Oleh:
Dr. Rudi Salam, Dosen Jurusan Ilmu Administrasi FISH Universitas Negeri Makassar, Editor Jurnal Nasional dan Internasional Bereputasi.
Nurul Aliah, S.Sos., M.AP, Dosen Jurusan Ilmu Administrasi FISH Universitas Negeri Makassar
Opini berjudul ”Reaktualisasi Program Sapta Pesona Dalam Mendukung Pengembangan 5A Kepariwisataan pada era NENOLE” (New Normal Local Economy) yang ditulis oleh Andi Promal Pawi, S.T., M.Si. bersama Prof. Haedar Akib (Tribun: Senin, 20 Mei 2024, link: https://tribunboneonline.com/2024/05/20/reaktualisasi-program-sapta-pesona-kepariwisataan-pada-era-nenole/) menarik dicermati seiring perhatian sejumlah negara dan pemerintah lokal (daerah) terhadap pariwisata sebagai leading sector pembangunan multi-dimensional. Menurut keduanya, sektor pariwisata diakui mampu memberikan dampak positif, manfaat, dan benefit bagi negara atau daerah yang mengembangkan. Oleh karena itu, sektor pariwisata mengalami ekspansi, diversifikasi, dan intensifikasi pengelolaan secara berkelanjutan karena menjadi salah satu sektor ekonomi terbesar dan tercepat pertumbuhannya paska Pandemi COVID-19, bahkan sebelumnya kontribusi sektor pariwisata terhadap Gross Domestic Product (GDP) dunia sekitar 9 persen, dimana 1 dari 11 pekerjaan diciptakan oleh sektor pariwisata.
Pertanyaan retorisnya adalah mengapa perlu rekonstruksi (penataan ulang) strategi daya saing lokal berbasis pariwisata, padahal banyak daerah (kabupaten/kota) di Indonesia saat ini mengkreasi dan mengembangkan beragam potensi yang dimiliki menjadi kompetensi inti yang bernilai tambah bagi kemajuan daerahnya. Jawaban simpelnya karena kita melihat pariwisata bukan hanya sebagai etalase indah, tetapi sebagai ”mesin kecil” yang jika dirakit ulang dengan cermat mampu menggerakkan ekonomi, identitas, dan keberlanjutan pembangunan daerah secara multi-dimensional.
***
Urgensi menata ulang strategi daya saing daerah kabupaten kota di Indonesia muncul dari perubahan besar dalam dinamika pariwisata global. Wisatawan kini bergerak seperti ”penjelajah digital” karena sensitif pada pengalaman autentik, peduli terhadap keberlanjutan, dan kritis terhadap kualitas pelayanan. Oleh karena itu, daerah yang tidak beradaptasi cenderung tertinggal, karena daya saing tidak lagi hanya bergantung pada seberapa indah pantai (Pink di Pulau Komodo, Raja Ampat di Papua Barat, Ora di Maluku, Derawan di Kalimantan Timur, Gili Trawangan di NTB, Nihiwatu di Sumba, Tanjung Tinggi di Bangka Belitung, Kuta dan Kelingking di Bali, Iboih di Aceh, Pasir Putih di Bira Bulukumba) atau megahnya gunung, Karst atau Geopark (Rinjani, Semeru, Bromo, Jayawijaya, Ijen, Kerinci, Merbabu, Prau, Lawu, dan Gede Pangrango, Bawakaraeng) yang dimiliki, tetapi pada bagaimana semua potensi tersebut dikemas, dikelola, dan dihubungkan dengan pasar pariwisata global. Rekonstruksi juga penting untuk mengatasi persoalan klasik – ketidakmerataan pembangunan, lemahnya koordinasi antar-instansi, kerentanan terhadap krisis (pandemi, longsor dan banjir akibat eksploitasi), serta minimnya inovasi dalam tata kelola destinasi. Oleh karena itu, penataan ulang strategi daya saing lokal berbasis pariwisata menjadikan daerah mampu meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah), membuka lapangan kerja, menggerakkan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah), memperkuat branding wilayah, dan pada akhirnya memperkuat posisi kompetitifnya di tingkat nasional dan internasional.
***
Rekonstruksi daya saing daerah berbasis pariwisata dipahami sebagai upaya menata ulang fondasi, strategi, dan ekosistem daerah dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai pengungkit utama (trigger, pemicu) pertumbuhan dan leading sector pembangunan multi-dimensional. Komponen strategi pengembangan kepariwisataan yang direkonstruksi bukan sekadar infrastruktur fisik, tetapi juga nilai, cara pandang, tata kelola, hingga cara sebuah daerah bercerita tentang dirinya sendiri kepada dunia. Konsep ini merujuk pada proses menyusun kembali kompetensi/ elemen inti yang membentuk keunggulan daerah, mulai dari kekayaan alam, budaya lokal, kreativitas masyarakat, hingga kualitas layanan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi, efisien, dan berdaya jual tinggi. Jadi, rekonstruksi berarti memperbaiki dan memperbarui, bukan mengganti sepenuhnya dengan menggabungkan kekuatan lama yang relevan dengan inovasi baru yang lebih adaptif terhadap tuntutan zaman.
Rekonstruksi daya saing daerah merupakan proses strategis untuk mengangkat potensi lokal dari sekadar aset pasif menjadi kompetensi yang bernilai dalam arena persaingan regional maupun global. Potensi lokal bisa berupa lanskap alam yang khas, budaya yang hidup, tradisi kuliner yang menggugah, kerajinan yang otentik, narasi sejarah hingga karakter masyarakat. Oleh karena itu, mengubah potensi menjadi kompetensi yang bernilai tambah membutuhkan kerja yang terencana, dimana prosesnya dimulai dari memahami karakter unik suatu daerah, lalu merumuskan elemen apa yang benar-benar bisa menjadi pembeda, sehingga keunikan lokal menjadi komoditas berharga ketika dikemas dengan cara yang menyentuh pengalaman wisatawan. Tarian tradisional tidak hanya tampil sebagai pertunjukan rutin, tetapi sebagai pengalaman belajar budaya. Kuliner lokal tidak hanya dijual, tetapi diceritakan sebagai bagian dari identitas ekologis dan sejarah daerah. Produk kerajinan tidak hanya diproduksi, tetapi juga diberi sertifikasi, branding, dan akses ke pasar digital sebagai bentuk penataan ulang ekosistem agar seluruh potensi tersebut naik kelas menjadi kompetensi unggulan dan bernilai tambah.
Nilai tambah muncul ketika daerah mampu menyatukan proses kreatif, inovasi, dan tata kelola yang kuat yaitu pemerintah daerah membuat kebijakan yang mendukung lingkungan usaha, memperbaiki infrastruktur, dan menjamin pariwisata berkembang secara berkelanjutan. Masyarakat lokal mengambil peran sebagai pelaku inti yang menjaga kualitas layanan dan menawarkan pengalaman autentik. Pelaku usaha memperkuat rantai nilai melalui produk kreatif, paket wisata terintegrasi, atau layanan berbasis teknologi. Akademisi dan komunitas menjadi mitra yang menyediakan pengetahuan, riset, serta pengembangan kapasitas. Dengan kata lain, ada kolaborasi aktor dalam pengembangan kepariwisataan. Selanjutnya, kompetensi lokal bernilai tambah bukan hanya soal “apa yang ditawarkan”, melainkan pula “bagaimana ditawarkan”, mulai dari kualitas layanan, kemudahan akses digital, keselamatan destinasi, hingga narasi yang menggugah emosional. Dengan kata lain, potensi lokal dipoles menjadi pengalaman bernilai yang sulit ditiru oleh daerah lain.
Proses rekonstruksi juga menunjukkan aplikasi pendekatan yang bersifat multidimensi. Pertama, daerah (kabupaten, kota, kecamatan, desa/kelurahan, kampung) mengidentifikasi dan memetakan kembali aset pariwisata secara komprehensif, termasuk daya tarik utama, potensi tersembunyi, rantai nilai pariwisata, dan kapasitas pemangku kepentingannya. Kedua, tata kelolanya ditingkatkan melalui model kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan komunitas lokal, atau disebut ”Penta-helix” atau Heza-helix jika elemennya lebih dari lima, sehingga pengelolaan destinasi wisata tidak hanya top-down tetapi partisipatif. Ketiga, kreasi dan inovasi dijadikan sebagai roh utama dalam mendigitalisasi layanan wisata, pengembangan smart tourism, pemasaran berbasis cerita (storytelling), dan integrasi teknologi dalam promosi. Keempat, prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai prinsip kendali untuk menjamin rekonstruksi yang dilakukan tidak menggerus (mengeksploitasi) lingkungan atau merusak kearifan lokal, melainkan memperkuatnya. Kelima, memperkuat kompetensi SDM sebagai basis karena pariwisata merupakan industri layanan dan bisnis yang ramah, apalagi daya saing tidak akan hidup tanpa profesionalitas, hospitality, dan kapasitas kreatif masyarakat setempat. Pendekatan multidimensional dan sistemik tersebut efektif karena menerapkan pendekatan strategi berbasis pengetahuan (baca: Perekat Kebersamaan Daya Tarik Masyarakat Dunia Berbasis Destinasi Wisata, Associate Prof. Dr. Andi Ilham Samanlangi & Prof. Haedar Akib, Tribun Bone, Jum’at 5 Desember 2025).
Pada akhirnya, rekonstruksi daya saing daerah berbasis pariwisata bukan hanya proyek ekonomi, tetapi perjalanan kreatif untuk menghidupkan kembali identitas lokal. Daerah belajar untuk melihat dirinya sendiri dengan cara baru, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai aktor yang melakukan kurasi dan inovasi. Asumsinya adalah ketika potensi lokal berubah menjadi kompetensi bernilai tambah, pariwisata tidak sekadar menjadi sektor penunjang, tetapi motor penggerak kemajuan daerah yang inklusif, kompetitif, dan berkelanjutan. Pada konteks ini diterapkan strategi penguatan kapasitas SDM dan kolaborasi multi-pihak sembari memperjelas indikator daya saing yang digunakan untuk mengukur keberhasilannya, minimal pada jumlah kunjungan, lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan saran-kritik konstruktif dari wisatawan.
***
Pembelajaran dari praktik baik rekonstruksi strategi daya saing pariwisata di Sulawesi Selatan terlihat dari cara berbagai kabupaten/kota mengembangkan kompetensi lokal secara sadar, bukan hanya menjual destinasi secara sporadis. Rekonstruksi ini tampak pada upaya merangkai ulang potensi alam, budaya, dan ekonomi kreatif menjadi sistem pariwisata yang terarah, berbasis identitas lokal, namun responsif terhadap kebutuhan pasar wisata modern.
Pertama, penguatan kompetensi budaya lokal sebagai “signature destination” pada pengembangan wisata budaya Toraja dan jejak kerajaan Bugis-Makassar. Tana Toraja tidak hanya menjual lanskap rumah adat tongkonan dan pemakaman tebing sebagai obyek tontonan, tetapi membingkainya sebagai paket pengalaman budaya yang utuh dimana wisatawan diajak memahami filosofi kematian dan kehidupan, struktur sosial, hingga simbolisme arsitektur tradisional. Hal yang sama terjadi pada destinasi-destinasi sejarah di Gowa dan Bone, di mana situs kerajaan, masjid tua, tradisi lokal diposisikan sebagai sumber narasi identitas Sulawesi Selatan. Dengan demikian, kompetensi lokal bukan sekadar “punya budaya unik”, tetapi kemampuan mengkurasi dan menceritakan budaya tersebut dalam format yang edukatif, etis, estetis dan layak jual.
Kedua, pengembangan kompetensi bahari dan ekowisata melalui penguatan destinasi pesisir seperti Bira, Selayar, dan gugus Kepulauan Spermonde. Rekonstruksi strategi terlihat dari pergeseran orientasi dari “wisata pantai massal” menuju pengalaman bahari yang lebih diferensiatif seperti snorkeling dan diving di spot terpilih, paket island hopping, pengembangan homestay berbasis masyarakat, hingga promosi kekayaan bawah laut sebagai aset konservasi sekaligus daya tarik wisata. Pada destinasi ini, kompetensi lokal tercermin dalam kemampuan komunitas pesisir dan pelaku usaha mengelola jasa wisata bahari, menyediakan pemandu lokal terlatih, menjaga kebersihan lingkungan, dan memanfaatkan teknologi digital untuk promosi serta reservasi.
Ketiga, penguatan desa wisata dan ekosistem ekonomi kreatif yang terhubung dengan pariwisata. Sejumlah desa di Sulawesi Selatan mengembangkan kerajinan tangan, kuliner khas, dan atraksi berbasis kearifan lokal sebagai bagian integral dari paket wisata. Produk-produk lokal – tenun, kerajinan kayu, hingga olahan pangan tradisional – tidak lagi berdiri sendiri, tetapi ditempatkan dalam rantai nilai pariwisata melalui pelatihan kualitas produk, storytelling, branding, dan kanal pemasaran digital. Strategi ini merekonstruksi daya saing dari sekadar “daerah banyak pengrajin” menjadi “daerah memiliki kompetensi kreatif yang memperkaya pengalaman wisatawan”.
Keempat, rekonstruksi strategi yang diperkuat dengan pendekatan tata kelola kolaboratif. Di berbagai kawasan, pemerintah daerah mulai membangun forum multipihak yang melibatkan dinas pariwisata, pelaku usaha, komunitas, akademisi, dan kelompok pemuda untuk merancang agenda pengembangan destinasi. Praktik seperti penyusunan kalender event daerah, festival budaya, promosi lintas-kabupaten (misal, paket Toraja–Bira–Selayar), dan kemitraan dengan operator tur nasional/internasional menunjukkan bahwa daya saing tidak hanya dibangun di tingkat objek wisata, tetapi pada koordinasi dan integrasi strategi kawasan. Dengan kata lain, kompetensi lokal mencakup kemampuan daerah untuk belajar, berjejaring, dan beradaptasi dengan dinamika pasar.
Kelima, pemanfaatan pendekatan digital marketing dan manajemen pengetahuan dalam pengembangan strategi pariwisata. Penggunaan media sosial, portal informasi destinasi, serta promosi berbasis konten (foto, video, cerita) menjadikan pengalaman wisata Sulawesi Selatan lebih mudah diakses dan dibayangkan oleh calon wisatawan. Selain itu, praktik dokumentasi data kunjungan, preferensi wisatawan, evaluasi event pariwisata menjadi modal pengetahuan yang digunakan untuk memperbaiki produk dan layanan pada tahun berikutnya. Pengetahuan lokal, baik dari pelaku senior, tokoh adat, maupun komunitas didialogkan dengan pengetahuan pasar wisatawan sehingga strategi daya saing yang lahir lebih kontekstual dan berkelanjutan.
***
Konsep dan praktik baik rekonstruksi strategi daya saing daerah berbasis pariwisata ini merupakan pembelajaran bagi kita dan pemangku kepentingan untuk menjadikan identitas lokal sebagai kompetensi inti, bukan sekadar dekorasi. Kemudian, mensinergikan kompetensi tersebut dengan logika pasar dan tren wisata global serta membangun tata kelola kolaboratif yang memungkinkan proses pembelajaran tim dan inovasi berkelanjutan. Proses sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, internalisasi (SEKI) konsep dan praktik baik mengenai rekonstruksi strategi daya saing daerah berbasis kompetensi lokal ini tidak hanya mengandalkan keindahan lanskap, tetapi juga kecakapan daerah dalam mengelola, mengemas, dan mengembangkan pariwisata sebagai basis keunggulan daya saingnya dalam jangka panjang. Semoga!







