Oleh:
Qudratullah, S.Sos., M.Sos.
qudratullahrustam@gmail.com
085294235489
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Bone
Kemunculan Corona virus disease atau kerap dikenal dengan nama Covid-19 menjadi pemberitaan yang menggemparkan bagi masyarakat dunia setelah memakan banyak korban di Wuhan, Tiongkok. Virus tersebut memang diketahui pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok, sejak akhir tahun 2019. Pemberitaan mengenai virus yang menyerang daya tahan tubuh manusia tersebut sontak menjadi pemberitaan yang trending di flatform-flatform media sosial seperti Facebook, Instagram, You Tube, Twitter dan media sosial lainnya. Hingga kini, kasus Covid-19 terus bertambah di seluruh dunia. Ratusan negara terserang dan menjadi korban dari virus yang mematikan tersebut. Indonesia tidak terlepas dari serangan Covid-19, di mana hingga 23 April 2020 tercatat jumlah positif corona mencapai angka 7.775 pasien. Sebanyak 6.168 pasien positif Covid-19 masih menjalani perawatan dan 960 orang dinyatakan sembuh. Jumlah tersebut masih di luar jumlah Orang Dalam Pantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pantauan (PDP). Pasien meninggal berjumlah 647 jiwa. (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Yurianto)
Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat fantastis. Bagaimana tidak, negara-negara lain yang lebih dulu mendapati kasus pertama Covid-19 di negaranya jauh terlampaui dari Indonesia. Tidak heran jika Indonesia kini ditetapkan sebagai negara dengan kematian pasien tertinggi di ASEAN. Meski begitu, pemerintah telah banyak berupaya melakukan pencegahan agar Covid-19 tersebut tidak terus meningkat. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah antara lain pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Beberapa daerah yang memeroleh persetujuan penerapan PSBB di antaranya Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Pekanbaru, Tangerang, dan Makasssar. Selain itu, pemerintah juga telah menyalurkan beberapa bantuan sembako kepada masyarakat lewat lembaga-lembaga penyalur bantuan., pembagian masker dan handsanitizer, serta penyemprotan disinfektan di rumah-rumah dan perbatasan antardaerah.
Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada pemerintah yang telah berupaya memberikan pelayalanan terbaik kepada masyarakat merasakan dampak dari Covid-19. Namun, masyarakat juga dituntut untuk bekerja sama dengan pemerintahu untuk menangani penyebaran dampak Covid-19. Seperti diketahui, Covid-19 tidak hanya menyerang secara fisik tetapi juga menyerang mental masyarakat. Kondisi tersebut terjadi melalui penggunaan media sosial yang kurang tepat oleh sebagian masyarakat. Kemunculan berita-berita yang tidak valid dan tergolong hoax membuat sebagian masyarakat tidak dapat mengendalikan diri dan menyerang mental mereka hingga menimbulkan sugesti yang negatif pula.
Media sosial menjadi salah satu sarana alternatif selama masa social distancing. Beragam media sosial digunakan untuk menjalin komunikasi melalui dunia maya selama Covid-19. Namun, meski melakukan jarak fisik, ternyata tidak serta merta mengurangi dampak dari Covid-19. Penggunaan media sosial seakan-akan memunculkan masalah baru. Sebagaimana diketahui bahwa media sosial memberikan pengaruh terhadap suasana hati, kecemasan, kualitas tidur, kecanduan dan kesejahteraan jiwa. Hal tersebut karena adanya sugesti terhadap diri sendiri yang bersumber dari konten-konten sosial media yang diperoleh. Menurut McLuhan, media sosial dapat merangsang alat indra, mengubah persepsi dan pada akhirnya memengaruhi perilaku dari penggunanya.
Dalam Imu Komunikasi, dikenal dikenal teori Imitasi dan Sugesti yang dikemukakan oleh David P. Phillips, seorang ahli Sosiologi yang memberikan pembaruan terhadap penggunaan kerangka teori imitasi pada efek media massa terhadap masyarakat. Phillips mengungkapkan bahwa proses imitasi sebagai penularan kultural (cultutal contagion). Beberapa karakteristik cultutal contagion yang dimaksud adalah: (1) Periode Inkubasi: dalam penularan penyakit, terdapat gejala yang baru muncul beberapa saat setelah seseorang terpapar mikroorganime. Phillips membuktikan bahwa peristiwa bunuh diri berikutnya terjasi rata-rata tiga atau empat hari setelah adanya pemberitaan bunuh diri; (2) Imuniasai: Penyakit menular dapat dihindari dengan imuniasasi. Kita bisa memberikan imunisasi kepada penderita cacar dengan injeksi ke dalam dosis kecil mikroorganisme lain yang sejenis. Kondisi tersebut dapat menjadi gambaran dalam dunia media massa. Seseorang tidak akan terpengaruh oleh peristiwa bunuh diri apabila telah diberikan berita-berita bunuh diri yang kecil-kecil. Artinya, pemberitaan yang yang tidak disajikan secara gamblang dan sadis sehingga mengganggu kondisi mental masyarakat; (3) Media Infeksi: Beberapa penyakit akan mudah tertular lewat media tertentu. Dalam media massa, tentunya pemberitaan-pemberitaan menjadi media yang menularkan sugesti terhadap masyarakat; (4) Kerentanan Untuk Ditulari: sebagian orang-orang akan lebih mudah ditulari penyakit psikologis melalui media massa, apalagi bagi orang yang sudah terganggu kesehatan biologisnya. Hal tersebut karena adanyanya kecemasan terhadap pemberitaan yang diperolehnya.; (5) Karantina: Peristiwa-peristiwa yang terjadi di media massa yang dapat menjadi bahan yang menakut-nakuti masyarakat dapat dihentikan dengan mengurangi publikasi mengenai peristiwa tersebut. (David P. Phillips, Profesor Sosiologi University of California)
Melihat karakteristik cultutal contagion tersebut, tentunya dapat disandingkan dengan kondisi sekarang. Di mana Covid-19 menjadi salah satu bahan informasi yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Masyarakat diharapkan mampu menangani penyebaran-penyebaran informasi melalui media sosial sehingga tidak menyerang psikologis mereka. Sebaiknya masyaraat terhindar dari infeksi media yang kerap memberitakan Covid-19 yang sarat akan kepanikan dan ketakutan. Tentunya hal tersebut dilakukan dengan penerapan literasi media yang baik. Masyarakat akan mudah memilih berita-berita yang positif dengan memahami kandungan-kandungan pemberitaan, apakah akan berdampak pada psikis atau tidak. Di sisi lain, istilah imunisasi dari informasi Covid-19 juga perlu dilakukan masyarakat agar ketika mendapati berita-berita yang mengejutkan mengenai Covid-19, mereka tidak sontak panik dan ketakutan. Mereka perlu mengetahu sedikit-demi sedikit mengenai dampak-dampak negatif Covid-19 sehingga imunitas psikologis meningkat terhadap terpaan berita-beritayang dianggap menakutkan dan menimbulkan kepanikan.
Bagi masyarakat yang terpapar gejala-gejala Covid-19, ada baiknya untuk beristirahat dari dunia sosial media karena adanya kerentanan yang dapat menyenrang psikis dan menanggapi sugesti yang muncul secara berlebihan. Kemudian yang dilakukan adalah karantina terhadap informasi-informasi Covid-19. Publikasi yang yang dapat menimbulkan kesurusahan, ketakuran dan kepanikan di kalangan masyatakat dapat dikurangi. Pengguna media sosial diharapkan untuk tidak asal membagikan postingan-postingan yang tidak jelas sumber dan isi informasinya. Biarkan media massa yang melakukan penyebaran informasi secara valid. Tentunya harus memilih media massa yang kredibel dan diakui Dewan Pers sebagai sumber informasi yang faktual mengenai Covid-19. Dengan begitu, penerapan social media distancing akan memberikan sumbangsih terhadap penanganan dampak Covid-19 yang banyak memengaruhi berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perlu dikatahui bahwa efek pandemic Covid-19 tidak hanya menimbulkan terganggunya kesehatan hingga kematian pada masyarakat tetapi juga terganggunya berbagai sektor kehidupan manusia seperti pada sektor ekonomi, kultur, sosial politik dan agama. Oleh karena itu, media sosial yang kini menjadi sarana komunikasi yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia perlu digunakan secara efektif sehingga tidak menimbulkan efek dan masalah yang semakin luas dalam penangana Covid-19. Hindari penularan Covid-19 dengan physical distancing dan jaga kesehatan mental melalui menggunaan sosial media yang bermanfaat melalui sosial media distancing.