WATAMPONE, TRIBUNBONEONLINE.COM– LPP Bone merupakan salah satu lembaga masyarakat sipil yang ada di Kabupaten Bone yang berdiri sejak tahun 1998 yang konsen dan komitmen mengawal isu kesetaraan dan keadilan gender termasuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. LPP Bone sebagai lembaga pengada layanan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL) tingkat nasional.
Dalam hal ini, baru saja dilaksanakan temu nasional yang berlangsung tepatnya 28-30 April 2024 kemarin lalu, di Hotel Mercure Kuningan Jakarta, yang menghasilkan beberapa rekomendasi dan maklumat terkait adanya data kasus kekerasan seksual meningkat dengan mencatat adanya kenaikan hampir 300% kasus kekerasan seksual dari 327 menjadi 940 di tahun 2022.
Dra.A.Ratnawati,M.Si selaku Direktur LPP Bone saat ditemui Tribun Bone mengatakan, “Dalam menghadapi situasi tersebut FPL bersama organisasi masyarakat sipil selama 12 tahun terus konsisten dan berkomitmen dalam mendorong perubahan hukum dan kebijakan yang berbasis pada pengalaman dan kebutuhan korban melalui UU TPKS. Dua tahun sudah UU TPKS ini ditetapkan sejak 9 Mei 2022, namun dari tujuh peraturan Pelaksana yang dimandatkan dalam UU TPKS baru dua yang di tetapkan Perpres nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan TPKS dan Perpres Nomor 55 Tahun 2024 tentang UPTDA. Pemerintah hanya memiliki waktu sepuluh hari untuk menetapkan lima peraturan pelaksana lainnya,” jelasnya
“Lembaga layanan korban memandang bahwa UU TPKS juga belum menjadi pengetahuan dan acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual oleh kementrian, APH, OPD dan UPTD PPA baik ditingkat daerah maupun nasional. Hal ini diperparah dengan kelembagaan, layanan, insfrastruktur dan alokasi anggaran untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual masih sangat terbatas sehingga berdampak belum maksimalnya layanan terhadap perempuan korban kekerasan seksual,” tambahnya
“Lembaga Penyedia layanan juga merasa prihatin dengan beragam rintangan yang menghambat dan menghapus akses perempuan korban kekerasan seksual terhadap layanan karena situasi geografis, kerentanan khas (disabilitas, minoritas gender seksual dan agama), konflik, daerah dengan penerapan hukum islam maupun praktek adat dan kebijakan yang mendiskriminasi perempuan korban,” terang A.Ratnawati
Untuk itu sebagai Forum Pengada Layanan (FPL) berbasis masyarakat untuk perempuan korban kekerasan menyerukan hasil rekomendasi dan maklumat yaitu :
1. Memperkuat solidaritas, kapasitas diri, kemandirian organisasi dan gerakan, serta interseksionalitas dengan isu-isu hak asasi manusia, keragaman gender dan seksualitas, disabilitas, HIV, adat, beserta isu-isu lingkungan dan sumber daya alam, agar menjadi lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat yang kompeten untuk mendukung keberlanjutan layanan perempuan korban kekerasan seksual yang inklusif, adil, merata dan berkelanjutan.
2. Setia dan terus menerus bekerja bersama para penyintas dan pendamping dalam mendorong perubahan hukum, kebijakan, dan sistem penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual yang berkeadilan gender, inklusif, dan berpusat kepada korban.
3. Melakukan pemantauan serta menghimpun data-data, pengalaman penyintas dan pendamping, serta lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat khususnya di daerah kepulauan, daerah dengan penerapan hukum Islam dan praktik adat yang diskriminatif, serta daerah konflik, agar suara dan pengalaman mereka diakui dan memberikan pengaruh dalam pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2022 beserta Peraturan Pelaksananya.
4. Terus menerus memperkuat pengetahuan perempuan dan masyarakat tentang UU No. 12 Tahun 2022, serta mengembangkan terobosan – terobosan hukum, kebijakan serta sistem layanan terpadu untuk mengatasi berbagai rintangan yang menghambat, mengurangi dan menghapus akses korban kekerasan seksual terhadap keadilan dan pemulihan, termasuk rintangan dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang diskriminatif terhadap perempuan dan korban seperti UU ITE, UU Pornografi dan Pornoaksi, UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, KUHP, Qanun Jinayat, dan sebagainya.
5. Memperkuat kerja kolaborasi dengan semua pihak, khususnya kepada pemerintah dan lembaga penegak hukum berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan manfaat untuk perempuan, guna memastikan seluruh hak-hak korban dan pendamping sebagaimana dalam UU No. 12 Tahun 2022 dapat dinikmati setiap perempuan korban tanpa diskriminasi atas alasan apapun yang dilarang menurut hukum hak asasi manusia.
6. Memantau dan mendesak Pemerintah untuk segera menetapkan 5 (lima) Peraturan Pelaksana UU No. 12 Tahun 2022 terutama Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan, Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual. Mengingat Pasal 91 ayat (1) Peraturan Pelaksana tersebut harus sudah ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun, terhitung sejak UU No. 12 Tahun 2022 diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022. (yas89)