KUNJUNGAN PRESIDEN KE CINA, POLITIK LUAR NEGERI KIAN TERSANDERA

oleh -9,932 x dibaca

Penulis: Amrullah Andi Faisal, Kolumnis Publik di Sinjai

Kunjungan Prabowo Subianto ke Beijing bukan hanya sebuah acara seremonial biasa. Di tengah parade militer Tiongkok, kehadirannya menjadi gambaran rapuhnya politik luar negeri Indonesia. Apakah langkah ini sungguh demi kepentingan rakyat. atau malah memperlihatkan negeri ini terjebak menjadi pion tak berdaya, dalam rivalitas geopolitik antara Amerika Serikat dan Cina?

Bebas Aktif yang Sudah Mati

Selama ini, kita terus-menerus dijejali dengan jargon politik luar negeri “bebas aktif”. Di dalamnya terkandung makna bebas dari ketergantungan pada blok mana pun. Aktif berarti memperjuangkan keadilan global. Namun kenyataannya, semboyan itu kini tinggal slogan kosong.

Indonesia justru berubah menjadi arena perebutan dua kekuatan besar. Amerika menguatkan pengaruhnya lewat sektor militer dan investasi digital. Sementara Cina hadir agresif melalui pinjaman infrastruktur, tambang, energi, hingga perdagangan. Bank Indonesia melaporkan bahwa utang Indonesia kepada Cina telah melebihi US$ 21 miliar pada tahun 2024. Suatu lonjakan signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Dominasi Cina juga terlihat jelas pada proyek-proyek strategis bermasalah, seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung, yang menambah beban utang rakyat.

BACA JUGA:  PESAN RAMADAN UNTUK PEMIMPIN DAN UMAT (1): INTROSPEKSI DAN MUHASABAH DALAM KEPEMIMPINAN

Lebih jauh, kehadiran seorang pemimpin Muslim di parade militer Cina, pasukan yang sama menindas Muslim Uighur di Xinjiang, merupakan pengkhianatan simbolis terhadap saudara seiman. Ini bukan perkara diplomasi, melainkan soal harga diri dan kehormatan umat.

Islam Melarang Berpihak Pada Kafir Zalim

Islam menetapkan prinsip yang jelas dan kuat dalam politik luar negeri. Relasi dengan dunia luar tidak ditentukan oleh kepentingan ekonomi pragmatis, melainkan syariah.

Allah Subhanahu Wa Taala mengingatkan dalam Surah Hud ayat 113, “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”

Dalam surah An Nisa 144, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (sekutu, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.”

Ayat-ayat ini menjadi peringatan keras. Menyandarkan diri pada kekuatan kafir yang menindas kaum Muslim adalah dosa besar.

Kemudian Nabi Muhammad ﷺ menegaskan dalam riwayat Muslim, “Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta, kasih sayang dan solidaritas mereka, bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak bisa tidur.”

Lantas, bagaimana mungkin seorang pemimpin Muslim memberi legitimasi kepada rezim yang menyiksa umat di Xinjiang? Sikap itu hanya menunjukkan rapuhnya iman dan ketergantungan politik.

BACA JUGA:  RADIOAKTIF CIKANDE, LUKA BERULANG DARI NEGERI YANG TAK BELAJAR

Politik Luar Negeri Islam Yang Bermartabat

Sejarah menunjukkan, para khalifah tidak pernah tunduk pada kekuatan asing. Ketika Negara adidaya Persia dan Romawi menawarkan aliansi politik, Khalifah Umar bin Khaththab ra menolak tegas. Bagi beliau, Islam adalah kekuatan independen yang hanya boleh bersandar pada Allah, bukan mencari perlindungan dari bangsa lain.

Demikian pula Harun ar-Rasyid yang pernah menulis surat tegas kepada Kaisar Romawi: “Dari Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid kepada Anjing Romawi….” Itu adalah ekspresi politik yang menegaskan superioritas umat Islam serta penolakan total terhadap hegemoni adidaya.

Kondisi pemimpin Muslim saat ini jelas bertolak belakang. Alih-alih menunjukkan martabat, mereka justru mencari legitimasi dengan hadir di parade militer negara imperialis.

Solusi Sistemik, Khilafah Mengakhiri Ketergantungan

Selama negeri ini masih berada dalam sistem sekuler-demokrasi, politik luar negeri hanya akan menjadi alat tawar-menawar rapuh. Pemimpin lebih sibuk menjaga “hubungan baik” dengan adidaya ketimbang mengutamakan kedaulatan umat.

Solusinya bukan sekadar mengganti pemimpin, melainkan mengganti sistem. Hanya Khilafah Islamiyah yang mampu membangun politik luar negeri mandiri dan berdaulat. Dalam sistem Khilafah, kedaulatan sepenuhnya ada di tangan umat, bebas dari tekanan asing. Tiada ketergantungan pada negara imperialis, seluruh relasi diukur dengan syariah. Politik luar negeri diarahkan untuk dakwah Islam ke seluruh dunia, sekaligus melindungi kaum Muslim dari penindasan.

BACA JUGA:  Mispersepsi

Khilafah tidak akan sudi menghadiri parade militer negara kafir imperialis. Itu sama saja dengan mengakui kekuatan selain Allah. Sebaliknya, Khilafah akan menampilkan kekuatan Islam sejati. Kekuatan yang dibangun atas dasar keadilan, bukan penindasan.

Penutup

Kunjungan ke Cina ini kembali membuka borok politik luar negeri kita yang tersandera. “Bebas aktif” ternyata tak lebih dari retorika hampa. Umat Islam harus sadar, selama sistem sekuler-demokrasi masih bercokol, Indonesia akan terus menjadi pion dalam percaturan geopolitik global.

Sudah saatnya umat kembali pada Islam secara kaffah. Hanya dengan syariah dan Khilafah, negeri ini dapat terbebas dari belenggu asing, mandiri dalam politik luar negeri dan tampil sebagai pemimpin dunia yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

No More Posts Available.

No more pages to load.