menegaskan bahwa pembangunan yang berkeadilan harus inklusif dan memberdayakan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya kelompok dominan. Ketika perempuan diberikan akses yang memadai terhadap pendidikan, pelatihan, dan sumber daya lainnya, mereka mampu meningkatkan produktivitas pertanian, mengembangkan inovasi pangan, dan berkontribusi pada kesejahteraan keluarga serta komunitas. Ini sejalan dengan prinsip sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menuntut pemerataan kesejahteraan.

Menghindari diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks pangan juga berarti menciptakan kebijakan publik yang responsif gender. Pemerintah dan lembaga terkait harus merancang program dan regulasi yang secara eksplisit memperhatikan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi perempuan di sektor pangan. Pendekatan ini akan memperkuat partisipasi perempuan sekaligus memperbaiki distribusi manfaat pembangunan pangan sehingga lebih merata dan berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan pangan yang inklusif gender menjadi langkah strategis untuk mewujudkan keadilan yang membumi.

Selain itu, peran perempuan dalam pangan juga berkaitan erat dengan pelestarian kearifan lokal dan budaya agraris. Banyak pengetahuan tradisional tentang pertanian, pengelolaan tanaman, dan pemanfaatan sumber daya alam yang diwariskan secara turun-temurun oleh perempuan. Pengetahuan ini sangat berharga untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Menghargai dan memberdayakan perempuan berarti juga menjaga warisan budaya yang menjadi bagian dari identitas bangsa dan pondasi ketahanan pangan.

BACA JUGA:  PALESTINA MEMANGGIL SOLIDARITAS UMAT ISLAM

Keadilan pangan tidak dapat dipisahkan dari aspek lingkungan hidup yang menjadi fondasi utama dalam proses produksi pangan. Eksploitasi yang berlebihan atas tanah dan sumber daya alam demi memenuhi kebutuhan pangan dalam skala besar telah menimbulkan berbagai masalah ekologi yang serius, seperti pencemaran air, degradasi kualitas tanah, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Kondisi ini tidak hanya mengancam kelangsungan produksi pangan jangka panjang, tetapi juga merusak keseimbangan alam yang menjadi sumber kehidupan. Oleh karena itu, keadilan pangan harus dipandang sebagai bagian integral dari upaya menjaga kelestarian lingkungan.

Narasi keadilan sosial dalam konteks pangan harus merangkul keberlanjutan lingkungan sebagai salah satu prinsip utama. Pancasila, selain menjadi dasar ideologi bangsa, juga mengandung nilai-nilai ekologis yang mendalam. Prinsip keseimbangan antara manusia dan alam tercermin dalam sikap bertanggung jawab menjaga sumber daya alam agar tidak habis dan tetap tersedia untuk generasi mendatang. Hal ini menuntut setiap kebijakan pangan dan pembangunan pertanian untuk mengedepankan pendekatan yang ramah lingkungan dan menghormati batas kemampuan alam.

Konsep keadilan yang dibawa oleh Pancasila mengajarkan bahwa manusia tidak boleh semena-mena mengeksploitasi alam demi kepentingan sesaat. Manusia sebagai makhluk yang diberi akal dan tanggung jawab harus mampu mengelola sumber daya alam secara bijak, agar dapat memastikan keberlangsungan hidup dan kesejahteraan bagi semua, termasuk generasi yang akan datang. Dalam konteks pangan, hal ini berarti produksi pangan tidak boleh merusak lingkungan, tetapi harus sejalan dengan pelestarian ekosistem dan sumber daya alam.

Ketika lingkungan hidup dijaga dengan penuh rasa keadilan, maka produksi dan ketersediaan pangan akan berlangsung secara berkelanjutan. Pertanian yang menjaga kesuburan tanah, menjaga kualitas air, serta melindungi keanekaragaman hayati akan menghasilkan pangan yang tidak hanya cukup, tetapi juga berkualitas dan aman bagi kesehatan masyarakat. Dengan demikian, keadilan pangan harus mencakup aspek ekologis agar tidak hanya memenuhi kebutuhan hari ini, tetapi juga menjamin ketahanan pangan di masa depan.

Upaya menjaga keseimbangan ini menuntut perubahan paradigma dalam cara memandang produksi pangan. Model pertanian yang berorientasi pada ekspansi dan intensifikasi tanpa batas harus bergeser ke arah sistem yang menghargai kelestarian lingkungan dan menjaga siklus alam. Agroekologi dan pertanian berkelanjutan menjadi alternatif yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, yang menekankan keadilan sosial sekaligus tanggung jawab ekologis. Dengan pendekatan ini, keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kemampuan alam dapat terjaga.

Peran negara dan masyarakat sangat penting dalam mewujudkan keadilan lingkungan dalam sistem pangan. Pemerintah harus menerapkan regulasi yang ketat terhadap praktik-praktik pertanian yang merusak lingkungan serta mendorong penggunaan teknologi dan metode yang ramah lingkungan. Sementara itu, masyarakat dan pelaku pertanian perlu diberdayakan agar dapat mengadopsi cara-cara bertani yang berkelanjutan dan menjaga kelestarian alam. Sinergi antara kebijakan dan partisipasi masyarakat menjadi kunci sukses dalam menjaga lingkungan hidup sebagai bagian tak terpisahkan dari keadilan pangan.

Lebih jauh, pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan juga berarti menjamin akses yang adil terhadap sumber daya bagi semua pelaku produksi pangan, terutama petani kecil dan komunitas lokal yang bergantung pada alam. Ketimpangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam sering kali menjadi penyebab kerusakan lingkungan karena praktik eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, mewujudkan keadilan ekologis harus diiringi dengan upaya reformasi agraria dan distribusi sumber daya yang adil agar lingkungan dan pangan dapat dikelola secara berkelanjutan.

Dalam era globalisasi dan perubahan iklim yang semakin nyata dampaknya, wacana “dari Pancasila ke pangan” menjadi sangat relevan dan mendesak untuk diimplementasikan. Ketika pangan tidak lagi hanya soal kebutuhan dasar, tetapi juga menjadi komoditas yang dipolitisasi dan diperdagangkan dalam sistem ekonomi global yang kompleks, kerentanan pangan rakyat semakin besar. Di sinilah peran negara menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan pangan tidak hanya sekadar menyesuaikan diri dengan dinamika pasar internasional, tetapi juga melindungi hak-hak dasar warganya terhadap pangan yang cukup, aman, dan berkelanjutan.

Globalisasi telah membawa konsekuensi tersendiri bagi kedaulatan pangan suatu negara, terutama bagi negara agraris seperti Indonesia. Ketergantungan pada impor pangan dan terpengaruhnya harga pangan oleh fluktuasi pasar dunia membuat ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Di tengah kondisi perubahan iklim yang menyebabkan ketidakpastian produksi pangan akibat cuaca ekstrem, bencana alam, dan perubahan musim, negara harus mengambil posisi yang tegas untuk melindungi masyarakat dari risiko kekurangan pangan dan ketidakstabilan harga yang dapat berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Kebijakan perdagangan yang diarahkan pada liberalisasi tanpa batas seringkali mengorbankan petani kecil dan produksi pangan lokal. Oleh karena itu, negara perlu mengarahkan kebijakan perdagangan, investasi, dan pengembangan infrastruktur secara strategis untuk memperkuat ketahanan pangan lokal. Hal ini berarti memberikan prioritas pada pengembangan pertanian berbasis komunitas dan lokal yang berkelanjutan serta mengurangi ketergantungan pada impor yang dapat melemahkan kedaulatan pangan. Pendekatan ini tidak hanya menjaga stabilitas pangan, tetapi juga meningkatkan kemandirian ekonomi rakyat.

Pentingnya mengarahkan kebijakan pada ketahanan pangan lokal juga harus diselaraskan dengan memperhatikan dimensi sosial dan ekologis. Ketahanan pangan tidak boleh diukur hanya dari sisi kuantitas produksi atau nilai ekonomi semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek keadilan sosial bagi petani, pelestarian lingkungan, serta kesinambungan sumber daya alam. Dengan demikian, pembangunan sektor pangan harus dilakukan secara holistik, mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan agar hasilnya benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan.

BACA JUGA:  HULUISASI DAN HILIRISASI KEUANGAN KOMERSIL ISLAM (2)

Di tengah kompleksitas tantangan ini, Pancasila harus dijadikan filter moral sekaligus kompas dalam menentukan arah kebijakan pangan nasional. Nilai-nilai Pancasila yang menekankan keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan Indonesia memberikan landasan etis dan filosofis yang kuat bagi negara dalam mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak. Dengan memegang teguh prinsip-prinsip ini, negara dapat memastikan bahwa kebijakan pangan tidak hanya didorong oleh kepentingan ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Menjadikan Pancasila sebagai filter moral berarti kebijakan yang diambil harus menghindari praktik-praktik yang eksploitatif, diskriminatif, atau merugikan kelompok rentan, seperti petani kecil dan masyarakat adat. Negara harus memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat memperoleh manfaat yang adil dari kebijakan pangan dan pembangunan agraria. Dengan demikian, kedaulatan pangan menjadi wujud nyata keadilan sosial yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Selain itu, Pancasila sebagai kompas kebijakan juga mengarahkan negara untuk menjaga harmoni dan persatuan di tengah tantangan globalisasi. Kedaulatan pangan yang kuat akan memperkokoh ketahanan nasional dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing yang sering kali memiliki agenda terselubung. Negara harus memprioritaskan kebijakan yang menjaga kemandirian pangan sebagai bagian dari kedaulatan nasional yang berakar pada semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Membangun sistem pangan yang adil dan membumi tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah atau sektor formal saja, melainkan harus melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Dalam kerangka nilai-nilai Pancasila, prinsip musyawarah dan gotong royong menjadi landasan penting dalam membangun kekuatan kolektif masyarakat untuk mengelola pangan secara berkelanjutan dan adil. Melalui proses musyawarah, berbagai pihak dapat berdiskusi dan bersepakat dalam mengambil keputusan yang mencerminkan kepentingan bersama, sehingga setiap langkah pembangunan pangan mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat luas.

Partisipasi masyarakat ini konkret terwujud dalam pembentukan komunitas-komunitas pangan yang saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Contohnya adalah koperasi tani yang berperan sebagai wadah kolektif bagi para petani untuk mengelola produksi, pemasaran, dan distribusi hasil pertanian secara bersama-sama. Koperasi ini tidak hanya meningkatkan daya tawar petani kecil, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada perantara yang sering kali mengambil keuntungan berlebih. Begitu pula dengan bank benih lokal yang menjaga ketersediaan benih unggul dan adaptif secara lokal, sehingga petani dapat terus memproduksi pangan dengan sumber daya yang berkelanjutan.

Selain itu, pasar rakyat menjadi ruang strategis yang menghubungkan produsen langsung dengan konsumen tanpa perantara yang memberatkan kedua belah pihak. Pasar ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana transaksi ekonomi, tetapi juga sebagai tempat bertemu dan saling mengenal antar warga, memperkuat ikatan sosial dan solidaritas dalam komunitas. Dengan demikian, pasar rakyat mendukung kemandirian ekonomi lokal dan menumbuhkan rasa kepemilikan kolektif terhadap sistem pangan yang ada.

Praktik-praktik ini, yang berakar pada nilai gotong royong dalam Pancasila, memperkuat ekonomi lokal secara nyata sekaligus membangun solidaritas sosial yang kokoh. Solidaritas inilah yang menjadi pondasi dari keadilan yang sesungguhnya, di mana tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan atau terpinggirkan dalam rantai produksi dan konsumsi pangan. Keadilan pangan yang membumi ini memastikan bahwa manfaat pembangunan pangan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat secara adil dan merata.

Lebih jauh, pangan dalam konteks ini menjadi lebih dari sekadar kebutuhan fisik; ia berfungsi sebagai jembatan antara cita-cita kolektif bangsa dan praktik kehidupan sehari-hari masyarakat. Melalui keterlibatan aktif dalam sistem pangan, masyarakat tidak hanya memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap sesama. Hal ini memperkuat identitas sosial dan budaya yang berlandaskan Pancasila, sekaligus menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap hasil karya dan kearifan lokal.

Partisipasi masyarakat yang terorganisir dengan baik juga membuka ruang bagi inovasi dan adaptasi lokal dalam sistem pangan. Komunitas-komunitas pangan dapat saling bertukar pengetahuan dan pengalaman, mengembangkan teknologi tepat guna, dan beradaptasi dengan perubahan iklim maupun tantangan ekonomi. Dengan demikian, sistem pangan menjadi lebih dinamis, tangguh, dan responsif terhadap kebutuhan lokal, sekaligus mempertahankan keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Selain aspek ekonomi dan sosial, partisipasi masyarakat dalam sistem pangan juga memperkuat demokrasi lokal dan pemberdayaan rakyat. Proses musyawarah dan gotong royong mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan kolektif, transparansi, dan akuntabilitas yang esensial dalam tata kelola sumber daya pangan. Dengan demikian, pembangunan pangan yang adil dan membumi bukan hanya soal distribusi pangan yang merata, tetapi juga tentang membangun tata kelola yang inklusif, partisipatif, dan berkeadilan bagi semua.

Akhirnya, keadilan yang membumi dalam sektor pangan adalah refleksi konkret dari pengamalan Pancasila secara utuh. Ini bukan sekadar agenda teknokratik, tetapi juga perjuangan ideologis untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan sejahtera. Pancasila yang hidup dan bekerja adalah Pancasila yang hadir di ladang-ladang petani, di meja makan keluarga, dan dalam setiap kebijakan publik yang berpihak pada rakyat. Dengan begitu, transformasi dari Pancasila ke pangan adalah upaya luhur untuk menjadikan keadilan tidak hanya sebagai konsep, tetapi sebagai realitas yang mengakar di bumi pertiwi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.