Penulis: Waode Arumaini Ali, SE
ibu Rumah Tangga di Sinjai
Kasus pengiriman dan pemulangan kembali oleh Kementerian Perlindungan Pekerja Migran terhadap Nurul Maelani yang mengaku jadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Abu Dhabi meneguhkan masalah pekerja migran Indonesia (PMI) bukan sekadar persoalan administratif dan ekonomi, melainkan juga moral dan ideologis yang berkait erat dengan ajaran Islam tentang kehormatan manusia, keadilan sosial dan tanggung jawab negara-umat.
Kehormatan Manusia dan Tragedi Migrasi
Dalam kerangka Islam, setiap manusia memiliki martabat yang tak ternilai (karamah insaniyah) sebagaimana tercermin dalam Al Qur’an, surah Al Isrā’ ayat 70 bahwa Allah mengangkat derajat sebagian manusia atas yang lain dan memuliakan manusia. Ketika seorang PMI seperti Nurul Maelani yang harus ke luar negeri mencari nafkah, justru mengalami kondisi kerja yang jauh dari janji, berpotensi menanggung beban mental, fisik dan finansial, maka itu menjadi pelanggaran serius terhadap nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, yang dalam Islam termasuk dosa besar terhadap sesama.
Secara historis dan struktural, Indonesia termasuk negara dengan jumlah pekerja migran yang besar. Studi oleh Bank Dunia mencatat bahwa migrasi pekerja Indonesia memungkinkan mereka memperoleh pendapatan empat hingga enam kali dibanding pekerja di dalam negeri. Namun hal ini juga membawa risiko eksploitasi dan ketidakpastian hak-hak mereka. Sementara itu, data menunjukkan regulasi dan pelaksanaan perlindungan sering mengalami tumpang tindih dan kelemahan implementasi.
Dari sudut ideologis Islam, negara memiliki kewajiban amanah untuk melindungi warganya, termasuk yang bekerja di luar negeri. Pasal 28U UUD 1945 pun menyatakan negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dasar warganya. Dengan demikian, penempatan hingga pemulangan pekerja migran bukan sekadar urusan ekonomi atau diplomasi, tetapi bagian dari tanggung jawab moral bangsa.
Kondisi di lapangan menunjukkan pekerja migran seringkali menanggung beban eksodus ekonomi, kesepakatan kerja yang tak realistis, penempatan non-prosedural, hingga risiko TPPO. Contoh pemulangan PMI dari Uni Emirat Arab karena tidak sesuai prosedur menunjukkan wajah migrasi bisa berubah menjadi eksploitasi. Dalam konteks ideologis Islam, ini pertanda sistem penempatan dan perlindungan masih jauh dari prinsip adl (keadilan) dan ihsan (kelebihan kebaikan), yang mestinya menjadi nilai dasar tata kelola pekerja migran.
Solusi Sistemik Islam
Untuk mengatasi persoalan ini secara struktural dan sistemik, berikut beberapa langkah yang berpijak pada nilai-nilai Islam. Pertama, revitalisasi kebijakan perlindungan sebagai amanah.
Pemerintah sebagai wakil rakyat harus memperkuat lembaga perlindungan pekerja migran. Bukan sekadar formalitas administratif, melainkan menjalankan fungsi amanah, seperti yang tertulis dalam konsep khilāfah al-insānīyah: wakil berfungsi melindungi. Penguatan aturan, pengawasan agen perekrut dan mekanisme pemulangan harus dikedepankan. Misalnya, penerapan Permenaker Nomor 4 Tahun 2023 tentang jaminan sosial bagi PMI adalah langkah positif yang perlu diperdalam.
Kedua, pendidikan dan perluasan alternatif ekonomi di dalam negeri.
Islam menekankan pentingnya kerja yang halal dan bernilai (QS Al Mulk 15). Pemerintah dan masyarakat harus memperkuat alternatif ekonomi lokal agar pekerja migran tidak melihat migrasi sebagai satu-satunya jalan. Investasi dalam pelatihan, koperasi syariah, pengembangan usaha mikro dan kecil berbasis ekonomi umat di daerah-daerah pengirim migran dapat menjadi pilihan yang berkelanjutan.
Ketiga, penguatan lembaga umat dan peran dakwah sosial.
Umat Islam memiliki peran strategis dalam memobilisasi solidaritas terhadap PMI melalui lembaga-lembaga dakwah, masjid dan pesantren. Misalnya, memberi pelatihan sebelum pemberangkatan tentang hak, kewajiban dan risiko; membentuk jaring pengaman sosial di destinasi; dan mendorong pemberdayaan ekonomi setelah kembali.







