Oleh : Fajar, S.HI, M.Sos, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone
PILKADA Kabupaten Bone yang digelar pada 27 November 2024 menghadirkan dinamika politik yang jauh lebih kompleks dari sekadar kompetisi tiga pasangan calon. Dari perspektif teori Marx dan Gramsci, kontestasi ini tidak hanya menampilkan pertarungan figur, melainkan benturan antara kekuatan struktur ekonomi dan superstruktur budaya-politik. Dengan DPT sebanyak 590.923 pemilih, Pilkada Bone menjadi arena menarik untuk membaca bagaimana kekuasaan bekerja melalui basis material dan hegemoni politik.
Hasil rekapitulasi KPU menunjukkan pasangan Andi Asman Sulaiman – Andi Akmal Pasluddin (BerAmal) keluar sebagai pemenang dengan 199.954 suara (49,89%). Sementara itu, pasangan Andi Islamuddin- Andi Irwandi Natsir meraih 114.083 suara (28,47%) dan pasangan Andi Rio Idris Padjalangi-Amir Mahmud menutup kompetisi dengan 86.717 suara (21,64%). Angka-angka ini menunjukkan kemenangan yang sangat signifikan sekaligus konsisten dengan kekuatan basis sosial yang menopang BerAmal.
Dalam kerangka Marx, kemenangan politik tidak lahir dari ruang hampa. Ia ditentukan oleh basis material—jaringan ekonomi, kekuatan produksi, dan relasi sosial yang mengikutinya. Dalam konteks Bone, struktur ekonomi baru yang terbentuk dalam satu dekade terakhir—termasuk perkembangan sektor pertanian modern, perdagangan, dan jaringan ekonomi keluarga besar tertentu—menjadi fondasi yang memungkinkan terjadinya konsolidasi politik. Asman hadir bukan sekadar sebagai figur, tetapi sebagai representasi dari basis material yang kuat dan mapan.
Namun, kekuatan struktur saja tidak cukup menjelaskan kemenangan ini. Gramsci mengingatkan bahwa kekuasaan harus membangun hegemoni, yaitu kemampuan menciptakan persetujuan sosial melalui ideologi, simbol, dan institusi politik. Di sinilah peran besar koalisi partai pendukung Asman-Akmal: Gerindra, NasDem, Demokrat, PAN, PKS, Perindo, PSI, Gelora, dan PBB. Kombinasi luas ini membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai blok historis—aliansi antara kekuatan ekonomi dan kekuatan ideologis yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat.
Blok historis inilah yang memungkinkan BerAmal membangun narasi pembangunan, efisiensi, dan perubahan. Jejaring koneksi politik daerah dan pusat, serta mesin politik partai besar, terutama Gerindra sebagai pemenang Pilpres, memperkuat legitimasi dan kapasitas mobilisasi mereka. Dengan demikian, kemenangan BerAmal bukan hanya kemenangan struktur ekonomi, melainkan kemenangan hegemoni yang berhasil menyatukan aspirasi publik dan kepentingan elite.
Di sisi lain, kekalahan dua pasangan lainnya memperjelas arah perubahan sosial di Bone. Pasangan Islamuddin-Irwandi dan Rio-Amir sebagian besar bertumpu pada modal budaya seperti kebangsawanan, simbol kehormatan lokal, pengalaman birokrasi, serta citra tokoh senior. Dalam perspektif Marx, modal semacam ini merupakan bagian dari superstruktur: kekuatan simbolis yang hanya efektif bila didukung basis material yang kuat. Tanpa dukungan struktur ekonomi dan aliansi politik besar, modal budaya tidak lagi cukup untuk memenangkan kontestasi modern.
Kekalahan mereka menunjukkan terjadinya pergeseran historis: masyarakat Bone semakin menilai figur melalui kapasitas pembangunan dan jaringan ekonomi, bukan semata pada garis keturunan atau pengalaman birokrasi. Inilah yang dalam logika Gramsci disebut sebagai perubahan hegemoni—ketika nilai lama kehilangan legitimasi, dan nilai baru mengambil alih ruang makna publik.
Kemenangan BerAmal akhirnya dapat dibaca sebagai kemenangan basis material atas simbol budaya sebagai superstrutur; kemenangan blok historis baru atas struktur kekuasaan lama; dan kemenangan narasi pembangunan atas narasi aristokratik. Momentum ini menunjukkan bahwa konfigurasi sosial Bone memang telah bergerak: dari politik berbasis status ke politik berbasis struktur ekonomi dan aliansi hegemonik.
Namun kemenangan saja tidak cukup. Tantangan terbesar bagi Asman-Akmal adalah mengubah kemenangan elektoral menjadi hegemoni yang stabil melalui kebijakan konkret yang menyentuh basis material masyarakat: pertanian, pendidikan, tata kelola desa, dan ekonomi lokal. Hanya dengan demikian blok historis yang membawa mereka berkuasa dapat bertahan, dan transformasi sosial yang dijanjikan dapat diwujudkan.
Oleh karena itu, meskipun Masyarakat Bone menyaksikan adanya sirkulasi elit, pergantian ini lebih tepat dicap sebagai re-konfigurasi elit politik lokal. Wajah pemimpin mungkin berganti, namun struktur kekuasaan yang didasarkan pada minoritas yang mengontrol sumber daya ekonomi tidak berubah. Tantangan bagi masyarakat sipil dan pers di Bone adalah meningkatkan fungsi pengawasan. Masyarakat harus tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang akan muncul: Apakah program kerja bupati terpilih benar-benar didasarkan pada kesejahteraan rakyat luas, ataukah ia lebih condong pada pemenuhan dan pengamanan kepentingan basis material (bisnis) yang telah membawanya ke kursi kekuasaan. Tanpa pengawasan yang ketat, demokrasi lokal hanya akan berfungsi sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan elit lokal.
Terlepas dari itu, Pilkada Bone 2024 memberi pelajaran penting bagi politik lokal: bahwa kemenangan hari ini adalah hasil dialektika antara ekonomi dan ideologi, antara struktur dan superstruktur, antara kepentingan material dan legitimasi moral. Dan pada Pilkada kali ini, keduanya bertemu dalam satu titik sejarah: kemenangan BerAmal.







