HANYA delapan tahun setelah proklamasi, tepatnya pada 15 September 1953, Presiden Soekarno meletakkan prasasti di Gedung Daksinapati (sekarang gedung Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta) yang menyatakan bahwa kampus ini sebagai “Kota Mahasiswa” Jakarta. Saat itu, UNJ masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia (UI) sebagai sekolah keguruan dan ilmu pendidikan.
Prasasti ”Kota Mahasiswa” ini kini seakan terlupakan, meski ini adalah salah satu warisan monumental Soekarno kepada dunia pendidikan di tanah air yang patut dikenang selamanya. Meski prasasti ini belum dipahami maknanya pada saat itu, namun setelah hampir tujuh dekade, secara kontekstual historis, warisan itu dapat dikaitkan dengan hal-hal berikut.
Pertama, peletakan prasasti Kota Mahasiswa di Kampus UI dikala itu tidak hanya melambangkan UI sebagai pusat keunggulan pendidikan tinggi di tanah air, tetapi juga menempatkan UI sebagai universitas pembina dengan perjalanan sejarahnya yang begitu panjang sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia. UI didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1849 sebagai sekolah untuk mendidik calon asisten medis.
Tidak lama setelah kemerdekaan, pada 1950, UI menjadi universitas multi-kampus, dengan kampusnya di Jakarta (Fakultas Kedokteran, Hukum, dan Sastra), Bogor (Pertanian dan Kedokteran Hewan), Bandung (Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Surabaya (Kedokteran dan Kedokteran Gigi), dan Makassar (Ekonomi dan Hukum). Pada 1954, Kampus UI di Surabaya menjadi Universitas Airlangga dan pada tahun berikutnya Kampus Makassar menjadi Universitas Hasanuddin. Kampus Bandung menjadi Institut Teknologi Bandung pada 1959, dan selanjutnya pada 1964, kampus Bogor menjadi Institut Pertanian Bogor, dan Kampus Rawamangun Jakarta sebagian berubah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri Jakarta).
Manajemen UI dikala itu mirip dengan manajemen Universidad del Valle de México (UVM) di Meksiko pada awal 1960-an yang mengoordinir 38 kampus yang tersebar di berbagai wilayah negara itu dengan beragam bidang keilmuan seperti Kedokteran, Teknik, Perhotelan, Pariwisata dan Gastronomi, Bisnis, Ilmu Sosial, Seni, Desain dan Arsitektur (https://uvm.mx/). Mirip pula dengan manajemen Laureate yang berlokasi di Baltimoretelah mengelola lebih dari 150 universitas yang tersebar di AS dan di lebih 10 negara, sejak 1998.
Prasasti Kota Mahasiswa di kampus UI memberi simbol agar universitas ini berperan sebagai pusat koordinasi kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi di sejumlah universitas di seluruh Indonesia. Kota Mahasiswa sebagai kota kaum intelektual haruslah menjalankan mandatnya untuk melayani masyarakat, dan mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi dan budaya mereka melalui pendekatan interdisipliner dan transdisipliner untuk kemudian mengatasinya secara ilmiah dan komprehensif.
Di kampuslah semestinya dirancang dan dikaji bangunan masa depan peradaban suatu bangsa dengan membekali generasi muda ilmu pengetahuan, keterampilan, seni dan teknologi baru.
Kedua, istilah Kota Mahasiswa kelihatannya belum dikenal secara meluas di era Soekarno, bahkan istilah itu belum pernah terungkap maknanya hingga di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini. Istilah ini terlihat baru populer dikenal oleh masyarakat internasional setelah pertama kali Quacquarelli Symonds(QS) bersama Times Higher Education (THE) mempublikasikan hasil studi pemeringkatan kota-kota mahasiswa terbaik di dunia pada 2010(www.topuniversities.com/
Meskipun belum ada kriteria khusus untuk menjelaskan makna istilah Kota Mahasiswa dikala itu, namun pemikiran Soekarno seakan melampauhi zamanya. QS menjelaskan bahwa satu kota patut disebut sebagai Kota Mahasiswa apabila di kota itu sudah terdapat minimal dua perguruan tinggi bereputasi yang melayani masyarakatnya yang berpenduduk lebih 250 ribu jiwa. Keberadaan Kampus UI Salemba sebagai Perguruan Tinggi Kedokteran dan Lembaga Pendidikan Jasmani, dan Kampus Rawamangun sebagai Perguruan Tinggi Ilmu Hukum, Kesusasteraan dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat, dan kawasan Pegangsaan Timur sebagai tempat hunian para mahasiswa, sungguh sudah memenuhi kriteria QS yang baru muncul setelah 57 tahun peletakan Prasasti Soekarno di Kampus Rawamangun.
Ini berarti pemikiran Soekarno 57 tahun lebih maju dibanding dengan perkembangan pemikiran masyarakat internasional.
Menurut QS, pemeringkatan Kota Mahasiswa terbaik didasarkan pada penilaian enam kategori, yakni: pertama, kota itu memiliki sedikitnya dua perguruan tinggi berkelas dunia. Misalnya, dari 120 Kota Mahasiswa terbaik di dunia, peringkat pertama 2019 adalah London karena terdapat beberapa perguruan tinggi terkemuka di dunia, seperti UCL (University College London), Imperial College London, dan King’s College London.
Kriteria berikutnya adalah kehadiran mahasiswa internasional yang cukup proporsional yang memilih satu kota dengan pertimbangan bahwa kota itu ramah terhadap perbedaan latar belakang budaya, kota dengan gaya hidupyang toleran, dan inklusif. Berlin misalnya, di peringkat ke lima tahun ini dinilai amat ramah menampung mahasiswa dari berbagai belahan dunia, bahkan mahasiswa asing pun diperlakukan sama dengan mahasiswa Jerman sendiri, semuanya dibebaskan dari segala biaya pendidikan.
Selanjutnya adalah kategori pilihan mahasiswa bersama orang tuanya sendiri dengan pertimbangan kota itu aman, tidak ada konflik, nyaman, dan terdapat banyak peluang kerja setelah tamat, dsb.
Kategori lainnya adalah aspek keterjangkauan yang terkait dengan indikator-indikator, seperti: biaya kuliah dan biaya hidup, dan terakhir adalah pandangan mahasiswa sendiri terhadap suatu kota, seperti: ketersediaan transportasi publik dan kemudahan bepergian, keterjangkauan, keindahan kota, kegiatan olahraga, seni dan budaya.
Akhirnya, semoga prasasti Soekarno hampir tujuh dekade silam yang mencanangkan Kampus UI Rawamangun Jakarta sebagai Kota Mahasiswa tercatat sebagai peristiwa sejarah yang monumental yang perlu dikenang selamanya dan diwariskan dari generasi ke generasi. Semoga, prasasti ini dapat menjadi perekat emosi intelektual warga kampus di semua perguruan tinggi di tanah air untuk memajukan perguruan tingginya masing-masing ke taraf bereputasi di lingkup kawasan dan di dunia.
Disisi lain, prasasti ini dapat pula menjadi penggerak bagi pemerintah pusat dan daerah bersama masyarakat untuk menjadikan semua kota di tanah air menjadi kota pendidikan yang ramah terhadap pendidikan sebagai kota yang hijau, aman, bebas narkoba, bebas korupsi, inklusif, tempat beragam aktivitas seni, budaya dan olahraga, dari beragam etnis, suku bangsa dan peradaban.
Patut dijadikan contoh, kini sejumlah kota di tanah air sudah menjadi kota pendidikan yang tidak hanya melayani warga kotanya masing-masing, tetapi terbuka bagi semua kalangan dari seluruh provinsi di tanah air dan dari beragam suku bangsa, seperti: Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Malang, Solo, Padang, Makassar, dsb.
Sebagai tanggung jawab bersama, mari kita mengenang peristiwa monumental peletakan prasasti Kota Mahasiswa oleh Presiden Soekarno, 15 September 1953, sebagai hari kebangkitan dunia akademik di kampus menuju ke taraf kelas dunia dan hari kebangkitan perkotaan yang ramah terhadap kehidupan pendidikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai universal keilmuan dan kemanusiaan menuju peradaban maju Indonesia yang kelak sejajar dengan bangsa manapun di pelanit ini.
Hafid Abbas, Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta, dan Presiden, the Southeast Asia National Human Rights Institution Forum (SEANF 2014-2015)