PERAWAT DAN POLITIK

oleh -1,867 x dibaca

MAHASISWA S2 KEPERAWATAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

Mungkin ada yang bertanya apa hubungannya perawat dengan politik?

Kita lihat saja sepak terjang profesi perawat di Indonesia yang jumlahnya 60% dari keseluruhan tenaga kesehatan (Tribun Timur, 2019). Jumlahnya banyak, tapi powerless, cenderung dipandang sebelah mata dalam konteks kebijakan pemerintah. Coba kita lihat lamanya waktu yang dihabiskan perawat untuk bisa meloloskan Undang-undang Keperawatan (UUK) di meja parlemen, padahal bagi perawat UUK memiliki fungsi yang sentral. Sejak tahun 2007, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) telah melakukan langkah awal membuat formula politik perawat dengan mengambil inisiatif melakukan usaha melobi, meluaskan jalinan hubungan dan jejaring dengan berbagai Fraksi di DPR RI, melakukan konferensi pers dan tulisan di media, melakukan gerakan simpatik di DPR RI dan di Kemkes.

Namun, saat ini tingkat keberhasilannya masih terbilang rendah (Kompas, 2018). Rumitnya masalah ini dapat dipecahkan dengan majunya perawat dalam kontestasi politik nasional. Efek ramuan politik PPNI saat ini baru sampai kulit, belum mendarah daging. Oleh karena itu, PPNI harus meramu ulang pola politik transaksional dengan memperbaiki internal dengan menyatukan perawat dan membangun kesadaran pentingnya bekerja kolektif. Realitanya, perawat sering menjadi korban kebijakan dan undang – undang yang ditetapkan oleh bukan perawat. Oleh sebab itu, perawat harus berperan aktif di organisasi profesi dan parlemen karena semua kebijakan dan undang-undang tentang kesehatan akan mempengaruhi perawat.

BACA JUGA:  TRIBUN BONE di Tahun Politik : 13 Tahun Bertahan Ditengah Badai

Sejalan dengan itu, bertepatan HUT ke 45 PPNI, Ketua DPP PPNI, mengatakan bahwa di tahun politik ini perawat melalui PPNI, tidak boleh kehilangan momentum, terkait dengan masa pemilihan anggota legislative dan presiden. Siapa lagi yang akan memikirkan perawat kalau bukan perawat sendiri? Walau demikian, PPNI tetap netral dengan lebih mengedepankan calon legislatif dan calon presiden yang peduli kepentingan rakyat. PPNI sudah memasukkan satu departemen yang mengampu perawat dari aspek hokum dan pemberdayaan politik dalam struktur organisasi dan masih menunggu waktu sukses mengantarkan perawat ke Senayan sebagai anggota legislatif DPR RI.

Perawat jaman now, sejatinya dibekali pengetahuan politik dan sudah didoktrin di institusi pendidikan masing – masing untuk menjadi organisator. Perawat tidak boleh alergi apalagi fobia dengan politik, agar jumlah perawat yang besar dapat diperhitungkan melalui kebijakan dan perundang – undangan supaya keringatnya yang terus menetes dapat dihargai sesuai banyaknya keringat yang keluar.

Namun sayangnya, umumnya mereka tidak diajarkan untuk menyampaikan tuntutan nasib mereka tetapi hanya tuntutan memberi pelayanan prima. Sistem pendidikan perawat yang menuntut perawat hanya menjadi pelayan. Lihat saja kakunya kurikulum yang hanya membahas perawat harus melayani dan melayani, sejumlah institusi keperawatan bahkan yang tidak menyediakan wadah organisasi mahasiswa.

BACA JUGA:  Pernikahan Adat Bone sebagai Atraksi Wisata : Sebuah Pengalaman Diri

Jadi tidak heran kalau calon perawat hanya bercita – cita bekerja di pelayanan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Bagaimana negara mau menuntut banyak dari perawat berupa pelayanan yang ramah, dengan gaji atau jasa yang rendah? Bagaimana bisa memikirkan pelayanan yang ramah, jika kehidupan yang diberikan negara kepada mereka tidak ramah?
Jika masyarakat berkata ini profesi mulia dan lading pahala memang benar, tapi saya piker perawat juga manusia yang butuh penghasilan dan penghargaan yang tinggi seperti profesi lainnya.

Jika dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan, seperti dokter, polisi, guru, serta TNI, perawat termasuk profesi dengan pendapatan terendah di Indonesia, meskipun resiko kerjanya tinggi ( Kompas, 2017). Profesi ini memiliki risiko tertular berbagai jenis penyakit karena kontak langsung dengan sumber infeksi secara terus – menerus, selama 24 jam. Tanpa mengenal waktu bertepatan Idul Fitri, Idul Adha, Waisak, Nyepi, atauhari Natal, perawat harus tetap siaga dan rela untuk tidak merasakan indahnya merayakan hari besar keagamaannya bersama keluarga di rumah.

BACA JUGA:  Kepercayaan Masyarakat Terhadap Ekonomi Syariah di Daerah: Faktor Penentu dan Tantangan

Oleh sebab itu, sudah saatnya perawat mendidik generasinya melihat tuntutan dirinya sendiri, dan apa yang negara tuntut darinya. Patut diingat, bahwa perawat juga manusia yang butuh kesejahteraan untuk bisa tersenyum ramah. Walaupun terkadang tidak sejahtera pun mereka masih bisa tersenyum ramah. Di balik senyum itu mungkin banyak beban kehidupan lainnya terutama finansial.

Selanjutnya, keinginan untuk memiliki nurse politician sebagai wakil perawat semakin dekat untuk bisa terwujud. Makin banyaknya perawat yang terlibat dalam politik dan penetapan kebijakan kesehatan semoga mengangkat citra keperawatan sebagai profesi sejalan dengan makin dekat dan dikenalnya praktik keperawatan yang mandiri dan unik oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia yang didukungoleh UUK dengan konsil keperawatan Indonesia sebagai badan regulasi yang independen pengatur sistem uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, registrasi dan pemberian lisensi bagi perawat.

Semoga pada waktu yang tidak terlalu lama lagi kita tidak lagi menjadi korban dari kebijakan, peraturan dan perundang – undangan yang dibuat bukan oleh perawat.

Akhir kata, meminjam kalimat inspirasi salah satu stasiun televisi, politik gampang memanas, tapi mendewasakan. Maka berpolitiklah supaya pemikiran kita menjadi lebih matang dan dewasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.