Oleh : Andi Shaifuddin, S.Ag, S.Pd, MA,
Komisioner KPU Makassar 2013-2018
INDONESIA memasuki tahun politik. Pemilu serentak tahun 2024 dengan dua agenda besar pemilu yakni Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pilpres dan wakil presiden dan Pilkada serentak November tahun yg sama. Tahun 2023 sebagai tahun politik sudah terasa gaungnya justru di tahun 2022 ini. Berbagai agenda tahapan pemilu spt pembentukan/seleksi penyelenggara KPU dan Bawaslu seperti sampai pada pembentukan di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan justru sudah menjadi polemik dan dihubungkan dengan kepentingan politik pemilu 2024. Belum lagi verifikasi Parpol peserta pemilu menuai sorotan publik sampai masuk dalam ranah hukum karena tidak lolosnya beberapa Parpol sebagai peserta pemilu 2024. KPU dan Bawaslu akan menghadapi gugatan partai yang tidak lolos. Ini benar benar sudah masuk tahun politik.
Ini tentu baru pemanasan, seperti yang sering diungkap oleh Presiden Jokowi biar panas yang penting aman dan jalannnya terkendali. Presiden Jokowi membuka Konsolidasi Nasional (Konsolnas) Bawaslu di Jakarta, Sabtu (17/12/2022). Presiden Jokowi mengingatkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai praktek politik uang. Jokowi juga meminta Bawaslu melibatkan masyarakat dengan memberikan pendidikan politik guna memberantas politik uang. Bukan basa basi Presiden mengingatkan tentang politik uang karena praktek ini telah ada sejak pemilu langsung pasca reformasi 1999 dan sampai hari ini tidak ada cara, sistem, dan kekuatan yang bisa meredamnya.
Di Pilkades serentak Kab Bone 24 November 2022 dengan melibatkan 144 desa saja, praktek politik uang terjadi di depan mata kita, di semua desa dan hampir semua calon menggunakan cara yang sama dengan variasi jumlah dan cara yang berbeda. Ini justru menjadi presiden buruk menghadapi Pemilu serentak 2024 karena tentu warga yang telah terlibat membagi dan menerima akan menjadikan praktek politik uang ini menjadi standar pemilihan berikutnya. Masifnya perilaku korup ini tidak bisa dibendung karena dua hal: pertama, tidak adanya lembaga/wadah yang dibentuk untuk mengedukasi, mencegah dan menindaklanjuti praktek politik uang di desa. Kedua, ada upaya pembiaran dan sepertinya jika tidak dicegah akan jadi budaya bahwa menjadi kepala desa dengan uang desa milyaran rupiah tidak mudah dan tidak murah.
Ini tentu harus menjadi evaluasi bersama dan menjadi pelajaran penting bagi Penyelenggara Pemilu: Bawaslu-KPU menghadapi pemilu 2024. Edukasi masyarakat penting tetapi partisipasinya jauh lebih dibutuhkan.
Partisipasi masyarakat ini penting dalam mengatasi praktek politik uang. Hati-hati banyak kejadian mengenai ini. Politik uang itu sudah menjadi penyakit, setiap pemilu pasti ada (Pesan Presiden Jokowi dlm Pembukaan Kolsolnas, 17 Desmber 2022, di Jakarta)
Presiden Jokowi juga menyoroti praktek politik uang pada setiap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
“Saya setiap hari di lapangan, saya pernah ikut pilkada wali kota dua kali, gubernur dua kali karena dua ronde, pilihan presiden dua kali. Jadi kalau ada yang membantah tidak ada, saya akan sampaikan apa adanya, ada,” kata Jokowi.
Seharusnya Bawaslu-KPU sudah jalan dgn program-program mumpuni mengantisipasi pesan Presiden Jokowi tentang maraknya politik uang bahkan diistilahkan “Penyakit” Ini harus disembuhkan jika demokrasi kita ingin sehat. Ibarat penyakit Politik Uang itu sudah kronis dan komplikasi. Jika tambah parah bisa saja demokrasi kira masuk dalam “Gawat Darurat Demokrasi Indonesia” (GDDI). Bagaimana memulainya, pertama: gerakan ini harus masif, tidak bisa sekedar kegiatan sosialisasi sebagai agenda rutin, gerakan anti politik uang harus menjadi gerakan kesadaran masyarakat. Edukasi ini harus berjalan seiring dengan semua program yang sama, baik di instansi pemerintah maupun gerakan masyarakat. Kedua: menyiapkan sangsi hukum dengan sosialisasi yang menyeluruh untuk upaya pencegahan politik uang. Program ini bisa sampai di tingkat desa/kelurahan. Ketiga: keterlibatan masyarakat secara formal, informal maupun individu secara aktif berani mencegah dan melapor.