Hafid Abbas
Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017)
Pada peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025 di Monas, Presiden Prabowo di hadapan ratusan ribu buruh dan rakyat Indonesia, berjanji akan segera menarik semua aset milik negara yang dikuasai oleh maling-maling dan memastikan akan mengembalikan aset-aset itu kepada rakyat.
Kata Prabowo: “Dan, gue akan tarik kembali semua asset negara menjadi milik rakyat, saudara-saudara sekalian, karena saya sudah tanya ke hakim-hakim agung, dasar, UUD kita kuat, bumi dan air dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, sumber-sumber produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Itu perintah UUD.”
Salah satu aset negara seluas sekitar 1000 hektar, berupa tanah negara adalah yang terletak di Kawasan Elit di bibir Pantai Kota Makassar yakni di Tanjung Bunga. Di era Presiden Soeharto, aset ini telah dirancang sebagai kawasan destinasi wisata bahari berkelas dunia.
Untuk mewujudkan harapan Presiden Soeharto, pada awal 1991 Tanri Abeng, Ketua Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) mendirikan perusahaan PT Makassar Development Corporation (MDC) atas saran Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Jendral Susilo Sudarman.
Dari catatan Tanri Abeng diperoleh data bahwa pada 14 Mei 1991 selanjutnya didirikanlah PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation (GMTDC) atas Prakarsa Abeng dengan dukungan Pemda Provinsi Sulsel, Pemda Kota Makassar dan Pemda Gowa. Abeng sebagai Dirut kemudian mengalokasikan saham kepada Pemda Provinsi 20%, Gowa, Makassar, dan Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan (YPPSS) masing-masing 10%, dan MDC 50% sebagai pintu masuk bagi investor luar.
Dalam pemikiran Gubernur Amiruddin, Abeng, Bupati dan Walikota dan para tokoh di Sulawesi Selatan di kala itu, jika saja ada investor yang dapat mengembangkan Tanjung Bunga sebagai destinasi wisata bahari seperti halnya Liberty Island di New York atau di Cape Town Afrika Selatan yang dibanjiri jutaan wisatawan mancanegara setiap tahun, tentu usaha ini dapat menyumbang devisa triliunan rupiah setahun pada Pemda sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempercepat laju pembangunan di Sulsel.
Alasan keikutsertaan YPPSS, didasari oleh pertimbangan untuk berpartisipasi pada pembangunan di Sulsel di segala sektor, terutama untuk membiayai studi lanjut para putra-putri di daerah ini untuk belajar di universitas-universitas terbaik di dunia melalui wadah Yayasan Pendidikan Latimojong (YPL).
Di kala itu, salah satu kendala pengembangan sektor wisata bahari sebagai identitas kultural kebesaran perjalanan sejarah Bugis-Makassar yang menguasai laut yang sudah berabad-abad dengan perahu finisinya jauh sebelum Indonesia ada, adalah belum adanya Hotel Berbintang Lima di Makassar.
Karenanya, pada 10 Oktober 1994 atas undangan Tanri Abeng, James Riyadi menyurat kepada Gubernur Sulsel untuk bergabung dengan GMTDC. Barulah pada 1 Januari 1995, Gubernur Sulsel menunjuk PT Metropolitan Permata Sulawesi (Lippo) untuk bekerjasama dengan GMTDC. Hasilnya telah berhasil dibangun Hotel Sedona.
Sejak saat itu seluruh kewenangan di GMTDC berada di Lippo Group karena pengalamannya, walaupun Tanri Abeng masih Dirut.
Namun sayang sekali, GMTD, setelah melintasi perjalanan sejarahnya selama lebih tiga dekade, aset strategis negara bernilai triliunan rupiah itu hasilnya nol bagi Pemda dan masyarakat Sulsel. Seperti dikemukakan oleh Walikota Makassar, Danny Pormanto, terakhir ini, dari dividen saja untuk Sulsel cuma memperoleh Rp 58 juta (untuk) tahun 2022 (detiksulsel, 09/01/2024).
Di sisi lain, manajemen GMTD, terlihat semakin menjauh dari ikhtiar luhur Pemda Sulsel bersama dengan para tokoh masyarakat untuk menjadikan Kawasan Tanjung Bunga sebagai destinasi wisata bahari berkelas dunia, bukan membangun ruko dan rumah-rumah, atau membangun Patung Kuda.
Selain itu dugaan penyimpangan lainnya adalah rencana GMTD menjual asset, misalnya: tanah seluas 463.213 meter persegi di Kelurahan Tanjung Mardeka dan Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, senilai Rp3,78 triliun. Rencana seperti ini semestinya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD Provinsi Sulsel karena lahan 1000 hektar di Tanjung Bunga, asalnya adalah aset negara.
Isu lainnya, jika ada pemegang saham di GMTD merasa tidak nyaman berada di GMTD sehingga ada kemungkinan akan melepas sahamnya ke Lippo atau ke pihak lain yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Jika itu dilakukan, perlu dicermati bahwa pelepasan saham itu betapapun kecilnya atau besarnya, tetap memiliki kaitan dengan pembangunan Sulsel dan ada unsur kepentingan publik di dalamnya. Jika penjualan saham itu dilakukan ke Lippo (yang sudah pemegang saham mayoritas) bisa menimbulkan isu tata kelola — memperbesar dominasi satu pihak dalam pengelolaan aset yang menyangkut tanah negara dan kepentingan daerah. Masalah tata kelola aset negara (Pasal 2 dan 3 UU Tipikor) jika merugikan keuangan negara, penjualan saham itu dapat menyeret Pemda ikut bertanggungjawab di hadapan Pengadilan Tipikor.
Jika ada pihak yang hendak melepas sahamnya di GMTD, hendaknya dikembalikan ke Pemda Sulsel, Pemkot Makassar, atau Pemkab Gowa karena lebih sesuai secara hukum dan kebijakan publik, karena mengembalikan porsi kepemilikan aset publik ke institusi pemerintah.
Pemda dan DPRD ke Depan
Berdasarkan fakta-fakta yang ada di GMTD, Pemda bersama unsur DPRD dapat melakukan: (i) audit atau pemantauan kinerja GMTD, terutama apakah realisasi pembangunan di kawasan Tanjung Bunga sudah sesuai dengan masterplan pengembangan wisata bahari berkelas dunia dan sesuai dengan komitmen awal yang melatari kelahiran GMTD; (ii) meninjau kembali perjanjian kerjasama (jika ada) dengan GMTD yang belum dipenuhi, dan jika masa berlaku HGB-nya sudah berakhir, bagian lahan yang belum optimal pemanfaatannya secepatnya dikembalikan ke negara (Pemda) sesuai dengan harapan Presiden Prabowo; (iii) Pemda dapat menghentikan pemberian izin pembangunan apa pun ke GMTD jika tidak memberi manfaat bagi Pemda dan bagi masyarakat Sulsel; (iv) dan Pemda dapat menggunakan mekanisme pengawasan internalnya (inspektorat) untuk mengevaluasi dampak pembangunan terhadap masyarakat lokal (sosial-ekonomi, lingkungan); (v) dan DPRD perlu terlibat secara optimal dalam penyelamatan asset negara di GMTD.
Mungkin belum terlampat, semoga ke depan, Pemda Provisi Sulsel, Pemda Makassar dan Pemda Gowa bersama dengan DPRD-nya masing-masing tidak akan pernah lagi membiarkan ada aset daerah yang dibiarkan dikelola oleh siapa pun dengan tidak memberi manfaat optimal bagi kepentingan Pembangunan Daerah dan tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Sulsel seperti harapan Presiden Prabowo di Hari Buruh Internasional.
“A nation’s greatness is measured by how it treats its weakest members.” Pernyataan ini mencerminkan prinsip bahwa mayoritas tidak boleh mendominasi atau mengeksploitasi kelompok minoritas—baik dalam bisnis, pemerintahan, maupun kehidupan sosial (Mahatma Gandhi).







