Oleh : Hj. Yunita Rosidin, S.Pd, Guru SMAN 8 Bone
BELAKANGAN ini, kita menyaksikan gelombang protes yang melibatkan mahasiswa di Kabupaten Bone, yang mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Aksi demonstrasi yang berlangsung pada 19 Agustus 2025 ini bukan hanya sekadar unjuk rasa biasa, tetapi merupakan manifestasi dari keresahan yang mendalam di kalangan masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan bawah. Kenaikan harga PBB-P2 yang dianggap terlalu besar ini berpotensi memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan sehari-hari masyarakat kecil, yang sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Kenaikan PBB-P2 ini tidak hanya sekadar angka yang meningkat di atas kertas, tetapi memiliki implikasi yang jauh lebih dalam. Misalnya, bagi seorang petani kecil yang sudah berjuang untuk mempertahankan usaha pertaniannya di tengah harga komoditas yang fluktuatif, kenaikan pajak ini bisa menjadi pemicu kegagalan usaha. Dalam banyak kasus, petani harus memikirkan kembali apakah mereka dapat terus bertani atau harus mencari pekerjaan lain yang mungkin tidak menjamin keberlangsungan hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat kecil dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar.
Mahasiswa dari berbagai latar belakang berkumpul dalam aksi ini, menunjukkan solidaritas mereka dengan masyarakat yang terdampak. Dalam suasana yang penuh semangat, mereka menuntut agar pemerintah mendengarkan suara rakyat. Namun, harapan untuk berkomunikasi dengan Bupati tampaknya sirna ketika Bupati tidak hadir untuk menemui mereka. Kekecewaan ini semakin memuncak ketika mahasiswa dan masyarakat yang menunggu di depan kantor Bupati harus menghadapi tindakan represif dari pihak kepolisian. Gas air mata, kawat berduri, lemparan batu menciptakan suasana yang tegang dan berbahaya. Insiden ini menunjukkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi, di mana bukan hanya mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum dan pihak keamanan terlibat dalam bentrokan yang tidak diinginkan.
Situasi ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap pemerintah yang seharusnya menjadi wakil rakyat. Ketika mahasiswa berusaha menyampaikan aspirasi mereka, ketidakhadiran Bupati menjadi simbol dari ketidakpedulian pemerintah terhadap suara rakyat. Hal ini menciptakan kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan stabilitas dan keamanan daripada mendengarkan keluhan dan aspirasi masyarakat. Ketika pihak keamanan mengambil tindakan represif, hal ini semakin memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat, menciptakan jarak yang semakin lebar antara keduanya.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa aksi penolakan ini bukanlah sekadar reaksi emosional. Ini adalah hasil dari akumulasi ketidakpuasan yang telah berlangsung lama terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Kenaikan PBB-P2 yang tinggi dapat dilihat sebagai beban tambahan bagi masyarakat yang sudah kesulitan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Oleh karena itu, aksi mahasiswa dan masyarakat merupakan bentuk protes yang sah terhadap kebijakan yang dinilai tidak adil. Mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang yang akan menghadapi tantangan yang sama jika kebijakan ini terus berlanjut.
Ketika PJ Sekda mengeluarkan pernyataan bahwa kenaikan PBB-P2 ditunda, ada rasa lega yang menyelimuti peserta aksi. Namun, pernyataan tersebut juga menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat. Beberapa orang berargumen bahwa penundaan ini hanyalah taktik untuk meredam protes, bukan solusi jangka panjang. Mereka khawatir bahwa kenaikan tersebut akan tetap diberlakukan di kemudian hari, dan penundaan ini hanya untuk menenangkan situasi saat ini. Hal ini mencerminkan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah, yang dianggap tidak transparan dalam pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, masyarakat merasa bahwa mereka tidak memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka.
Lebih jauh lagi, pernyataan PJ Sekda bahwa kenaikan PBB-P2 ditunda juga menyoroti kompleksitas dalam hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kebijakan ini tidak hanya merupakan keputusan lokal, tetapi juga mencerminkan tekanan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah sering kali tidak sepenuhnya independen, melainkan dipengaruhi oleh kebijakan nasional yang lebih besar. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa siapa pun yang menjabat sebagai Bupati di daerah tersebut mungkin akan menghadapi tantangan yang sama, karena kebijakan ini merupakan bagian dari sistem yang lebih luas.
Ketidakpuasan ini menggarisbawahi dilema yang dihadapi oleh masyarakat: di satu sisi, mereka diharapkan untuk mendukung pemerintah yang dipilih, tetapi di sisi lain, mereka merasa bahwa kebijakan yang diambil tidak mencerminkan kepentingan mereka. Ungkapan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” seolah-olah menjadi slogan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Masyarakat merasa teralienasi dari proses pengambilan keputusan yang seharusnya mewakili mereka. Putusnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebenarnya semakin menguatkan indikasi bahwa sistem yang berlaku saat ini telah cacat, yang hanya mensejahterakan segilintir orang bukan masyarakat secara umum.
Dalam kerangka ini, penting untuk mempertimbangkan alternatif sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam sistem Islam, misalnya, kedaulan terletak pada syara atau syariat Islam, yang menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Semua kebijakan didasarkan pada prinsip halal dan haram, dengan tujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Dalam konteks ini, pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan politik atau ekonomi, tetapi juga pada nilai-nilai moral dan etika yang dipegang oleh masyarakat. Dengan demikian, seluruh tatanan kehidupan dapat berlangsung sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pencipta, yang tercermin dalam sumber hukum yang jelas, seperti Al-Qur’an, hadist Nabi, ijma sahabat, dan qiyas.
Kesimpulannya, protes yang terjadi di Kabupaten Bone terkait kenaikan harga PBB-P2 mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Aksi demonstrasi ini bukan hanya sekadar ungkapan emosional, tetapi merupakan manifestasi dari akumulasi ketidakpuasan yang telah berlangsung lama. Ketidakhadiran Bupati dan tindakan represif dari pihak keamanan menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan masyarakat semakin memburuk. Penundaan kenaikan pajak mungkin memberikan sedikit kelegaan, tetapi skeptisisme masyarakat terhadap pemerintah tetap ada. Dalam konteks yang lebih luas, penting untuk mengevaluasi sistem pemerintahan yang ada dan mempertimbangkan alternatif yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat yakni dengan penerapan sistem yang sesuai syara’. Dengan demikian, kita dapat menciptakan tatanan yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat.