SINJAI, TRIBUNBONEONLINE.COM– Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sinjai mengungkap bahwa meskipun terjadi penurunan Indeks Perubahan Harga (IPH) -0,92% pada pekan ketiga Mei 2025, kondisi pasar belum sepenuhnya stabil. Beberapa komoditas strategis seperti daging ayam ras, cabai rawit dan bawang merah mencatat penurunan harga signifikan, yang berarti memberi andil besar terhadap deflasi di wilayah ini.
Kepala BPS Sinjai, Syamsuddin l, Selasa (20/05/3025) menjelaskan, deflasi ini bukan serta-merta sinyal positif, jika dilihat dari tingginya fluktuasi harga. Cabai rawit misalnya, meskipun menyumbang deflasi dengan andil -0,4479, tetap menjadi komoditas paling labil selama pekan berjalan, dengan nilai koefisien variasi (CV) mencapai 0,1039.
“Harga cabai rawit memang turun, tapi dengan fluktuasi setinggi itu, pasar tetap tidak bisa diprediksi. Ini artinya daya beli masyarakat bisa terganggu kapan saja,” ujar Syamsuddin.
Lebih lanjut, penurunan harga daging ayam ras (-0,9446) dan bawang merah (-0,1489) ikut menekan angka IPH secara umum. Namun, Syamsuddin mengingatkan fenomena ini bersifat musiman dan bisa cepat berbalik menjadi inflasi jika tidak diantisipasi.
Ketimpangan Harga dan Ketergantungan Pasokan Data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, yang diolah BPS menunjukkan fluktuasi cabai rawit terjadi di hampir seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan, dengan beberapa daerah seperti Takalar dan Barru mengalami penurunan harga ekstrim (-2,7705 dan -2,0315) dan nilai CV fluktuasi sangat tinggi yang melebihi 0,17.
“Ini mencerminkan pasar kita sangat tergantung pada pasokan eksternal, terutama untuk hortikultura seperti cabai dan bawang,” terang Syamsuddin. Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah perlu serius membangun peta ketahanan pangan lokal dan tidak terus bergantung pada daerah lain.
Sinergi TPID Harus Berbasis Data
Menjelang pertemuan tingkat tingggi TPID yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada 22 Mei 2025, Syamsuddin mengingatkan pentingnya penggunaan data yang tajam dan komprehensif sebagai dasar pengambilan kebijakan. Dengan demikian, koordinasi antardaerah memberi manfaat yang optimal.
“TPID selayaknya berjalan dengan data pasar yang real-time dan evaluasi berbasis bukti. Kita harus menghindari tebak-tabakan gejala inflasi,” tambahnya.
Ia juga menekankan perlunya kebijakan intervensi berbasis bukti, seperti penguatan cadangan pangan daerah, dukungan terhadap petani lokal, serta optimalisasi logistik dan pasar rakyat. (LSee)