Artikulasi Simbolik Pemimpin Jempolan, Cermin bagi Pemangku Kepentingan di Daerah

oleh -1,558 x dibaca
Prof. Dr. Haedar Akib, Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Dr. Rudi Salam, S.Pd, M.Pd, Dosen Jurusan Ilmu Administrasi FISH UNM

Oleh : Prof. Dr. Haedar Akib, Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM)

 Dr. Rudi Salam, S.Pd, M.Pd, Dosen Jurusan Ilmu Administrasi FISH UNM

 

ARTIKULASI simbolik pemimpin jempolan merupakan topik pembicaraan yang selalu menarik perhatian umat manusia sepanjang masa, mulai dari Nabi Adam sampai anak-cucu Adam-Adam yang akan lahir. Daya tarik ini didasarkan pada realitas sejarah yang meneladankan karakter perilaku pemimpin di masanya, karena setiap pemimpin ada masanya dan setiap masa ada pemimpinnya. Artikulasi (pembicaraan) tentang potret diri pemimpin jempolan ini semakin menarik paska proses transaksi politik pemilihan umum (pemilu) kepala daerah dan pemilihan (elected) atau penunjukan (appointed) kepala instansi atau satuan kerja tertentu pada organisasi publik di Indonesia. Tanpa menafikan urgensi dan signifikansi keberadaan pemimpin dan gaya yang diperankan pada setiap masa untuk disepahami, penulis mengajak pembaca berefleksi dan mengaca diri selaku pemimpin jempolan. Materi tentang potret diri selaku pemimpin jempolan ini dikembangkan dari Orasi Ilmiah Prof. Dr. Haedar Akib, M.Si., pada Wisuda Sarjana dan Dies Natalis IV Universitas Tomakaka di d’Maleo Hotel and Convention Mamuju, Sabtu, 23 Agustus 2014.

***

Membangun citra organisasi publik, termasuk organisasi perangkat daerah (OPD) modern yang dinahkodai oleh “pemimpin jempolan” merupakan wacana penting dan menarik untuk dicermati. Daya tarik itu didasarkan pada kenyataan bahwa terdapat sejumlah daerah atau OPD yang sukses meraih tujuan dan sasarannya, karena diarahkan oleh pemimpin yang terpilih sesuai kapabilitas kepemimpinan yang dimiliki. Demikian pula sebaliknya, terdapat beberapa (kasus) OPD yang jalan di tempat, gagal mencapai tujuan, bahkan bubar atau mati suri karena diarahkan oleh pemimpin atau “kepala organisasi” yang tidak kapabel.

Manakala fenomena kegagalan organisasi tersebut masih demikian adanya hingga saat ini, maka perlu dicermati makna simbolik karakter jari jempol kita sebagai pembelajaran dan memahami makna simbolik dibalik alasan faktual mengapa nelayan yang menaruh ikan-ikan hasil tangkapannya di dalam keranjang dengan posisi “kepala” di bawah. Pertanyaan retorisnya adalah seperti apa potret diri pemimpin yang identik dengan makna simbolik jari jempol manusia dan posisi ikan yang ditaruh dalam keranjang dengan posisi kepalanya di bawah.

Potret diri pemimpin jempolan (Antonius Tarigan, Majalah Perencanaan Pembangunan Bappenas, 2006) mendeskripsikan makna simbolik yang dapat diberikan kepada orang yang terpilih atau dipilih untuk jabatan atau pekerjaan tertentu dalam organisasi (OPD) berdasarkan kompetensi inti inti atau kapabilitas kepemimpinan yang dimilikinya. Dengan kata lain, orang dapat dianggap sebagai pemimpin jempolan karena tipe atau gaya kepemimpinan yang diperankan dapat merepresentasikan karakter ibu jari atau jempol manusia, demikian pula kebiasaannya identik dengan makna simbolik dari ikan yang ditaruh dalam keranjang dengan posisi kepala di bawah.

BACA JUGA:  Artificial Intelligence dan Masa Depan Pendidikan : Siapa yang harus Beradaptasi?

***

Dalam khazanah teori organisasi dan manajemen sumber daya manusia (MSDM) disepahami bahwa mekanisme untuk mendapatkan seorang pemimpin dalam organisasi atau satuan kerja tertentu dapat dilakukan minimal melalui dua perspektif atau pendekatan, yaitu melalui penunjukan (appointed) dan melalui pemilihan (elected). Kedua cara baik ini dipilih dan diterapkan sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan di dalamnya.

Menurut kaidah bahasa, appointed dari kata appoint bermakna mengangkat atau menunjuk dan lazimnya orang yang menunjuk secara simbolik menggunakan jari telunjuk, sedangkan elected dari kata elect (bahasa Inggris) bermakna memilih, dimana orang yang memilih seringkali menunjukkan apresiasi simbolik kepada orang pilihannya dengan mengangkat ibu jari atau jempol (thumb), sehingga orang pilihan tersebut dianggap sebagai “orang jempolan.” Sementara itu, berdasarkan perspektif interpretatif simbolik (perspektif ketiga perkembangan teori organisasi menurut Mary Jo Hatch (2013) dalam bukunya berjudul Organization Theory, dapat dinyatakan bahwa penamaan ibu jari atau jempol manusia secara filosofis bermakna sebagai salah satu sumber pengetahuan yang mewakili dan mencirikan sekaligus membedakan sidik jari jempol setiap manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (Misbach, 2010). Pemahaman ini pula yang barangkali meneguhkan pemahaman para pakar bahwa filsafat adalah ibu, induk, atau ratu ilmu pengetahuan (Queen of Science). Jadi, “sekiranya filosof adalah pemikir yang jempolan” maka dapat dinyatakan bahwa para “pemimpin yang dipilih dan terpilih sejatinya merupakan pemimpin-pemimpin jempolan,” karena dihasilkan melalui proses (transaksi politik) pemilihan yang etis, estetis, dan demokratis (baca: Analogi Pemimpin Dalam Transaksi Politik Pemilu oleh Haedar Akib, Opini Tribun Timur, 17 Juli 2014).

***

Mencermati makna simbolik ibu jari atau jari jempol dan jari telunjuk manusia dapat dinyatakan bahwa karakter keduanya membawa konsekuensi dan implikasi yang berbeda dilihat dari berbagai aspek, antara lain. Pertama, dalam konteks komunikasi dan interaksi aktor yang terbangun. Jempol menunjukkan fleksibilitas gerakan ke arah jari-jari tangan yang lain (jari telunjuk, jari tengah, jari manis, jari kelingking) yang bermakna bahwa komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin jempolan akan lebih mudah dan fleksibel, sehingga dapat dan mudah diterima oleh koleganya sesama pemimpin dan oleh semua orang yang dipimpin. Berbeda halnya dengan karakter jari telunjuk yang relatif sulit digerakkan atau didekatkan ke jari-jari tangan yang lain. Realitas ini bermakna bahwa komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin yang ditunjuk berdasarkan kedekatan atau hubungan darah (nepotisme) mungkin juga akan sulit dan kaku, atau lebih sulit diterima, baik oleh koleganya yang merasa sama-sama memiliki kesempatan untuk ditunjuk menjadi pemimpin maupun oleh orang lain atau bawahan yang dipimpin.

BACA JUGA:  BANK SYARIAH (7):  MENJAWAB TANTANGAN PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Kedua, dalam konteks rentang kendali (span of control) dan koordinasi bawahan yang dipimpin. Jari jempol menunjukkan rentang kendali lebih luas dan kuat karena mampu menjangkau jari-jari tangan yang lain secara mudah, cepat dan tepat. Realitas ini dapat bermakna, mekanisme koordinasi dan kontrol yang dibangun oleh pemimpin jempolan mencakup semua satuan kerja dalam organisasi dan unit-unit yang dibawahi secara berdayaguna dan berhasil guna. Fenomenanya akan berbeda dengan karakter jari telunjuk yang menunjukkan rentang kendali yang agak terbatas, sempit dan lemah, karena ujung jari telunjuk sangat mudah menjangkau jempol, tetapi agak kesulitan menjangkau atau didekatkan dengan jari-jari tangan yang lain. Hal ini bermakna, mekanisme koordinasi dan kontrol yang dibangun oleh pemimpin yang ditunjuk seringkali hanya kelihatan mudah ketika tunduk di bawah kendali orang (atasan) yang menunjuknya tetapi relatif sulit berkoordinasi dan lemah efek kepengikutannya, baik terhadap kolega maupun bawahan yang dipimpin. Dengan kata lain, pemimpin yang ditunjuk boleh jadi akan kurang efisien dan efektif menjalankan kepemimpinannya dilihat dari mekanisme koordinasi dan kontrol yang dilakukan, karena boleh jadi tersubordinasi dan bertindak di balik “bayang-bayang” kemauan atasan yang menunjuknya.

Ketiga, dalam konteks utilitas karakter yang melekat dalam diri pemimpin. Baik jari jempol maupun jari telunjuk memiliki karakter yang berbeda dan sekaligus membedakan sidik jari setiap orang di dunia ini. Namun, ulititas karakter jempol cenderung lebih sering digunakan untuk melegalisasi pemiliknya, misalnya pada tradisi ijab kabul pada acara pernikahan hingga saat ini, tanda tangan asli orang-orang di masa lalu, apresiasi yang baik kepada orang lain ketika diajak berkomunikasi secara simbolik (tradisi orang Bugis-Makassar), atau bahkan menunjuk ke arah objek atau tempat tertentu secara lebih sopan (seperti dalam tradisi masyarakat Jawa), dimana semuanya menggunakan jari jempol dan tidak menggunakan jari telunjuk, kecuali orang (umat) Islam menunjuk ke arah Kabah sewaktu bertahiyat dalam sholat (Syariat Agama). Realitas tersebut bermakna bahwa pemimpin jempolan selain lebih didambakan oleh semua orang pada berbagai kegiatan atau organisasi (publik, privat, nir-laba), juga keberadaannya dapat memberikan manfaat yang lebih besar karena lebih etis dan estetis dalam berkreasi dan menunjukkan kinestetika dan etos kerjanya. Sedangkan pemimpin yang ditunjuk boleh jadi akan menjalankan fungsi kepemimpinan di bawah arahan atau mungkin pula tekanan (subordinasi) orang yang menunjuk, sehingga hanya memerankan karakter pemimpin yang kreatif-adaptif (Disertasi Haedar Akib, Universitas Indonesia, 2005).

BACA JUGA:  “Ayam Jantan dari Timur” Wujud Artikulasi Simbolik Pemimpin Jempolan

Artikulasi karakter pemimpin jempolan yang dianalogikan seperti karakter ikan yang ditempatkan dalam keranjang dengan posisi kepalanya di bawah meneguhkan adanya kesesuaian antara pemahaman nelayan bahwa “ikan mulai membusuk dari bagian kepala” dengan asumsi bahwa organisasi mulai “membusuk” (salah kelola) karena ulah “kepala” atau pemimpin, pengurus atau bosnya”. Jika asumsi dan pemahaman tersebut demikian senyatanya maka ikan yang ditempatkan di dalam keranjang dengan posisi kepalanya di bawah dapat memberikan inspirasi baik kepada setiap pemimpin organisasi, termasuk insprirasi dalam diri kita agar senantiasa menempatkan diri sebagai hamba Tuhan yang taat “bersujud” atau menyembah kepada-Nya dengan posisi kepala di bawah, terutama di sepertiga malam. Hal ini juga bermakna bahwa pemimpin jempolan selain mengikuti karakter perilaku jari jempol, juga senantiasa banyak bersujud atau “berserah diri” guna mendekatkan jiwa-raga kepala Sang Pencipta, karena dengan menghayati kedekatan kepada Sang Pencipta akan menjadikan pemimpin jempolan dekat dengan bawahan atau orang yang dipimpin, atau menurut istilah sekarang pemimpin yang merakyat, karena merasa sama-sama sebagai hamba Tuhan.

***

Sebagai wujud apresiasi dan artikulasi makna simbolik refleksi diri pemimpin jempolan tersebut, potret diri pemimpin (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah/ Kepala Desa, pemimpin OPD dan satuan kerjanya) yang diharapkan oleh konstituen (masyarakat pemilih) adalah yang menunjukkan gaya Pemimpin Jempolan, agar nantinya dipilih lagi. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.